Mohon tunggu...
Ayu Rosyidah
Ayu Rosyidah Mohon Tunggu... -

(no longer) mahasiswa sosiologi UA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenaikan Upah Buruh, Layakkah?

25 Maret 2013   06:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:16 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir-akhir ini kita menghadapi sebuah fenomena sosial yang sudah tidak asing lagi, yaitu demo buruh. Demo yang dilaksanakan oleh para buruh di beberapa daerah kali ini adalah untuk menuntut kenaikan upah mereka. Misalnya saja buruh di Jakarta yang menuntut kenaikan buruh sebesar Rp2,7 juta, namun pada akhirnya disetujui oleh Jokowi hanya sebesar Rp2,2 juta. Sampai saat ini saya lebih banyak mendengar mengenai kontra dari kenaikan upah buruh tersebut, daripada dari sisi pro-nya. Baik itu dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) bahkan dari teman-teman sendiri. Sebenarnya saya sangat menyesalkan sikap ini karena menunjukkan bahwa ternyata kita masih kita lebih berpihak kepada pasar daripada dengan saudara setanah air sendiri, yaitu buruh. Misalnya saja opini dari teman2 yang tidak mendukung dengan kenaikan upah buruh karena pasti akan berdampak pada harga kebutuhan pokok. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, namun apakah kemampuan kita yang “sedikit” diuji dalam memenuhi kebutuhan pokok pantas disetarakan dengan perjuangan hidup buruh sehari-harinya?

Inilah yang membuat saya ingin mengungkapkan ini melalui tulisan agar dapat membuka hati para pembaca.Disini saya akan membahas dari contoh upah buruh di Jakarta saja. Upah minimum yang ditetapkan adalah Rp2,2 juta untuk tahun 2013. Apakah menurut pembaca, upah tersebut sudah atau kurang layak bagi buruh yang hdiup di Jakarta dimana biaya hidupnya memang tinggi? Ataukah pembaca malah menilai upah itu jumlahnya berlebihan? Saya ingin menjabarkan mengenai jumlah itu untuk keperluan sehari-hari. Saya memakai standard di Surabaya karena belum tahu pasti bagaimana living cost di Jakarta.

Sewa Kos: Rp ±400.000 (sendiri)/ Rp ±500.000 (keluarga)

Makan, keperluan dapur: Rp ±50.000 /hari -> Rp1.500.000 /bulan

Bisa dilihat bahwa jumlah Rp2,2 juta saja belum bisa terpenuhi untuk kebutuhan pangan dan tempat tinggal bagi seorang buruh dan keluarganya. Bagaimana dengan kebutuhan kesehatan, pendidikan anak, transportasi, kebutuhan rekreasi? Masih bisakah anda berpendapat upah tersebut adalah harga yang mewah untuk dibayarkan pada seorang buruh? Padahal mereka rata-rata bekerja 8 jam per harinya. Dengan menekuni pekerjaan yang sama setiap harinya, selama bertahun-tahun sampai menjadi zombie.

Bahkan sampai saat ini, jika anda mendengar kata “buruh”, sebagian besar dari anda semua akan membayangangkan seseorang yang hidup pas-pasan dimana barang berharga yang paling mahal untuk dimiliki adalah sepeda motor. Namun, anda merasa keberatan jika seseorang yang anda bayangkan tersebut akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak, salah satunya adalah pemberian gaji yang layak pula. Mereka para buruh adalah saudara kita. Sampai saat ini tidak ada keberpihakan pada mereka mengenai kehidupan yang layak, bahkan pemerintah. Karena pemerintah jauh lebih mementingkan kepentingan pasar/ perusahaan yang lebih membawa nilai lebih bagi mereka. Padahal anda dikaruniai pendidikan dan kehidupan yang lebih baik namun hati anda masih belum terbuka untuk memberangus kezaliman. Jika anda membiarkan atau malah mendukung kehidupan buruh yang tidak layak tersebut, bukankah anda termasuk orang yang berlaku zalim pada sesama?

Sebuah hadis Nabi menyatakan: Jika kamu melihat satu kemungkaran, maka hendaklah kamu mengubahnya dengan tangan-tangan (kuasa) kamu, jika kamu tidak mampu maka ubahlah dengan perkataan (teguran lisan). Jika kamu tidak mampu (juga) maka ubahlah dengan hatimu. Demikian itulah selemah-lemah iman.

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. Dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan (jika terus condong terhadap kezaliman itu) - Hud:113

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun