Mohon tunggu...
Ajar Enggar Waskito
Ajar Enggar Waskito Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengendali Udara

Kritik dan Saran sangat diterima sebagai pelopor dalam kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tana Lungguh "Warisan yang Menguntungkan atau Merugikan"

29 Desember 2021   21:50 Diperbarui: 29 Desember 2021   21:56 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sistem Lungguh ini yang telah menjadi warisan atau budaya leluhur yang diturunkan dari Kerajaan Mataram dan diwariskan kepada Surakarta dan Yogyakarta atau Vorstenlanden, dari pembagian tanah yang telah disepakati dalam perjanjian Gianti pada tahun 1755 oleh kedua kerajaan tersebut. Pembagian wilayah dariKerajaan Mataram dengan perbatasan wilayah yang sudah disepakati oleh kolonial Belanda. terdiri empat Kerajaan yaitu Kesunanan dengan wilayah kekuasaan: Klaten, Boyolali, dan sebagian besar Sragen, dengan luas wilayah 3.360 k.p. Mangkunegaran dengan wilayah karanganyar, dan karangpandan, dengan luas wilayah 2.780 k.p. Kesultanan memiliki luas wilayah 2.900 k.p, Pakualaman memiliki luas wilayah 0.63 k.p. Atas pembagian wilayah ini maka setiap Kerajaan dan Keresidenan mempunyai wilayah yang harus dikelola untuk masyarakatnya.


Sistem perpajakan atau lungguh ini akan mengacu kepada struktur sosial masyarakat di vorstenlanden, hal ini bisa dicanangkan sebagai sistem feodal. Pembagian atau strukturnya yaitu:
1. Terdapat kegiatan agrikultural terbesar yang non-monetisasi, mayoritas petani sangat patuh terhadap elit lokal seperti: Raja dan kelarganya. Raja dan bawahannya yang meiliki peran penting dalam pembentukan dan perolehan surplus keuntungan.

2. Surplus keuntungan yang ada dalam masyarakat feodal tidak dikategorikan sebagai barang ekonomi, penggarapan tanah adalah masyarakat bawah yang hanya patuh pada perintah raja sebagai pemilik tanah.

3. Klaim atas hak tanah yang paling besar berada dalam kekuasaan Kepala Desa, Camat, dan Gubernur Daerah yang memiliki klaim terhadap penggarapan tanah dan hasil produksi tanah.

4. Kontrak atas tanah melalui perjanjian lisan, yang beberapa sangat multi interpretasi dan tanpa ada kontrak tertulisseperti yang berlaku dalam hukum Eropa/Romawi.

Apa yang telah dipaparkan diatas bahwa setiap raja adalah pemilik tanah di Kerajaannya bahkan diseluruh wilayahnya, hasil dari tanahnya merupakan hak milik raja, sedangkan pekerja atau petani hanya mendapatkan hasil dari pembagian atas tanah yang dikelolanya. Sebaliknya petani sebagai penggarap tanah tersebut harus membayar pajak lungguh berupa hasil tanah yang telah dikerjakan oleh tenaga kerja mereka. Tana lungguh yang  dikelola  akan dibagi menjadi narawita (Domain Kron) di satu sisi dan Paru-Paru Tanah untuk centana dan tahanan di sisi lain. tanah yang telah dibagai kepada para pengabdi kerajaan atau pekerja akan dibagi lagi kepada para bawahan pekerjanya, dalam hal ini pambagian pajak atas tanah wilayah atau lungguh ini menjadi pekerjaan utama bagi masyarakat yang telah mendapat bagian.


Setiap pekerja akan mendapatkan hasil lungguh dari pejabat atau penguasa bahkan raja, Luas tanah untuk kantor atau "tempat duduk" lungguh bervariasi tergantung pada masa kerja pejabat atau sifat hubungannya dengan raja. Sebenarnya hak turun-temurun atas tanah resmi dan, terkadang diberikan kepada anggota keluarga dekat raja atau  pejabat setia yang memiliki hubungan perkawinan dengan Sultan. Hak serupa juga diberikan kepada keturunan keluarga tokoh agama terkemuka, seperti keluarga Pangeran Serang dari Jawa Tengah Utara, yang silsilahnya konon terlacak hingga ke penyebar masyhur Islam (wali) Sunan Kalijogo dan merupakan pendukung gigih Diponegoro selama Perang Jawa. Apa yang telah dikemukakan oleh Pater Carey ini mengindikasikan bahwa setiap pejabat akan mendapatkan tanah dari raja  untuk dikelolanya, dan pejabat pun akan mempunyai pekerja untuk mengelola tanahnya.  


Ledakan sewa lahan sejak tahun 1830-an di kawasan Praja Kejawen melahirkan pemain baru bernama Bekel Putih, yakni tenant-tenant Eropa yang menyewakan lahan untuk mengembangkan perkebunan yang menghasilkan produk ekspor. Ada hal yang harus kita ketahui dalam pembagian tanah di era vosrtenlanden ini, seperti Para pemegang tanah dinamakan lurah patuh atau patuh; sedangkan nama daerahnya lungguh atau gaduhan. Mengenai sifat hak-hak para pemegang tanah jabatan ini, tidak ada kesesuaian paham dalam pembagian untuk pajaknya, Para pejabat atau abdi negara, kolonial dan masyarakat pribumi yang telah mengelola tanah wilayahnya. dalam pemungutan pajak atau pajeg, yang dipungut dari tanah-tanah garapan, Terutama tanah kerajaan. Dari seluruh tanah garapan di suatu desa, seperlimanya adalah tanah kantor bebas pajak yang disebut lungguh yang artinya bekel, yang juga merupakan kepala pemerintahan desa. Sisanya, 4/5, tinggal dengan yang disebut bumi dalem (tanah raja) atau bumi kongsi (tanah persekutuan). Tanah yang menjadi salah satu pendapatan ekonomi pertama untuk keberlangsungan hidup setiap masyarakat pribumi. Penagihan pajak atau pajeg yang sangat menyesakan para perkerja atau buruh, tidak sesuai dengan pendapatannya dalam pekerjaan yang mereka jalani.


Daftar Pustaka:

- Takashi Shiraishi, Zaman  Bergerak Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-1926, Cet. 1. (Jakarta: Pustaka Utama  Grafit, 1997).

- P. B. R Carey, Kuasa ramalan: Pangeran Diponegoro dan akhir tatanan lama di Jawa, 1785-1855 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 2012).

- A.M.P.A. Scheltema, Bagi Hasil Di Hindia Belanda (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun