Mohon tunggu...
Angelina R
Angelina R Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Negara Indonesia yang baik hati dan tidak sombong...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pisau Sang Pembunuh (Prolog)

17 Januari 2012   15:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:45 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pisau sang Pembunuh

(Prolog)

Dia berjalan menyusuri lorong lantai tiga wisma Rose dengan pelan. Lorong itu sepi, sesekali terdengar erangan aneh dari kamar-kamar yang terdapat di samping kiri kanan lorong. Dia pura-pura tak mendengarkan erangan menjijikan itu, pikirannya berpusat pada sebilah pisau dengan sarungnya yang terselip aman dibalik jas hitamnya. Pisau indah yang gagangnya terbuat dari perak.

Pisau itu secara tak sengaja dia belidi Berlin beberapa waktu yang lalu saat sedang berlibur di Jerman. Dia sedang berjalan-jalan mengitari jalanan Berlin ketika matanya tertuju pada sebuah toko pisau.

Guten Morgen! Kann ich Ihnen helfen?” (Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu?) Sapa pemilik toko pisau, seorang pria Jerman bertubuh jangkung dan berkaca mata ketika dia masuk.

“Can you speak English? I have no idea about Germany!” (Bisakah kau berbahasa Inggris? Saya tak bisa berbahasa Jerman) Katanya setelah mengerut kening lama. Pemilik toko pisau itu tersenyum, untung dia tidak berada di toko pisau di Prancis kalo tidak dia sudah ditendang dari toko itu. Penduduk Jerman lebih ramah dan lebih bisa menerima bahwa turis yang datang ke negara mereka tidak bisa berbahasa Jerman.

“Ah, Good Morning! Can i help you?” (Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu?) Kata penjual pisau lagi dengan dialek Jerman yang kental. Keuntungan kedua baginya penjual pisau itu bisa berbahasa Inggris. Dia membuat tanda ingin melihat-lihat. Matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah pisau, sebuah pisau bergagang perak dengan ukiran naga di gagangnya. Panjang pisau itukira-kira limabeas centyimeter.

“Can i look this knife?” (Bisakah saya melihat pisau ini?) Tanyanya menunjukan pisau itu kepada si penjual pisau. Penjual pisau tersenyum dan mengambil pisau itu lalu menyerahkan kepadanya. Dia terkagum memegang pisau itu.

Messerzu töten! Knifetokill!” (Pisau untuk membunuh) Kata penjual pisau itu, sementara dia asyik melihat pisau itu. Seketika perasaan senang luar biasa menguasai dirinya.

“I want this knife. How much it is?” (Saya menginginkan pisau ini. Berapa harganya?) Tanyanya kemudian. Penjual pisau itu menatapnya lama.

500 Mark” Jawab penjual Pisau

“I want this!” (Saya menginginkan pisau ini!) Katanya yakin

“Its dangerous, gefährlich! Very sharp” (Pisau ini berbahaya! Sangat tajam) kata penjual Pisau itu tiba-tiba seolah tak yakin pisau itu dijual untuknya. Dia menatap penjual pisau itu sebentar. Mengeluarkan seribu mark dari saku bajunya.

“Take this! I want this Knife.” (Ambil semua uang ini! Saya menginginkan pisau ini) Katanya, disambut senyum senang penjual pisau. Harga pisau itu hanya 500 mark. Dengan senang hati pria Jerman penjual pisau itu membungkus pisau bergagang perak miliknya.

“Be carefull, Vorsicht! Dont use it for kill people or kill your self!” (Hati-hati! Jangan membunuh dirimu sendiri dan orang lain dengan pisau itu) kata penjual pisau sebelum dia keluar dari toko pisau.

Danke!” (Terima kasih) katanya sebelum keluar, hanya itu bahasa Jerman yang dia kuasai. Waktu itu dia sama sekali tidak berniat membunuh dirinya sendiri ataupun orang lain dengan pisau itu. Sama sekali tak terpikir olehnya pisau itu akan berguna suatu saat. Pisau itu adalah benda pertama yang dia pikirkan untuk mengakhiri hidup perempuan sialan yang sudah berani mengkhianati cintanya. Perempuan sialan yang telah berani menusuknya dari belakang. Yah! Hanya kematian yang mampu membalas sakit hatinya akibat kelakukan kurang ajar wanita sialan itu.

Yah! Pisau ini sempurna, sangat sempurna untuk mengakiri hidup orang. Lagipula, pisau itu sangat tajam. Dia pernah mengayunkan pisau itu ke daging sapi mentah. Hanya satu kali sayatan, daging itu terbelah menjadi dua. Pisau ini diciptakan untuk membunuh Messerzu töten! Perasaan senang tiba-tiba meliputinya, dia membayangkan daging manusia yang terbelah karena pisau perak itu. Dia membayangkan tubuh perempuan itu yang disayat pisau ini, pasti sangat menyenangkan.

Dia akan lebih mudah menjalankan aksinya; membunuh perempuan jahanam itu dengan pisau ini. Perempuan itu harus mati dengan sengsara pikirnya sengit. Dia menghentikan langkah di depan sebuah kamar. Yah, ini kamar perempuan itu. Dia hafal betul! Dia mengetuk pintu.

“Siapa?” tanya sebuah suara seorang perempuan yang terdengar kelelahan dari dalam. Dia tidak membalas, tetapi terus mengetuk.

“Siapa? Masuk saja pintu tidak dikunci!” Teriak perempuan itu lagi. Dia tersenyum, kemudian mengeluarkan pisau bergagang perak dari balik jasnya. Segera dia membuka pintu kamar perempuan itu.

“Siapa kau?” Perempuan di dalam kamar terkejut saat melihatnya. Dia tersenyum jijik melihat perempuan itu mencoba menutup badannya yang telanjang dengan selimut. Dasar sundal! Makinya jijik dalam hati. Dia mendekat ke arah perempuan itu.

“Siapa kau? Dan apa yang kau lakukan dengan pisau itu?” Kali ini Perempuan itu menjerit. Dia melangkah semakinmendekat ke arah perempuan itu.

“Pisau ini untuk membunuhmu, Manis!” Ucapnya dingin. Dia menatap perempuan itu dengan penuh kebencian

*

SAIFUL sedang menyeruput kopi gelas keduanya, ketika telepon di depannya berbunyi. Adham rekan yang sama-sama piket pagi sedang tertidur lelap di kursi di dekat meja. Dia melirik jamdi dinding ruang piket dan menggerutu. Pukul tiga pagi! Saiful mengangkat gagang telpon dengan malas, berdoa itu bukan laporan pembunuhan. Sejujurnya satu setengah gelas kopi yang telah bermuara di lambungnya sama sekali tidak membantu mengurangi kantuknya. Kalo itu adalah laporan pembunuhan, mau tidak mau sebagai salah satu polisi yang piket, dia harus mengunjungi tempat kejadian perkara.Memang piket pagi adalah piket yang paling dihindari dan biasanya piket pagi dibebankan pada polisi yang baru keluar dari pendidikan bintara sepertinya.

“Halo selamat pagi, kepolisian daerah Wedangan disini. Ada yang bisa kami bantu?” Katanya ketika gagang telpon telah bermuara di kuping dan mulutnya.

“Ada pembunuhan, Pak. Ada pembunuhann!” Suara seorang perempuan terdengar ketakutan dari seberang sana. Saipul berubah serius, dengan berat hati dia mengucapkan selamat tinggal pada sisa piket yang tenang.

“Maaf, bisa sebutkan nama dan nomor KTP Anda?” Tanya Saiful, Dia mengambil kertas dan bulpen. Mencatat nama dan no KTP perempuan yang melapor itu.

“Dimana pembunuhan itu, Bu?” Kata Saifulkemudian

“Wisma rose, Puply City. Mayatnya di lantai tiga. Cepat datang pak Polisi!” Suara perempuan itu terdengar ketakutan. Saiful mengerutkan kening mendengar perempuan di telepone itu mengatakan puply City. Itu adalah kawasan pelacuran yang terletak di sebelah selatan kota Wedangan.

“Baik, kami akan segera ke sana! Jangan lakukan apapun pada mayat itu, jangan ada yang masuk ke dalam tempat pembunuhan!” Perintahnya tegas. Saiful segera meraih Telepon menelpon Polisi piket dari direktorat Reskrim. Tangannya yang satunya lagi sibuk membangunkan rekannya Adham. Pembunuhan di Puply City! Hemm pembunuhan yang menarik.

-Bersambung-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun