Sepertinya hujan belum puas mengguyur bumi, pikir Lastri sewaktu melirik hujan yang semakin mengganas di balik jendela kamar wisma yang dia sewa bersama Joko. Atap seng terdengar dipukul kuat oleh rintik-rintik hujan menciptakan bunyi seperti teriakan histeris yang memekakkan telinga. Langit dipenuhi gulungan awan hitam yang merata. Jalan raya dipenuhi bus, angkot, bajaj bahkan motor yang ramai lalu lalang. Beberapa orang tempak berteduh di sebuah halte bus salah satunya seorang perempuan yang mengenakan baju kuning dan celana berwarna biru. Benar-benar penampilan menarik perhatian-dia ingat di beberapa majalah mode yang dia baca beberapa waktu yang lalu, warna cerah memang merupakan trend warna tahun ini. Begitu sebuah bus berhenti di halte itu, orang-orang yang menunggu itu berebut masuk, saling mendorong satu sama lain. Meski tak begitu jelas dia dapat membaca umpatan sebal penumpang yang terdorong. Semua orang sudah pastiingin cepat sampai ke rumah dan hujan bukanlah penyebab utama. Toh ketertiban sudah lama hilang dari peradaban manusia Indonesia. Sementara itu di ujung jalan dia dapat melihat seorang yang tak bisa dia tebak jenis kelaminnya berjalan di bawah guyuran hujan menggunakan payung hitam.
“Hujannya deras sekali yah!” Joko yang tadi tertidur ternyata telah terbangun dan menyadari Lastri tidak lagi di sampingnya, mengampiri Lastri di Jendela. Lastri segera menutup kembali gorden yang tadi dia sigap, berpaling dan menghadap ke arah Joko. Dia mendekatkan tubuhnya ke Joko, mengalungkan lengan di bahu kekar Joko.
“Iya, telingaku pekak” Katanya. Joko tersenyum lalu mengalungkan tanganya di pinggang langsing Lastri
“Mereka bilang saat mendengarkan bunyi keras, buka mulut dan tutup telinga biar telinga tidak pekak dan tuli” Kata Joko. Lastri terseyum.
“Mereka siapa?” Tanyanya
“Mereka bisa siapa saja.” Jawab Joko
“Hemm, usul ditolak, referensi tidak jelas” Kelu Lastri.
“Coba dulu” Kembali Joko berkata
“Coba apa?” Tanya Lastri
“Aku tutup telingamu” Kata Jokolalu kemudian menarik Lastri lebih dekat ke arahnya dan menutup telinga perempuan itu dengan kedua telapak tangannya.
“Lebih enakkan? Tidak terasa lagi bunyi hujan yang pekak itukan?”Tanya Joko kemudian.
“Apaaa?” Lastri berteriak
“lebih enakkan?”Joko ikut berteriak
“Aku tak bisa mendengarkanmu, telingaku kau tutup kan?” Lastri balas berteriak.
“Lebay” kata Joko, Lastri tertawa. Dengan gemes Joko mengehentikan tawa Lastri. Dia menyambar bibir lastri dengan bibirnya. Mula-mula hanya sentuhan bibir dengan bibir, lalu kemudian berubah menjadi pagutan liar bahkan lidah mereka ikut menari-nari. Lastri mengerang dan tiba-tiba melepasskan ciuman panas itu. Joko tampak kecewa.
“Kenapa?” tanyanya dengan nada suara seperti orang yang tak dapat bensin padahal telah antri begitu lama. Alih-alih menjawabLastri berlalu dari jendela dan menuju ke meja di samping tempat tidur. Dia membuka laci mengambil sebuah bungkusan.
“Aku tidak ingin hamil di luar nikah seperti Ibuku.” Kata lastri. Joko tersenyum melihat bungkusan yang dipegang Lastri. Dia melangkan cepat ke arah Lastri meraih perempuan itu ke dalam pelukannya.
“Dasar! Aku juga tidak tolol seperti ayahmu.” Katanya kemudian.
“Aku tidak suka kau membicarakan ayahku.” Latri tiba-tiba berkata. Joko tersenyum minta maaf.
“Maaf, Sayang!” Kata Joko lalu menjatuhkan tubuh mereka di tempat tidur. Lastri tidak lagi marah ketika tangan Joko perlahan menyusp di sela-sela pahanya. Di luar hujan masih terus mengganas, Dia sepertinya masih betah bermain gila dengan bumi.
*****
“Mas, aku kok akhir-akhir ini punya perasaan buruk terus yah?” Marni berkata pada suaminya Joko yang sedang membaca koran di tempat tidur. Dia baru saja keluar dari kamar mandi dan tiba-tiba firasat buruk itu muncul begitu saja.
“Perasaan buruk jangan dipikirkan makin dipikirkan makin buruk” Balas Joko acuh tak acuh. Dia masih berkutat dengan korannya.
“Ihh, Istri mau curhat kok, responnya gitu.” KataMarni kesal. Dia mengambil koran yang dibaca Joko. Joko tampamenatapnya.
“Kamu mau aku responnya gimana sih, Mar? Lah kenyataannya kamu sering kepikiran buruk kan?” Kata Joko dengan nada kesal. Dia sedang membaca berita ulasan kemenangan Barcelona tim favoritnya dan benar-benar tidak ingin diganggu. Marni merasa bersalah. Dia menyerahkan kembali koran itu.
“Udah-udah jangan marah gitu dong, Mas” katanya lalu kemudian berbaring di samping Joko.
“Yang bilang aku marah siapa?” Kata Joko acuh tak acuh, kembali dia menekuni korannya. Marni gemas menatap suaminya, dengan segera tangan marni merambat menyusuri paha Joko dan berhenti di selangkangannya.
“Apa sih, Mar?” Joko menepis tangan Marni. Dia sibuk membaca korannya. Marni berubah marah. Dengan kesal ditariknya koran yang dibaca Joko dan menghempaskan koran itu ke lantai.
“Apa-apaan ini?” Tanya Joko berang! Marni menatapnya marah lalu kemudian menanggalkan baju tidurnya. Dia berdiri telanjang di depan Joko.
“Mas, aku masih terlihat cantik kan? Masih terlihat seksi? Kenapa kau menolakku?” Dia terisak. Joko menghela napas. Dia menghampiri Marni dan meraih perempuan itu dalam pelukannya.
“Kau masih cantik, masih seksi! Maafkan aku sayang!” Katanya.
“Kau tidak ingin meninggalkan aku seperti mantan suamiku kan?” Marni masih terisak.
“Sudahlah aku tidak suka kau berbicara tentang mantan suamimu, jangan menangis lagi. Ayo sudah waktunya tidur.” Joko memeluk marni erat. Marni menghapus air matanya.
“Ayo kita bercinta, Mas!” Pintanya. Joko memandang perempuan itu lama. Melepaskan pelukannya dan meraih laci meja di samping tempat tidurnya.Joko mengambil sebuah bungkusan.
“Kok pake kondom?” Tanya Marni kecewa, suaranya terdengar seperti orang yang kehabisan bensin padahal sudah mengantri lama. Joko tersenyum dalam hati dia mulai membayangkan tubuh Lastri.
“Ayolah Marni! Apakah kau mau punya anak lagi?” Tanya Joko. Marni tersenyum.
“Kurasa tidak!” katanya lalu masuk ke dalam pelukan Joko. Di luar malam cerah, bintang memenuhi langit.
****
Pagi mengertak pelan, membawa seberkas cahaya yang masuk ke sela-sela kamar Lastri. Dia terbangun ketika mendengar teriakan Ibunya.
“Lastri bangun! Kau tidak kuliah?” Kata ibunya dari luar. Dengan enggan perempuan berusia duapuluh satu tahun itu terbangun dari tidurnya. Tiga puluh menit kemudian dia telah berada di meja makan bersama Ibunya yang telah siap berangkat kerja. Ibu Lastri masih tampak cantik dan seksi di usianya yang ke tigapuluh delapan tahun itu.Banyak orang yang menyangka bahwa ibunya adalah kakak Lastri, Usia mereka hanya terpaut tujuh belas tahun atau tepatnya Ibu Lastrimelahirkan Lastri saat dia berusia tujuh belastahun.
“Nanti malam kamu pulang malam lagi?” Ibunya memulai percakapan.
“Mungkin” jawab lastri enggan. Ibunya terlihat marah
“Kok Jawabnya mungkin” Kata Ibunya.
“Saya tidak suka diatur” Balas lastri. Ibunya terlihat marah.
“Melawan kamu yah!” Ibunya benar-benar marah saat itu.
“Saya tidak melawan, saya bosan diatur, saya bukan anak kecil lagi” Jawab Lastri acuh tak acuh.
“Umur kamu baru 20 tahun, bisa apa?” Ibunya menjawab marah
“Setidaknya umur 17 tahun saya tidak hamil di luar nikah”
PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi Lastri. Lastri membanting kursi didepannya dengan marah.
“Pukul lagi aja, Ma! Pukul lagi aja!” Dia berkata penuh amarah.
“Ada apa ini?” Tiba-tiba Joko hadir diantara mereka. Dia telah rapi dengan setelan jasnya. Lastri tampak tak senang melihat kehadiran Joko! Joko mengalihkan pandangan ke Ibu Lastri.
“Ada apa, Marni? Ada apa pagi-pagi kalian sudah ribut begini!” Tanyanya.
“Dia melawan,Mas, Dibilangin ga tahu diri” Jawab Marni
“Sudah Tenang, ngomong baik-baik”Joko coba menengkan, dia mendekat ke arah lastri.
“Jangan coba-coba ikut campur urusan saya dengan perempuan itu” Lastri berteriak marah.
“Jaga bicaramu dia ini Ayahmu” Marni juga berteriak
“Aku tidak sudi punya Ayah seperti dia, mending aku tidak punya ayah” Lastri berlari keluar memegang pipinya yang sakit. Dia menangis
“Maafkan aku mas, sampai sekarang dia membencimu. Dia benar-benar ga suka kau menjadi ayahnya.” Marni berkata pada Joko.
“Tenanglah! biarkan dia, dia kelak akan menerima kehadirangku.” Kata Joko kemudian.
“Terima kasih sudah mengerti dan menerima aku dan putriku, Mas” Kata Marni. Tiba-tiba dia terisak. Joko meraih Marni ke dalam pelukannya.
“ Aku menyayangi kalian berdua, marni.” Katanya disela pelukan meraka. Marni masih terisak di dalam pelukan Joko.
“Sabarlah sayang, kalo ibumu sudah tenang,aku akan menghiburmu nanti sore di wisma langganan kita dan berdoalah semoga hujan” Joko membantin saat mendengar mobil lastri meninggalakn garasi. Dan sepertinya keinginannya terwujud, langit pagi itu kelabu
Depok, 27 Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H