Ahmad Jauhari
Cara bergaul, bertindak, dan mengambil keputusan, sekurang-kurangnya, galib dipengaruhi oleh sahabat-sahabat disekitar kita. Dan, kata kunci dalam persahabatan adalah kemampuan menjaga keharmonisan. Bagaimana menentukan yang terbaik untuk diri kita bila terjadi perbedaan di dalam menyelesaikan suatu soal, apalagi soal relasi laki-laki dan perempuan, yang terkadang rumit, tak gampang diuraikan? Istilah zaman sekarang adalah di saat orang mulai pacaran. Saling mengenal antara pribadi, yang memungkinkan benih-benih cinta itu mekar.
Ungkapan ‘sahabat’ berakar dari istilah bahasa Arab: sho-khi-ba: menguliti dan mengelupas. Hal apa yang dikuliti dan dikelupas di dalam proses persahabatan? Bagaimana supaya satu dengan yang lain bisa saling memahami, tanpa mendominasi, namun tetap saling menghormati? Kata kunci untuk konteks ini adalah problematika kehendak. Mengapa kehendak? sebab darinyalah seseorang bertindak atas beragam aktivitas. Tindakan menguliti, menggali, saling mengenal, dan saling ‘mengelupas’ antar pribadi, bermula dari soal proses penghendakan.
Sebelum membahas hal tersebut, kiranya perlu diungkap ‘gudang’ dari kehendak, yakni jiwa. Jiwa bisa dikenali lewat kodrat (Yunani: physis)-nya, dengan melihat dunamis (daya-daya) yang muncul dari dalam dirinya. Jiwa manusia mensyaratkan dua hal; yakni daya pasif (pathos: gerak menerima sesuatu) dan daya aktif (ergon: gerak mengolah sesuatu) (A. Setyo Wibowo, 2009). Artinya, perilaku jiwa memungkinkan dalam dua situasi; gerak menerima dan gerak mengolah hal yang diterima. Jadi, jiwa itu berperan mereaksi atas apa yang mengenai dirinya, dan upaya mengolahnya.
Pertama, saat jiwa sebagai daya pasif, aktivitasnya adalah mengamati hal-hal yang ‘menimpa’ dirinya. Ketenangan dan kelembutan kesadaran, yang memungkinkan reaksi (jiwa memerankan daya aktif) atas peristiwa menjadi tepat. Jiwa, bagi Platon adalah gerakan yang menggerakkan dirinya sendiri (autokineton). Tatapan kesadaran yang mendalam dan tajam atas gerakan jiwa, memungkinkan seseorang bertumbuh daya kreatifnya. Kedua, di saat berperan sebagai daya aktif, kesadaran manusia senantiasa mencipta dan mengkreasi. Termasuk dalam konteks ini, mengurai pelbagai benturan kehendak yang muncul di dalam dirinya, juga bergesekan antar kehendak dengan yang di luar dirinya.
Dilihat dari sudut ini, ada tiga macam unsur tipologi kehendak manusia, mengikuti gagasan Platon (A. Setyo Wibowo, Arete, 2009), yang memungkinkan manusia bertindak seturut jiwanya. Pertama, jiwa ephitumia. Hal ini bermakna bahwa ada semacam hendak diri yang mengarah kepada pemenuhan makan, minum dan seks (reproduksi). Jiwa ephitumia beroperasi (ephi; pinggiran, thumos; dada) di wilayah sekeliling dada kebawah, yakni perut dan alat reproduksi. Epithumia berfungsi penting bagi kehidupan. Seksualitas (hasrat organis dan regenerasi spesies), bersifat immortalitas relatif. Artinya, jiwa epithumia itu irasional dan mortal. Disebut irasional karena kehendak ephitumia tak bisa dikekang, namun bersifat mortal (sementara). Epithumia, juga digambarkan oleh Platonserupa “gentong bocor”, atau berupa “binatang berkepala banyak” (hlm. 41). Maka, kondisi “(...) epithumia adalah “bagian yang rebel, pemberontak dan butuh banyak hal untuk mengontrolnya)” (hlm. 72). Untuk mengenali hasrat epithumia, khususnya soal “(..) uang (makan, minum, dan seks)” kita butuh agen “yang bisa memberikan limit (batas)” (hlm. 72). Dan, itulah yang dilakukan oleh jiwa Rasio. Sebentuk jiwa yang memungkinkan mengenali batas, bahwa mengikuti kehendak ephithumia tanpa sadar batas, jiwa akan terganggu, bahkan dapat mengeruhkan dan menghacurkan harmonisitas jiwanya. Salah satu perwujudan dari jiwa ephithumia yang akut adalah orang di dalam hidupnya, dikomandoi oleh hasrat akan uang yang tanpa batas (irasional), yang bila terus dituruti akan menghancurkan dirinya sendiri.
Nah, bila ditarik dalam konteks relasi pacaran dalam dunia remaja, jiwa ephitumia merupakan daya dorong penggerak akan yang fisik. Kehendaknya akan yang fisik, memang tidak terbatas. Sedangkan yang dikehendaki (objek penghendakannya) itu terbatas. Nah, di situlah, seringnya terjadi benturan. Benturan kehendak atas objeknya. Hasrat akan makan, minum, dan seks itu tidak terbatas, sedangkan wadah objek penghendakan itu terbatas. Bila batas keduanya tidak dikenali dengan jernih, yang muncul adalah benturan, dan saling menuntut tiada pernah berujung.
Kedua, Jiwa Thumos, yakni gelora akan “segala bentuk afektivitas, rasa, semangat, dan agresivitas” (hlm. 48)yang tak terbatas. Thumos adalah hasrat untuk “mencari kemenangan dalam kompetisi dan sibuk mencari penghargaan di mata orang lain” (hlm. 48), yang sifatnya nisbi (semu). Dimensi ini“(..) bersifat irasional”, sebab “seringkali demi rasa harga diri dan bangga diri, orang meninggalkan pertimbangan-pertimbangan rasional” (hlm. 48) dan yang sering bertindak bodoh. “Orang yang terlalu cinta pada harga dirinya, harga diri keluarga atau bangsa bisa meninggalkan segala pertimbangan rasional” (hlm. 48), yang justru merusak integritasnya sebagai manusia. Jiwa Thumos mendorong manusia untuk merusak nilai dirinya sendiri.
Dalam konteks jiwa yang mengarah kepada thumos, inilah kiranya persahabatan itu macet antar pribadi. Thumos adalah gelegak akan nama diri, harga diri, bangga diri. Kenyataan hidup bahwa, bila antar pribadi terjadi pertentangan, bisa dilihat dari sini, bahwa thumos-lah yang memungkinkan demikian. Hasrat akan nama diri dan bangga diri menjadikan persahabatan bukan lagi atas nama cinta, melainkan dikomandoi oleh ke-diri-an, yang adalah akar dari pelbagai konflik, perselisihan, juga pertentangan antar pribadi.
Ketiga, Jiwa Logistikon merupakan bagian dari jiwa yang bersifat rasional.Ia bekerjamemberitahu dan mengendalikan dua bagian jiwa sebelumnya (epithumia dan thumos). Logistikon tak pernah lelah memberitahu sang kuda binal (epithumia). Di saat tubuh lelap tertidur, logistikon mengirimkan signal nasehatnya lewat mimpi. Logistikon-lah, yang memungkinkan manusia punya kehendak untuk mengurai pelbagai problem yang menjerat dirinya, oleh sebab dorongan ephitumia dan thumos.
Jiwa manusia adalah kompleksitas gerakan yang penuh dinamika konflik dan tak pernah sepi dari ketegangan kehendak. Komplesitas ini yang justru enigmatic untuk diselami terus-menerus, sebab memang jiwa itu sebentuk ‘sumur pengetahuan’ yang berdasar di entah.
Bila sang jiwa terpusat pada upaya menumpuk kebendaan, disebut philokhrematon. Bila jiwanya terdorong untuk pencapaian nama besar, disebut philonikon atau rasa hormat (philotimon).Bila jiwanya terarah pada cinta akan kebenaran/pengetahuan, ia disebut philosophosatau cinta belajar (philomates) (A. Setyo Wibowo, Arete, 2009).
***
Cinta akan persahabatan itu bermakna hasrat yang kuat untuk mengeluas, membedah, menguliti, sekaligus menelaah (Arab: so-kha-ba: mengelupas) pelbagai pengetahuan akan kebenaran. Jiwa yang mencintai kebenaran, senantiasa didorong oleh kehendak menyingkap cakrawala. Cinta akan persahabatan juga mengandaikan dorongan kehendak untuk saling berbagi kebaikan dan makna kebijaksanaan dalam setiap waktu. Bukan hanya pada momentum hari Valentine, yang orang pada umumnya, menyebutnya sebagai hari kasih-sayang. Memang menjadi logis, bila manusia punya kecenderungan untuk memomentumkan peristiwa-peristiwa yang menjadikannya hidup bermakna (termasuk dalam hal ini momentum hari Valentine). Namun, bila kecendongan itu tidak disertai kehendak untuk merenungkan ulang, yang terjadi adalah pengulangan aktivitas yang miskin makna. Itulah yang disebut rutinitas tindakan yang absen atas jiwa pemaknaan.
Cinta dan persahabatan merupakan realitas pengejawantahan dari orang-orang yang punya kehendak untuk merawat jiwanya. Mengapa jiwa perlu dirawat? Sebab akar dari pelbagai kekeruhan hidup, termasuk relasi antar pribadi (relasi dengan diri sendiri maupun dengan orang lain) menjadi tidak dijumpai titik terang pintu penguraiannya, bila jiwa tidak pernah dirawat. Bagaimana merawat jiwa? Satu hal yang bisa dilakukan di dalam proses merawat jiwa adalah mencintai persahabatan. Mencintai aktivitas menelaah realitas. Aktivitas menatap realitas yang chaos ini demi perjalanan jiwa untuk tetap terawat.
Akhir kata, bahwa cinta persahabatan itu kata lain adalah cinta untuk belajar. Hasrat yang kuat untuk memperbaharui jiwa, yang adalah juga disebut bagian dari aktivitas merawat jiwa. Dialog dengan pribadi yang lain, saling berbagi gagasan, tukar-menukar pencandraan akan realitas akan memperkaya seseorang di dalam pemaknaan akan hidup. Sokrates pernah bilang, hidup yang tidak pantas untuk dijalani adalah hidup yang tanpa dimaknai. Hidup yang miskin pemaknaan adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani.
Bila nada dasar persahabatan dengan orang lain adalah cinta untuk belajar (philomates), dan cinta akan kebenaran/pengetahuan (philosophos), bukan cinta yang disusupi kehendak menumpuk kebendaan (philokhrematon), atau cinta akan nama besar (philonikon) atau motif mencari rasa hormat (philotimon), maka yang tumbuh adalah saling pengertian dan pemahaman untuk bersama-sama tumbuh dan mekar jiwanya. (***)
* Naskah untuk JUTI (Jemaat Universalis Tauhid Indonesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H