Pembagian-pembagian administratif oleh Bingtuan membuat pemerintah pusat membuat kebijakan anti-Uyghur, di saat yang sama keuntungan mereka dapatkan dari tanah dan sumber daya alam yang mereka caplok. Nilai ekspor (dari Xinjiang) mencapai 6,7 milyar dolar pada tahun 2017, termasuk di antaranya hampir seperlima dari kebutuhan saus tomat dunia dan berton-ton kapas untuk memenuhi brand-brand pakaian ternama. Terlebih, Xinjiang juga sangat kaya dengan bahan bakar fosil. Diperkirakan ada 150 milyar barrel cadangan minyak bumi di wilayah ini, 40% batubara Cina dan Tarim Basin (Xinjiang Utara) mensuplai 23,5 juta meter kubik gas alam di tahun 2017.
Bahan-bahan mentah ini dikirim ke pusat-pusat manufaktur Cina. Ini adalah transaksi bernilai multi-milyar dolar di mana semua mendapat keuntungan kecuali Uyghur, di mana mereka dikesampingkan dari peluang-peluang pekerjaan dan bahkan di beberapa wilayah mereka hanya mendapatkan 170-an ribu rupiah per bulan.
Darrent Byler melanjutkan,
"Karena semua pekerjaan dan sumber daya alam diberikan kepada para pemukim etnis Han, Uyghur merasa hak-haknya dirampas. Mereka merasa, tanah telah dicaplok dari mereka dan tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Konsekuensi nyata dari itu adalah biaya hidup menjadi membengkak. Karena semua pemukim Han yang datang ini, mereka mengembangkan bisnis dan menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok menjadi jauh lebih mahal. Karena Uyghur dikesampingkan dari sektor pekerjaan, mereka pun tidak mendapatkan penghasilan dan uang untuk membeli barang-barang tersebut sehingga angka kemiskinan mereka semakin meningkat."
Bagi Uyghur, ketidakadilan dan diskriminasi ini menyebabkan terjadinya kekerasan sporadis terhadap etnis Han. Pada tahun 80an dan 90an kelompok separatis yang telah terkoordinasi gagal melakukan pemberontakan terhadap Cina. Yang terbaru terjadi pada tahun 2009, lebih dari 200 orang tewas akibat kerusuhan di ibukota (Xinjiang), Urumqi. Dan pada tahun 2017, 3 penyerang menggunakan pisau menewaskan 8 orang di Guma, Xinjiang Selatan.
Pemerintah saat ini memasang kode QR pada semua pisau yang dibeli oleh Uyghur. Beberapa orang Uyghur juga berhasil direkrut oleh kelompok kekerasan seperti ISIL dan Al-Qaeda yang kemudian memberikan Cina peluang untuk  membenarkan tindakan (keras) terhadap mereka sebagai upaya melawan terorisme. Namun pemerintah memperlakukan semua identitas Uyghur dengan upaya yang mereka sebut sebagai 'Tiga Kejahatan' ; Separatisme, Terorisme dan Ekstrimisme Agama. Perempuan Uyghur dilarang memakai hijab dan pemudanya tidak diizinkan memanjangkan janggut. Puasa dilarang. Beberapa nama Muslim untuk bayi yang baru lahir dilarang dan orangtuanya juga dilarang untuk memberikan pendidikan Islam dan Uyghur pada anaknya.
Remaja di bawah 18 tahun tidak diizinkan pergi ke masjid saat ada ceramah dan Qur'an (yang beredar) harus disetujui terlebih dahulu oleh negara di mana teks-teksnya diubah agar sesuai dengan ideologi Partai Komunis. Ibadah Haji juga tidak diperbolehkan, kebebasan bergerak (berpindah) dikekang. Paspor-paspor mereka dirampas pada tahun 2016 ketika Chen Quangou memerintah di wilayah Xinjiang. Pekerjaannya sebelum itu adalah melakukan penindasan terhadap lawan politik di Tibet.
Xinjiang saat ini merupakan wilayah di mana polisi didanai besar-besaran, dan pemerintahnya menggunakan teknologi maju, propaganda dan ancaman penjara untuk mengontrol aksi dan pemikiran Uyghur.
Nury Turkel, "Di Jum'at subuh ketika Anda bangun dan berusaha pergi ke Masjid, pemerintah Cina akan menstop Anda dan memaksa Anda untuk melakukan pemindaian mata, penggeladahan tubuh dan ketika Anda pergi ke Masjid, melihat ke atas ada gambar (presiden) Xi Jinping. Anda tidak diperbolehkan untuk memajang gambar orang lain di Masjid, mereka (dipaksa) untuk mengagungkan bendera merah dan gambar Xi Jinping di Masjid.
Pada tahun 2017, Cina menghabiskan 8,5 milyar dolar untuk memonitor setiap aspek kehidupan masyarakat Uyghur. Xinjiang dipenuhi dengan ribuan kamera pengawas yang banyak di antaranya dilengkapi teknologi pengenal wajah. Kendaraan harus diregistrasi untuk melacak perjalanan-perjalanan mencurigakan di antar wilayah. Wifi sniffer dan aplikasi yang wajib diinstall untuk memeriksa perangkat mobile di Uyghur apakah ada konten yang dianggap tidak benar secara politik. Uyghur dipaksa untuk memberikan sampel DNA, data biometrik (wajah, sidik jari dll) dan informasi pribadi mengenai kehidupan beragama dan hubungannya.
Negara kemudian memutuskan apakah mereka ini tidak berbahaya dan informasi ini lantas disisipkan pada kartu identitas yang harus selalu diperhatikan di pos pemeriksaan, pom bensin dan bahkan supermarket. Uyghur yang dianggap 'tidak aman' dikirim ke penjara atau kamp-kamp re-edukasi. Organisasi HAM melaporkan bahwa ada lebih dari 1 juta Uyghur di kamp tahanan ini. Cina menyebutnya sebagai pusat pelatihan vokasional. Orang-orang yang ditempatkan di sini atas tuduhan perilaku ekstrimisme seperti menikah menggunakan upacara keagamaan, menolak menonton televisi pemerintah ataupn karena sedikit perubahan rutinitas, seperti membeli banyak makanan lebih dari biasanya.