Mohon tunggu...
Ahmad Jauhari
Ahmad Jauhari Mohon Tunggu... profesional -

MENULIS SEBAGAI TINDAKAN MENDENGAR.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Baru Setiap Saat

29 Januari 2015   11:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ahmad Jauhari

Di setiap ujung bulan Desember, hampir setiap kita menunggu datangnya tahun baru. Berdebar hati dan mata menatap di ujung barat, matahari mulai kembali keperaduannya. Tahun yang diharapkan dari setiap pribadi memperbaiki kualitas hidupnya. Tahun baru sebagai momentum menelaah ulang karya hidup setiap pribadi di tahun yang silam. Sesungguhnya, orang disebut punya gairah hidup bila senantiasa dipandu oleh pengharapan. Berharap supaya hidupnya hari demi hari kian berkualitas dan bisa menjadi berkah bagi kehidupan sesama.

Dalam kata 'tahun baru' tersirat satu kata kunci makna, yakni persoalan kata 'waktu'. Di dalam persoalan waktu, bila disederhanakan ia mengandung dua makna; yakni waktu dari spektrum 'objektif' dan waktu dalam perspektif 'subjektif'. Yang pertama, kita menyebutnya aspek eksternal dari makna waktu. Yang kedua, kita menyebutnya makna waktu dari segi internal. Waktu yang objektif diukur oleh penanda waktu, yakni detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun, yang sebentar lagi menuju pergantian. Lantas, waktu bermakna ‘subjektif’ adalah terletak kepada penyelaman dan pemaknaan secara baru terhadap waktu objektif tersebut.

Kenyataan dari hidup ini merupakan jahitan, susunan, sekaligus anyaman antara yang eksternal dan yang internal tentang makna kata waktu. Pertautan antara yang objektif dan yang subjektif dimungkinkan kita merajut pergantian tahun (sebagai yang objektif) dan cara pendayagunaannya (sebagai yang subjektif). Lantas, yang bisa kita telisik lebih dalam adalah apa yang kita maknai tentang hakikat waktu?

Pertanyaan ini, mengundang saya untuk membahas lebih dalam tentang apa yang kita sebut dengan waktu yang bermakna 'subjektif'? Baiklah! Pertama, setiap orang dihadiahi oleh Sang Kehidupan, dalam waktu objektif, adalah kita menyebutnya waktu 24 jam. Yang membedakan antar satu pribadi dengan pribadi yang lain adalah soal pendayagunaannya. Kedua, setiap pribadi dianugerahi oleh Sang Maha Agung, keistimewaan yang unik dan tak bisa untuk diperbandingkan. Yang membedakannya adalah soal kegigihannya menggali dan mengais-ngais potensi unik yang ditanam-Nya untuk didayagunakan bagi kemuliaan kehidupan. Ketiga, setiap pribadi punya kecenderungan untuk berbagi dengan sesamanya. Punya kehendak untuk berelasi dengan makhluk lain (makhluk socios: kehendak untuk berteman). Perbedaannya, terletak kepada sampai sejauh mana kehidupan seseorang dengan yang lain, kian hari kian berkualitas dan kita mampu 'menemukan' keunikan-keunikan masing-masing sehingga akan tetap terus bisa saling bekerja sama dan persahabatannya makin berkualitas untuk kepentingan yang lebih luas.

Bila saya mengutip ungkapan Romo Mangunwijaya, bahwa berjumpaan atau persahabatan dengan orang lain, ibarat petani yang mencangkul. Cangkul, cangkullah yang dalam. Semakin mencangkul yang dalam, semakin banyak hal yang ditemukan. Begitulah persahabatan antar umat manusia, yang mestinya tidak tersekat oleh agama, suku, negara dan jenis kelamin. Semakin dalam mengenal pribadi orang lain, kian menemukan mutiara-mutiara yang tak pernah habis untuk dimaknai dan dikerjasamakan. Dan, dengan demikian, kita juga semakin penuh rasa syukur, bahwa ternyata dengan persahabatan yang berkualitas, kita juga dimungkinkan dan dinampakkan mutiara-mutiara yang ada di dalam diri kita sendiri terungkap dan terejawantahkan. Sebagaimana ungkapan Maurice Merleau-Ponty, "Aku meminjam diriku dari orang lain" (Epilog dari Karlina Supelli atas karya F. Budi Hardiman, “Memahami Negativitas”, 2005; hlm. 186)

Ini bermakna, bahwa pertama-tama kita meminjam ‘wajah’ orang lain sehingga kita bisa mengenal lebih dalam diri kita sendiri. Apalah arti hidup kita, bila tiada punya manfaat bagi kehidupan. Bukankah adanya kehidupan kita, juga dimungkinkan oleh kehidupan orang lain. Sehingga, sungguh menjadi logis bila memang nilai kehidupan mestinya diletakkan di atas nilai harga diri. Begitulah ungkapan seorang Bikhsu Budha bernama Bhante Dhammasubho Mahathera. Dan, nilai harga diri di atas harga materi. Bukannya justru dibalik. Nilai materi di letakkan di atas nilai diri dan nilai hidup. Bila yang mengkomandoi seseorang adalah nilai materi di atas nilai hidup dan nilai diri di bawah nilai materi, maka tinggal menunggu waktu saja kehancuran dari hidupnya. Menunggu waktu kesia-siaan, dalam arti pengarahan hidupnya kepada hal-hal yang akan sirna dan lenyap, sebab memang yang material adalah kenyataan yang, pada hakikatnya lekas hilang, sirna, dan lenyap. Bila nilai diri diletakkan di bawah nilai materi, maka nilai diri seseorang merosot, jatuh kepada nilai benda-benda. Tak ubahnya semacam batu, kayu, tugu, dan palu.

Bila kita cermati kembali hidup kita, jam demi jam, hari, minggu, bulan, sampai pergantian tahun, abad dan melinium, sesungguhnya terletak kepada penggalan dari satu titik nafas ke titik nafas berikutnya. Kesadaran akan setiap penggalan nafas ke titik nafas selanjutnya memungkinkan kita mempunyai kesadaran untuk mendayagunakan hidup semaksimal dan seberkualitas mungkin. Istilah nafas erat terkait dengan persoalan jiwa. Bahkan, inti dari kemanusiaan manusia terletak kepada upaya mengenali perilaku jiwanya. Sebab darinyalah, segala sumber ekspresi muncul dari diri manusia. Bagaimana mengenali karakter jiwa kita masing-masing?

Dalam suatu teks hadist nabi Muhammad saw, “man ‘arofa nafsahu, ‘arofa robbaahu” (siapa yang mengenali karakter jiwanya, memungkinkan dapat mengenal alam keluasan tiada batas [istilah rabb bermakna nama Tuhan yang memelihara, mengayomi). Ada istilah nafs (jiwa atau juga bisa berarti nafas) yang memungkinkan orang mengenali waktu dan pergerakan kehidupan. Jiwa manusia bisa melakukan refleksi (melihat dirinya sendiri; swa-objek). Di dalam jiwa (nafs) terdapat kemampuan mengambil jarak atau kehendak memberi tanda. Itulah yang kita sebut kemampuan berpikir (fa-ka-ra: pergerakan) dengan cara kerja ber-akal; yakni kemampuan menandai atau memberi bekas atas kenyataan (‘a-qi-la [akal]: kemampuan memberi tanda, termasuk disini kemampuan berbahasa). Bahasa bukan dalam arti kata-kata, melainkan maksimalisasi kemampuan memperinci dan meneliti suatu hal. Sebab bahasa hakikatnya adalah alat untuk menunjuk kenyataan. Kenyataan merupakan hal yang kompleks. Bila kemampuan manusia berpikir dengan cara kerja akalnya, didayagunakan secara maksimal, maka manusia memungkinkan ‘memasuki’ wilayah keluasan dan kedalaman atas penglihatan terhadap realitas.

Kesalah-pahaman antar umat manusia di dalam melihat kenyataan, terletak kepada soal wawasan. Dan, wawasan itu terlihat kepada maksimalisasi potensi berpikirnya. Bila seseorang terus-menerus melakukan aktivitas swa-objek; menanyai pikirannya sendiri dengan cara berpikir, dimungkinkan wawasannya terhadap kenyataan makin hari makin berkembang meluas. Sehingga, di dalam menatap realitas tidak akan mudah terjebak kepada logika oposisi binear. Logika melihat realitas hanya pada tataran hitam-putih saja. Padahal, realitas itu kompleks dan butuh kedetailan dan kecermatan di dalam mengaisnya.

Sebagai penutup pada tulisan ini, saya mau mengajak pembaca merenungkan satu hal bahwa, kehidupan ini sesungguhnya selalu bergerak, senantiasa baru dan menyegarkan jiwa untuk selalu bertumbuh, bila nalar diperbaharui di dalam menatap realitas. Dan, yang baru bukan hanya pergantian tahun, melainkan pembaharuan kita sendiri di dalam menjalani dan spektrum kita memandang hidup. Dulu, seorang filsuf kuno bernama Socrates pernah berpesan kepada kita, “hidup yang tidak direnungkan merupakan hidup yang tidak pantas untuk dijalani”. Semoga hidup kita, menjelang pergantian tahun ini, menjadi lebih bermakna, segar, bergairah, dan kian bersinar dalam menebar rasa kasih-sayang di tengah-tengah makhluk sesama hamba-Nya. (***)

Top of Form

Bottom of Form

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun