Butiran bening mengalir dari kedua mata. Deras, tak terkendali. Meluap, meruah dari rasa yang begitu perih. Apa yang terjadi? Adakah seseorang yang bertanya begitu? Tidak, sama sekali tidak. Sudah begitu tidak pedulikah mereka padaku? Entah, aku tidak lagi mau tahu. Tangisku makin sedu sedan. Sepertinya justru menambah luka hati. Sampai seseorang datang mendekatiku. Anakku. "Bunda kenapa? Bunda nangis? Kenapa nangis Bunda?" Pertanyaan beruntun yang menghenyakkanku. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Malaikat kecilku itu dengan tersedu mengusap tiap lelehan air mataku. Aku begitu terharu. "Jangan nangis ya Bunda..." Dia memelukku erat. Dadaku kian menyesak. Air mataku mengalir semakin deras. "Aku ambil tissue ya Bunda..." Aku hanya bisa mengangguk. Dia datang kembali membawa tissue. Mengusap air mataku. Membersihkan wajahku. "Sudah ya Bunda, jangan nangis lagi. Bunda kenapa nangis? Bunda takut? Jangan takut ya Bunda, ada aku disini." Dia berkata seperti itu sambil membelai rambutku lembut. Kata-katamu Sayang, memberikan aku kekuatan yang begitu besar. Ah, malaikat kecilku, harusnya aku yang memberimu kekuatan itu. Tak akan pernah kulupa kisah ini. Ketika malaikat kecil 3 tahunku menenangkan perih hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H