Mohon tunggu...
Angelina R
Angelina R Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Negara Indonesia yang baik hati dan tidak sombong...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pisau Sang Pembunuh bagian 1

17 Januari 2012   19:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:45 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

HANYA butuh waktu sepuluh menit, mobil polisi yang membawa tiga polisi piket Polda Wedangan sampai di gerbang masuk Puply City. Saiful yang menyetir, dia adalah polisi piket yang menerima telepon adanya pembunuhan di wisma rose tadi pagi.Di samping kanannya ada Alfred Polisi dari Direktorat Reskrim yang mendapat giliran piket pagi dan di bangku belakang duduk Adham polisi yang ikut piket bersama Saiful di pos jaga Polda Wedangan. Selalu begitu aturannya. Bila ada laporan pembunuhan, maka polisi yang bertuga petugas piket akan pergi meninjau. Mencari tahu siapa saksi, olah TKP jika kejadian pembunuhan itu ringan lalu memanggil petugas forensik yang bertugas membawa mayat untuk diautopsi di rumah sakit dan kemudian membuat laporan kasus untuk diteruskan ke Reskrim Polda. Akan tetapi jika pembunuhan itu berat seperti mutalasi atau pembunuhan dengan penganiayaan berat maka untuk olah TKP, mereka harus memanggil polisi penyidik yang lebih ahli.

Mobil polisi melaju dengan kecepatan rata-rata memasuki Puply Street jalan raya lebar dan panjang yang membelah wisma-wisma berlantai tiga atau empat di kiri kanan jalan. Puply City pagi terlihatlengang, hanya sesekali mereka melihat mobil atau motor yang lewat di jalan itu.Pejalan kaki yang biasanya memadati jalan juga mulai jarang. Alfred melihat jam di dashboard mobil, pukul tiga lebih tiga puluh menit dan mengerti mengapa Puply Street begitu lengang. Lima ratus meter dari gerbang tampak sebuah bangunan besar bertulis Wisma Rose yang diterangi lampu-lampu disko, Saiful segera membelokkan mobil masuk ke dalam halaman wisma itu.

Alfred, Saiful dan Adham melangkah keluar dari mobil ketika mobil telah diparkir di lapangan parkir yang cukup besar di halaman wisma Rose. Ada jendela di bagian kanan wisma, jendela itu sangat besar dengan kaca tembus pandang seperti estalste di mall-mall. Dibuat dari kaca tembus pandang agar pengunjung Puply City dapat melihat isi lobi wisma yang biasanya dihiasi perempuan-perempuan yang bekerja di wisma itu dari luar . Dari kaca jendela besar itu, ketiga polisi itu dapat melihatbanyak perempuan sedang duduk berdesakan di bangku merah di dalam wisma. Wajah mereka tampak ketakutan dan ngeri.

“Akhirnya, Polisi datang juga!” Puspita menyambut mereka saat mereka masuk ke lobi wisma Rose. Puspita berbadan gempal tapi terlihat semangat dan energik. Wajahnya ditaburi make up menor tetapi kerut di lehernya tak mampu menutupi usianya yang sudah menginjak kepala lima. Ada nada sedikit enggan di suara perempuan itu. Ketiga polisi piket itu tahu pasti mengapa nada suara perempuan itu enggan, polisi selalu menjadi musuh besar PSK.

“Selamat pagi, Bu! Kami dari POLDA Wedangan. Kami ke sini ingin menindak lanjuti laporan tentang pembunuhan di tempat ini yang diterima tadi pagi pukul 3 dini hari. Saya Alfred yang bertanggung jawab penuh, ini Adham dan Saiful yang membantu saya.” Alfred yang berbicara. Selain karena pangkatnya lebih tinggi dari Adham dan Saiful, dia adalah Polisi dari direktorat reserse dan kriminal dan sebagai anggota Reskrim, dia punya hak lebih banyak untuk menangani pembunuhan ini.

“Saya Puspita! Saya yang melapor adanya pembunuhan ini. Sebaiknya polisi segera melihat pembunuhan itu Yang meninggal adalah anak buah terbaik saya Honey.” Puspita memperkenalkan diri, ada nada sedih di suaranya. Ketiga polisi itu mengira kesedihannya bukan karena kematian anak buahnya tetapi karena kehilangan satu aset berharga.

“Saya harap Anda belum mengubah posisi mayat dan mengacak-ngacak tempat kejadian pembunuhan.” Kata Alfred lagi. Pergeseran barang sedikit saja akan membuat perubahan berarti dan tentunya mempengaruhi penyelidikan.

“Kami tidak sanggup untuk melakukan hal itu, pembunuhan itu mengerikan.” Lagi Puspita berkata. Ada nada kengerian di suaranya. Alfred menyimak perkataan Puspita, kematian memang selalu mengerikan apalagi kalau dibunuh.

“Siapa yang menemukan mayat pertama kali?” Dia mengalihkan pembicaraan ke pokok paling penting yaitu saksi.

“Jingga, dia sedang shock sekarang, Pak polisi. Saya tidak yakin dia mampu ditanyai. Saya tidak berani melihat mayat itu apalagi waktu salah satu bodi guard wisma muntah setelah melihat mayat itu.” Jawab Puspita lagi, menekan kata mengerikan. Alfred mendengar perkataan perempuan itu dengan seksama sementara itu matanya sibuk memandang sekeliling lobi. Lobi wisma itu luas ada sekitar dua puluh bangku di bagian kanan wisma, bangku-bangku tempat para PSK duduk yang dapat dilihat oleh pengunjung wisma rose dari luar jalan.

Pada keadaan normal, bangku-bangku itu ditempati PSK yang bekerja di sana, duduk manis sambil tersenyum menggoda dengan pakian setengah telanjang, menunggu giliran dipanggil pelanggan. Namun sekarang bangku-bangku lobi itu dipenuhi oleh perempuan-perempuan yang ketakutan, kengerian bahwa teman mereka meninggal tampak jelas di wajah mereka yang lelah. Ada sekitar delapan puluhan perempuan yang berkumpul di situ. Sepertinya semua PSK sudah diungsikan ke lobi.

“Semua pekerja di tempat ini sudah berkumpul di Lobi, Pak. Mereka ketakutan sekali. Tak ada yang berani menginjakkan kaki di lantai tiga. Tamu-tamu juga sudah disuruh untuk meninggalkan wisma.” Seolah tahu apa yang dipikirkannya, Puspita berkata pada Alfred. Alfred menyayangkan tamu-tamu yang telah disuruh pulang itu, mereka juga bisa dijadikan saksi. Semoga pihak wisma mencatat semua tamu yang datang ke tempat ini, tetapi dia menyangsikan kemungkinan itu wisma Rose termasuk wisma mewah dan mahal. Tamu-tamu yang datang pasti orang berduit, berpengaruh dan kaya yang tentu tak ingin namanya tercantum dalam buku tamu wisma. Dia pernah beberapa kali datang ke tempat ini dan memang namanya tidak dicatat sama sekali. Dia mengangguk sebentar kepada Puspita dan berkata kepada Adham dan Saiful.

“Adham, kau urus saksi-saksi pembunuhan ini. Minta identitas saksi yang menemukan mayat korban, pemilik wisma dan beberapa orang yang terlibat bersama Korban dua puluh empat jam sebelum kematiannya!” Perintah Alfred. Saiful dan Adham mengangguk mengerti. Hal yang pertama kali dilakukan ketika tiba di lokasi pembunuhan adalah menanyai para saksi yang terlibat. Pada dasarnya seorang saksi bisa ditanyai secara langsung di tempat kejadian, apabila masih ada yang ingin ditanyai kembali saksi akan menerima surat panggilan sebagai saksi yang diterimanya paling lambat sebelum dipanggil. Tetapi biasanya pemanggilan saksi menggunakan surat panggilan hanya berlaku bagi pembunuhan berat, dan insting Alfred mengatakan kelima orang itu akan sering keluar masuk kantor polisi.

“Siap, Pak!” Balas kedua polisi muda berpangkat brigadir dua itu.

“Ibu Puspita, Anda di sini saja. Anda akan dimintai keterangan oleh Polisi Adham.” Alfred berkata sambil menunjuk pada Adham. “Bisakah salah seorang menujukkan jalan ke tempat terjadi pembunuhan?” lagi Dia bertanya pada Puspita. Perempuan itu segera menyuruh salah satu pria berotot mengantar mereka.

“Silahkan ikut Bejo, Pak!” Kata Puspita kemudian. Dari raut wajahnya dia tampak tak senang mendengar kata dimintai keterangan. Melihat Adham yang sudah mulai sibuk membuka buku catatannya, Alfred dan Saiful segera meminta pria berotot bernama Bejo itu mengantar mereka. Pria berotot itu berjalan di depan, Alfred dan Saiful mengikutinya dari belakang. Mereka masuk ke dalam lorong yang terletak agak ke dalam lobi, menuju ke dalam lift.

*****

-Bersambung-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun