Mohon tunggu...
Ahmad Jauhari
Ahmad Jauhari Mohon Tunggu... profesional -

MENULIS SEBAGAI TINDAKAN MENDENGAR.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sikap Kritis dan Tegas Bersikap

5 November 2013   05:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:34 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di setiap kejadian, Tuhan senantiasa menyelipkan maksud yang terbaik untuk kelanjutan hidup kita. Sikap kritis adalah salah satu potensi yang Tuhan kasihkan ke manusia. Sikap kritis bisa dimaknai sebagai kemampuan menangkap dengan jeli setiap kenyataan dan membuka mata dan hati kita untuk mencerap realitas. Artinya, dalam setiap realitas ada beribu serat makna yang mesti kita pegang dan kita pergunakan sesuai dengan porsinya.

Sikap tegas berperan sebagai representasi diri dalam memaknai. Bisa dibilang, sikap tegas adalah pisau, sedang kritis adalah kemampuan kita menggunakan pisau tersebut. Sikap kritis adalah radar yang Tuhan kasih ke manusia sebagai cara-Nya untuk supaya manusia memahami keberadaan-Nya. Hanya saja, kalau kita tidak berhati-hati dengan sikap kritis, hal ini justru menjadi penghalang bagi kita untuk memahami-Nya. Sebab sikap kritis manusia memungkinkannya menjadi berhala. Dan, sikap itulah yang justru dibenci Tuhan.

Hal ini seperti, yang pernah saya dengar dalam uraian kitab Al-Hikam, yang dikaji ulang oleh K.H Imran Djamil. Misalnya demikian, ada seorang kampung yang tidak pernah berjumpa dengan presiden. Suatu hari, tiba-tiba ia mendapat undangan oleh kepala negara untk datang ke istana negara. Sewaktu di pangggil oleh sang presiden, lantas orang kampung itu dipersilahkan mandi dulu, membersihkan badan. Lantas, nanti diajak bincang-bincang oleh sang presiden di ruang tamu.

Tapi, dasar orang kampung yang tidak pernah melihat barang-barang istimewa, ia malah tidur di kamar mandi. Sebab begitu bersih dan menariknya, barang-barang yang ada di situ. Ia, malah lupa, kalau ia hanya disuruh membersihkan badan. Yang tentunya, sudah ditunggu oleh sang Tuan rumah.

Itulah ibarat orang yang ke blinger dengan karamah yang Tuhan kasih kepadanya. Ia hanya malah nglibet dengan karamah itu, bermain-main dan malah berbangga diri, tapi justru lupa dengan yang memberi karamah, yakni Tuhan itu sendiri. Karenanya, apapun yang Tuhan kasih ke kita, itu semua adalah cara-Nya supaya kita semakin tawadlu kepada-Nya.

Nah, dalam hal ini mungkin ada banyak hal yang membuat orang bersikap tegas dan kritis. Sikap tegas, terkadang jika keterlaluan akan berubah menjadi keras. Nah, kalau sudah sikap keras yang muncul, maka nafsulah yang mulai berperan. Begitu juga dalam sikap kritis.

Sebetulnya, sikap kritis merupakan prasyarat bagi manusia supaya tidak salah dalam menentukan sikap, termasuk di dalam setiap keputusan-keputusan yang terbaik di dalam hidupnya. Hanya saja akan menjadi masalah, bila sikap kritis berubah menguasai lebih besar diri kita. Padahal, diri kita lebih akbar dari hanya bersikap kritis. Sikap kritis hanyalah salah satu potensi nalar manusia. Nalar bisa dimaknai sebgai kemampuan fikir manusia yang bersifat logis, runtut, dan bisa dipahami oleh orang pada umumnya.

Karenanya, menjadi menarik apa yang dinamakan khijab (penutup, penghalang) pikir. Yang dinamakan penutup, atau penghalang meruapakan penghambat niat kita dalam meraih sesuatu. Dan yang dinamakan penghalang itu bisa apa saja. Tidak hanya pikiran, bisa juga nafsu, sahwat, sikap yang berlebihan, dan seterusnya.

Nah, dari sini muncul pertanyaan, apa yang sesungguhnya dinamakan keyakinan? Apakah keyakinan mendahului kita dalam berpikir? Bukankah sikap bertanya merupakan hakikiat kita dalam berpikir? Dan, kita juga sudah banyaj tau bahwa di di dalam al-quran pun, Tuhan selalu menyindir manusia untuk senantiasa mendayagunakan alam pikir. Akan menarik membahas tentang berpikir menjadi penghalang.

Sikap berpikir menjadi penghalang, jika pikiran, kita jadikan dalih untuk tidak menerima apapun yang datang untuk kita. Nah, dari sini mencul pertanyaan, bukankah mengatakan bahwa pikiran itu bisa jadi penghalang dalam meraih ilmu Tuhan, itu juga merupakan sebuah cara berpikir? Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa seuatu itu senantiasa mengandaikan definisi (batasan), nah, pembatasan ini sesungguhnya yang menjadikan kita terhalang oleh ilmu Tuhan, sebab Tuhan itu tidak terbatas, bagaimana mungkin kita membatasi-Nya dengan cara kita memandang. Lagi-lagi, kita mesti berbicara tentang apa yang dinamakan bahasa. Bahasa boleh dikatakan meruapkan anugerah (dalam bahasa positif). Dan bahasa bisa juga dimakna sebagai kutukan (dalam cara pandang negatif).

Bahasa sebagai anugrah, sebab dengan bahasa manusia bisa mengembangkan apa yang telah diketahuinya menjadi lebih luas dan mendalam. Sedang sebagai kutukan, sebb dengan bhasa manusia bisa menumpahkan darah, oleh sebasb semakin kompleknya realiatas. Hanya saja secara ontologis, sesungguhnya tak ada yang negatif di dunia ini. Negativitas sebteulnya hanya oleh kreasi manusia sendiri, yang justru menyengsarakan dirinya sendiri.

Mari kita merenung sejenak. Bahwa Tuhan itu maha Baik, tapi mengapa ada di dunia ini ada manusia yang sengsara? Setiap saat, matahari selalu bersinar, sebagai wakil terang, tapi mengapa ada malam, yang mewakili kegelapan. Adanya malam, itu disebabkan oleh ketidak-utuhan bumi menagkap sinar mentari. Dan disitulah kegelapan hadir. Persis juga penderitaan itu hadir. Sakit itu menjadi sehat, kalau kita pandai mengambil hikmh. Termasuk juga sehat itu manjdi laknat jika kita lalai dalam menjemput hikmah. Dan hal ini bisa kita perlebar ke hal-hal yang lain. Tapi intinya, Tuhan senantiasa menghendaki apa yang terbaik untuk makhluknya.

Intinya, kita harus tetap menjadi diri kita sendiri di dalam bersikap, tanpa harus menutup diri dengan kebenaran yang ada di luar diri kita. Segala sesuatu, memang membutuhkan proses dalam merubah seuatu. Termasuk, merubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada di dalam diri kita. Terkadang, tidak selamanya kita bisa melihat diri kita sendiri. Dalam hal ini kita saling membutuhkan apa yang dinamakan sahabt. Sahabat bukan hanya orang yang telah kita kenal namanya, tapi juga kepribadiaanya. Sahabat yang sesungguhnya adalah yang dapat menjadi cermin diri kita.

Bila ia melihat yang buruk ada pada kita, ia tegas mengatakannya. Begitu juga sebaliknya, bila ia melihat yang baik, ia mengatakan apa adanya. Itulah yang saya maskud dengan cermin. Ia dapat membantu dan menjadi alat pengeras suara batin kita, sebab kita sendiri terkadang tidak mampu mendengar suara batin kita, sebab begitu lirihnya, oleh sebab tertumpuk dan tertunggangi oleh egoisme pribadi yang selalu ingin menempat melebihi porsinya.

Seperti kalau kita makan. Makan itu prinsipnya halal jika tepat porsinya. Namun, makan menjadi haram kita jika berlebihan. Kata berlebihan disitulah tempat nafsu yang ditunggangi setan. Dan, hal ini mengenai apa pun. Artinya, berlebihan, atau tidaknya kita dalam segala seuatu yang pasti sungguh atau porsinya adalah diri kita sendiri. Diri yang saya maksud adalah diri yang menempati porsi yang tepat. Bukan diri yang bergandengan erat dengan nama kita.

Spiritualitas: Sumber Kecerdasan

Ada banyak kecerdasan yang Tuhan kasih ke manusia. Ada kecerdasan akal, ada juga kecerdasan hati, ada juga kecerdasan spiritualitas. Mari kita urai satu persatu. Kecerdasan akal berfungsi menjelaskan setiap kejadian, supaya bisa dipahami nalar secara umum. Dalam ruang kecerdasan akal inilah, orang sering memperebutkan kebenaran menurut dirinya sendiri.

Kedua, kecerdasan hati berfungsi menangkap maksud tersembunyi yang luput dari cengkraman kecerdasan akal. Kecerdasan hati meneliti dengan cermat dan jernih apa pun yang terlontar dari hasil kreasi kecerdasan akal. Akan tetapi, kecerdasan hati memungkinkan kecerdasn akal bertumbuh semakin dewasa. Kecerdasan hati membuka cakrawala lebih luas dan mendalam tentang hakikiat kenytaan. Ketiga, sumber utama kecerdasan terletak pada spiritualitas. Artinya, di dalam spiritualitas segala pengetahuan tertampung, sebab di dalam spiritualitas lah ke-Maha-an segala sesuatu tersedia. Dan itu semua bersumbr dari sang Maha kecerdasan.

Manusia Lengkap

Ide ini semula dipicu oleh gagasan Cak Nun. Manusia semestinya mempunyai tiga hal. Pertama, manusia mestinya ia baik. Hal ini terkait dengan moralitas. Kedua, manusia mestinya pintar, hal ini berhubungan dengan intelektualitas. Ketiga, manusia mestinya berani. Hal ini terkait dengan mentalitas. Ketiga hal tersebut bersumber pada spiritualitas. Manusia yang hanya baik, ia mudah diperdaya orang. Manusia yang hanya pintar, ia mudah memperdaya orang. Manusia yang hanya berani, justru ia banyak merusak orang. Kesiembamngan antara ketiganya itulah yang dinamakan spiritualitas.

Sekarang, mari kita kupas satu-persatu. Apa yang dinamakan baik. Pertama, kebaikan.Ia merupakan kesesuaian antara pikiran dan tindakan. Pikiran senantiasa bersumber dari kemampuan menangkap secara jeli realitas, tanpa secra mentah mengamini peristiwa. Sedang tindakan merupakan representasi dari sikap pikiran.

Hanya, perlu diperiksa lebih lanjut. Apakah pikiran dan tindakan punya eksistensi berbeda? Hal ini menarik untuk diteliti. Pada faktanya, orang yang mengejar realitas pikiran, ia ‘hidup’ di dunia ide yang menawarkan cakrawala kenyataan yang terus menantang untuk diungkap. Sedang alam tindakan merupakan kemampuan menyesuaikan antara ‘finalitas’ pikiran dengan peristiwa yang siap diterjemahkan dalam alam pikiran baru.

Kebaikan akan menjadi indah jika senantiasa diperbaharui dengan sikap-sikap yang menawan, meskipun sifat kebaikan itu sendiri memang tetap. Kebaikan itu senantiasa bersenyawa dengan kejujuran dan kesantunan. Kejujuran merupakan kesamaan antara yang detak di hati, di pikiran, diucapan dan di tindakan. Jika salah satu darinya tidak terpenuhi, maka berkuranglah apa yang disebut kejujuran. Begitu juga dengan kesantunan. Kesantunan merupakan ketepatan di dalam bersikap dan kehalusan budi ada di dalam kesantunan.

Kesantunan berbeda dengan kelembekkan. Kesantunan ada di dalam kemampuan menata dengan cermat pergerakan batin yang terkadang fluktuasinya begitu kencang, naik dan turun. Kesantuanan adalah kemampuan menstabilkan dan menata dengan indah gerak batin tersebut. Yang tercermin di dalam ucapan dan perbuatan. Karenanya, Nabi Muhammad merupakan sosok panutan dalm bidang akhlak. Muhammad juga terkenal sebagai al-amin (dapat dipercaya).

Kedua, kepintaran. Pintar merupakan representasi kecerdasan pikiran menangkap dengan cermat gejala-gejala realitas. Semakin orang pintar, semakin ia mudah menjelaskan sesuatu. Maka, makin sederhanalah uraiannya tentang realitas. Karenanya, semakin orang pintar, maka semakin mudah uraiannya bisa dimengerti dengan jelas. Ciri khas dari orang pintar adalah, kemampuan menjelaskan hal-hal yang kompleks, rumit, dan abstrak, dengan kesederhaan dan keterbukaan dan mudah ditangkap maksudnya oleh mayoritas orang. Bukan malah sebaliknya. Hal-hal yang sederhana malah menjadi rumit.

Ketiga, keberanian. Sikap ini merupakan keputusan mental. Berani merupakan ujung tombak dua sikap di atas. Berani senantisa mengandaikan sikap pengetahuan yang didukung oleh kehendak kuat untuk melawan kenyataan yang bagi hatinya tidak sesuai. Meskipun banyak orang melakukan, tapi jika hatinya menolak, ia lebih memilih keputusan hatinya.

Wallahu 'alam

16-12-2010

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun