Seorang anak akan memulai belajarnya. Disiapkan buku-buku yang akan dipelajari. Menyalakan lampu belajar danmembolak-balik halaman dihadapannya.
Owh.. dia lupa laporan pada Mamanya kalau dia memperoleh nilai 85 untuk puisi yang dia buat tentang Mama. Nilai itu, nilai tertinggi di kelasnya.
“Ma... Ma... Mama...”, dia berlari dari kamar menuju ruang tengah, tempat Mamanya asik menonton sinetron.
“Ya sayang... ada apa?”, jawab Mamanya tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.
“Ini Ma... Gita Cuma mau kasih tahu. Tadi Gita dapat 85 loh Ma waktu buat puisi. Nilai tertinggi di kelas. Hebatkan Ma...”, semagat Gita dengan laporannya.
“Hmm... terus matematikanya dapat berapa? Tadi ada pelajaran matematika juga kan?”, tanya Mama masih asik dengan sinetron.
“Em... iya Ma. Ada. Matematikanya dapat 60”, jawab Gita sedikit takut.
Mama berpaling daritelevisi, menatap Gita.
“Nulis puisi 85, matematika 60... begitu kamu bangga, Git?”, tanya Mama sedikit tinggi.
Gita tunduk dan menggeleng, tanda tak bangga. Tak bangga karena Mama tak bangga jika nilai matematika lebih rendah dari nilai apresiasi puisi yang dia buat tentang Mama.
“sudah sana... masuk kamar! Belajar lagi yang benar!”, suruh Mama.
Gita kembali ke meja belajarnya. Membuka halaman yang memuat puisi buatannya. Membacanya dengan linangan air mata sedikit kecewa dan sakit hati.
Mamaku purnama yang menjagaku dikala ku sedang terbang ke awan mimpi
Bintang yang menerangi jalan gelapku meraih cita
Selimut yang menghangatkan dikala ku resah
Sandaranku yang menopang disaat bimbang
Mamaku anggun memesona
Tanpa rias dia cantik hatinya
Mengajariku semua cinta
Memberi dan menyayang selamanya
Mamaku juga mamamu berhati mulia
Tak pernah kata sia terluap dari bibirnya
Semuanya nasihat yang menjadi semangat
mama adalah segalanya
Gita bergumam diakhir barisnya,’mungkin itu Mamaku, Mama khayalanku’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H