Sejarah Singkat Ikan Asin
Ikan asin merupakan salah satu lauk pauk yang banyak digemari di Indonesia. Ikan
yang memiliki citarasa asin yang kuat ini konon sudah dinikmati sejak zaman Kerajaan
Mataram Kuno. Maklum saja pada dasarnya aspek maritim kita telah masyhur sejak dahulu
kala. Ini yang membuat ikan asin sangat mungkin sudah lama menemani orang Jawa zaman
dulu.
Hal ini juga dipertegas dalam sebuah penemuan prasasti yang mana diulas pada buku
yang berjudul Dinamika Sosial Budaya Masyarakat di Pulau Jawa Abad VIII-XX (1996)
terbitan Dinas Pariwisata Jawa Timur & UGM, Prasasti Kembangarum yang berangka tahun
824 Saka atau 902 Masehi membuktikan bahwa masyarakat pada zaman itu sudah menyantap
ikan asin. Ikan Asin juga menjadi komoditas perdagangan kala itu di jalur pesisir yang
terkenal ramai akan kapal-kapal yang melintas. Selain di pesisir, eksistensinya kian menjamur
hingga ke dataran yang lebih tinggi dari garis pantai. Diperjual belikan pula di pasar-pasar
seluruh tanah Jawa. Hal ini tidaklah aneh mengingat karena proses pembuatannya tersebut
mampu membuat ikan asin bertahan hingga berbulan-bulan.
Dalam bukunya yang berjudul Pasar di Jawa: Masa Mataram Kuno Abad VII-XI
Masehi, Titi Surti Nastiti menjelaskan juga tentang aktivitas perdagangan ikan asin ini yang
menjadi komoditi masyarakat zaman itu.
Bermacam Olahan Ikan Asin
Ikan asin memang identik dengan rasanya yang monoton. Asin nan pekat. Namun
dengan perjalanannya melintasi berbagai zaman, tidak sedikit olahan berbahan ikan asin
muncul. Inovasi ini muncul seiring waktu. Membuat ikan asin bukan hanya memiliki satu
varian. Tapi banyak jenis dengan bermacam varian, baik itu rasa, penyajian, atau bahkan
bentuk.
Varian rasa yang kerap kali dimasak oleh ibu-ibu di Indonesia antara lain seperti, ikan
peda cabai hijau, ikan asin balado, ikan asin jambal cabai hijau dan masih banyak lagi.
Olah-olahan ini memang lebih banyak dipadukan dengan bahan baku cabai. Rasa ini
sepertinya sudah menjadi ciri khas lidah orang Indonesia yang terkenal sebagai penggila
pedas.
Bagi Sektor Perekonomian
Menurut Badan Pusat Statistik mencatat volume ekspor ikan asin nasional pada
periode Januari hingga November 2021 sebanyak 8,96 juta kg dengan nilai sebesar US$
93,17 juta. Nilai tersebut meningkat 0,69% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya
yang sebesar US$ 92,53 juta. Rata-rata produksi ikan teri asin di wilayah lampung contohnya
yakni kurang lebih sebanyak 3 ton/bulan untuk setiap pengolah, sehingga produksi totalnya
diperkirakan sebanyak 120-150 ton/bulan atau sekitar 1.140 ton/tahun. Adapun beberapa
jenis ikan teri asin yang diproduksi adalah teri nasi super, teri nasi biasa, teri buntiau, teri rc,
teri jengki, dan teri katak. Rentang harga jual per kilogram dari yang termahal yaitu ikan teri
nasi super senilai Rp120 ribu/kg sampai termurah yakni ikan teri katak senilai Rp50 ribu/kg.
Produk tambahannya adalah cumi asin dan ikan tanjan.
Mengindikasikan bahwa ikan asin masih menjadi komoditas penting bagi sektor
perekonomian khususnya bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari
perdagangan ikan asin ini.
Ikan Asin dan Kita
Ikan asin bukan hanya sebuah makanan. Tapi adalah bukti sebuah rasa dapat melintasi
waktu untuk dapat terus lestari di sepanjang masa. Dari pengolahan yang sederhana, berlalu
lalang saat kapal era Kerajaan Mataram Kuno hingga kini kala manusia telah sampai
mencapai Mars. Ikan asin selalu hadir di setiap dapur, keluarga dan menghampiri setiap lidah
manusia di negara ini.
Juga bukan lagi sebuah santapan lezat tapi juga penguak memori setiap individu yang
pernah mencicipinya. Membangun ekonomi daerah dan negara. Ikan asin adalah romantika
rasa yang nikmatnya bisa kita rasakan hingga kini. Yang keberadaannya harus kita jaga dan
rawat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H