MEMILIH
Ahmad Jauhari
Orang yang memilih, syarat pertama adalah ia harus punya kebebasan menentukan pilihannya. Nah, tingkat nilai kebebasan itu juga berjenjang. Semakin substansial, maka derajat kebebasannya semakin tinggi. Sebaliknya, semakin material atau memadat/teknis, maka tingkat derajatnya semakin rendah.
Kalau saya membeli baju, satu hal yang saya punya adalah daya sadar untukmengontrol atas kualitas baju tersebut. Artinya, bisa saya punya kuasa menentukan pilihan saya, itulah dasar utama orang berdemokrasi.
Artinya, dalam proses memilih kepemimpinan, kekuasaan utama ada di tangan yang dipimpin (rakyat). Maknanya, tindakan berdemokrasi merupakan pemerintahan (kratos) oleh rakyat (demos). Dengan kata lain, inti dasar demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Nah, problem mulai muncul, saat rakyat, yang tentu saja punya beragam tingkat pemikiran dan kepentingan, menentukan orang-orang yang dipercaya mengatur sirkulasi, mengolah, dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Presiden merupakan wilayah atau ruang yang diberi wewenang atau kepercayaan oleh rakyat untuk mengelola, mengatur, dan 'memaksa', demi suatu cita-cita kesejahteraan yang dimimpikan bersama. Artinya, kepemimpinan bukan hanya presiden, melainkan suatu bidang yang dimungkinkan akibat ketidak-setaraan atau ketidakadilan yang muncul di suatu komunitas manusia.
Kalau ditimbang secara yang semestinya, Presiden atau pemimpin itu yang menghendaki untuk mendudukinya memang rakyat, bukan dirinya sendiri yang mencalonkan. Artinya, Pemimpin itu akan selalu menebar sikap saling percaya antar orang, bila di suatu komunitas masyarakat mulai terkikis sikap saling percaya.
Inilah bedanya, antara pemimpin dan penguasa. Bila pemimpin itu menebarkan sikap saling percaya. Penguasa itu menebarkan tindakan memaksa dan menyebarkan bibit ketakutan di tengah masyarakat. Di titik inilah, ketidakadilan, sikap saling curiga, dan matinya bibit cinta, yang mendorong kekacauan sistem sosial.
Setiap manusia, pada hakikatnya adalah pemimpin atas dirinya. Kemampuan memimpin diri, berbanding lurus dengan tingkat keharmonisan yang akan dijumpai dan dialaminya. Artinya, memimpin dimungkinkan kemauan dan kemampuan untuk mengenali setiap sudut dan karakter dari yang dipimpin. Mengetahui kebutuhan dan hak dari yang dipimpin. Sehingga, memimpin itu juga bermakna melayani. Justru dengan melayani, semakin sejahtera terhadap apa yang dipimpinnya. Dan, itu secara otomatis akan mengharmoniskan jiwa sang pemimpinnya.
Menjadi pemimpin merupakan kodrat primordial umat manusia. Disebut primordial, sebab manusia punya kecenderungan untuk mencari keharmonisan, dan keharmonisan merupakan salah satu jendela membuka pintu gerbang kebahagiaan.
Sebagai goal (tujuan) dari kepemimpinan adalah kebahagiaan dan kesejahteraan, maka urun rembuk (musyawarah) juga merupakan salah satu strategi menjalankan kepemimpinan. Bertukar gagasan antara yang memimpin dan yang dipimpin juga punya maksud meminimalisir negativitas yang muncul setelahnya.
Artinya, komunikasi merupakan kata kunci urgen menjalankan kepemimpinan. Komunikasi dalam arti, kemampuan setiap individu (yang memimpin maupun yang dipimpin) menemukan benang merah dari silang-sengkarut gagasan yang saling bertaburan. Prinsipnya, kemampuan menemukan nilai kebenaran di antara hal yang keliru (palsu). Kemampuan menemukan nilai keutamaan di antara nilai kebenaran. Kemampuan menemukan nilai kemuliaan di antara nilai keutamaan. Maka, kata kuncinya adalah kemampuan menemukan nilai prioritas.
Nah, kepemimpinan itu perlu dilambari kemampuan untuk mengenali karakter jiwa manusia. Sebab apa yang lahir ditentukan oleh yang batin. Apa yang tampak ditentukan oleh yang rohani. Dan, yang memimpin diri manusia dengan segala kelengkapannya adalah jiwanya.
Kalau mengikuti Imam Al-Ghazali, kehidupan di dunia ini, dihuni oleh, kalau dipadatnya menjadi enam macam profesi. Pertama, para petani. Artinya, orang yang punya wilayah memproduksi dan menyediakan bahan makanan dari seluruh umat manusia. Kedua, para tukang bangunan. Artinya, profesi ini merupakan wilayah orang yang bertugas membuat rumah-rumah untuk manusia bisa berteguh dari ganasnya alam. Ketiga, para penenun. Artinya,orang yang punya kuasa untuk memproduksi pakaian manusia sebagai pelengkap ekstetika dan yang membedakan dari aspek martabat sebagai makhluk yang lain. Itulah dalam istilah kebudayaan Jawa disebut sebagai kebutuhan pangan, papan, dan sandang (makan, rumah, dan pelindung badan).
Keempat, pedagang. Yakni orang yang punya wilayah menghantarkan dari produksi menjadi konsumsi. Petani, pembangun (ahli bangunan), dan penenun merupakan wilayah produksi. Sedangkan profesi pedangang merupakan penghubung antara produsen dan konsumen dari makanan, tempat tinggal, dan pakaian.
Namun, Para petani, pembangun, penenun, dan pedagang, juga punya kecenderungan untuk curang, sehingga butuh pengatur yang punya wewenang meminimalisir munculnya kecurangan di antara profesi di atas.
Kelima, pemerintah. Pemerintah atau pemimpin merupakan profesi yang berwenang kuasa untuk mengatur dan mengelola keempat profesi di atas, sehingga, proses produksi dan konsumsi menjadi maksimal dan saling menyejahterakan. Juga profesi yang mengatur dan memungkinkan keempat profesi tersebut di atas, tertata, dan meminimalisir kecurangan-kecurangan yang dilakukannya. Dan, semua profesi mulai dari pertama sampai kelima adalah profesi yang mengurus kebutuhan fisik manusia.
Maka, dunia ini masih membutuhkan profesi yang keenam, yakni ulama, rohaniawan, ilmuan, budayawan, (penutur jalan kebenaran) sebagai pelengkap bahwa manusia bukan hanya hewan yang sekedar memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan, dan yang terdistribusikan. Manusia adalah mahluk yang serba kemungkinan. Artinya, manusia adalah mahluk yang selalu dikejar oleh kehendak-kehendaknya yang tak terbatas. Kehendak tak terbatas mengandung dua kemungkinan. Bila diarahkan kepada yang tak terbatas, ia akan akan meneguk kesegaran dalam memaknai hidup. Namun, bila kehendak yang tak terbatas tersebut diarahkan kepada yang terbatas (hal-hal yang bersifat padat), maka pelan tapi pasti akan menghancurkan martabatnya sebagai manusia. Sehingga, ia tak ubahnya seperti hewan, saling berebut, saling menghina, dan, yang paling gawat adalah saling menumpahkan darah.
Nah, hancurlah kehidupan dunia ini, bila para ulama, ilmuan, budayawan berselingkuh dengan para petani curang, tukang rumah curang, pedagang curang, pemerintah curang.
Lantas, siapakah manusia atau pemimpin yang bisa selamat? Siapa saja yang tetap mewaspadai dirinya, jiwanya bahwa ia punya kemungkinan untuk berlaku curang yang disetir oleh kehendak yang menyeretnya pada pemenuhan hal yang terbatas. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H