Mohon tunggu...
Aisyah Wulan Syabannia
Aisyah Wulan Syabannia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis dan menuangkan isi pikiran

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Fenomena "Child-free" di kalangan Gen Z sebuah kebebasan atau tanggung jawab sosial?

9 November 2024   07:00 Diperbarui: 9 November 2024   08:29 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Fenomena "child-free" atau sebagai keputusan seseorang untuk hidup tanpa memiliki seorang anak semakin menarik perhatian, khususnya di kalangan generasi muda, terutama Gen Z. Istilah ini merujuk pada keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak meskipun sudah menikah. Pilihan ini semakin terbuka seiring dengan berkembangnya pandangan tentang kebebasan individu, perubahan nilai sosial, serta kemajuan teknologi. Salah satu peristiwa penting yang memicu perdebatan publik tentang "child-free" di Indonesia adalah dari unggahan selebgram Gita Savitri Devi pada Agustus 2021 silam, di mana ia mengumumkan bahwa dirinya dan suaminya memilih untuk tidak memiliki anak. Keputusan tersebut menimbulkan respons yang beragam di media sosial, dengan sebagian pihak mendukungnya, sementara yang lain mengkritiknya hal ini sebagai bentuk egoisme dan kurangnya tanggung jawab sosial.

Tetapi Bagi sebagian orang, hidup tanpa anak dapat dianggap sebagai keputusan yang sejalan dengan hak individu mereka untuk menentukan gaya hidup mereka sendiri.  Sama hal nya Bagi generasi muda, terutama Gen Z, alasan mereka memilih untuk tidak memiliki seorang anak sering kali berkaitan dengan kebebasan pribadi, fokus pada karier, serta kekhawatiran mengenai masa depan dunia yang semakin tidak pasti. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan bahwa banyak Gen Z di Indonesia berfikir untuk tidak ingin memiliki seorang anak karena mereka menganggap hal tersebut dapat menghambat pada karir dan juga kekhawatiran mereka pada perubahan tubuh mereka yang akan berubah ketika sesudah mempunyai seorang anak.

Tentu saja, pemikiran tersebut tidak muncul tanpa alasan. Gen Z melihat dunia dengan perspektif yang lebih global dan realistis, di mana kekhawatiran tentang keberlanjutan hidup  yang semakin terancam menjadi faktor pendorong utama. Berbagai isu global, seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan ekonomi, dan ketidakpastian sosial, memperburuk pandangan mereka terhadap masa depan. Mereka merasa bahwa keputusan untuk memiliki anak dalam situasi ini bisa menjadi beban, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir Gen Z lebih kritis terhadap keputusan-keputusan besar dalam kehidupan, seperti memiliki anak, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap generasi mendatang dan bumi itu sendiri.

Di sisi lain, tren "child-free" ini juga menghadapi benturan dengan nilai-nilai budaya Indonesia yang sangat menghargai peran keluarga dan anak sebagai bagian dari kehidupan sosial yang tidak dapat terpisahkan. Di Indonesia, keluarga sering dianggap sebagai fondasi yang menyediakan dukungan dan perlindungan, sementara anak dianggap sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dijaga. Oleh karena itu, keputusan untuk hidup tanpa anak, terutama di kalangan Gen Z, kerap dipandang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional yang mengutamakan keberlanjutan keluarga dan keturunan. Dalam pandangan budaya Indonesia, memiliki anak tidak hanya dilihat sebagai kewajiban moral, tetapi juga sebagai investasi untuk masa depan keluarga, masyarakat, dan bangsa. 

Namun, dalam konteks perubahan sosial yang semakin dinamis, tren "child-free" ini dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih positif sebagai bentuk kebebasan dan kesadaran akan pentingnya kesejahteraan pribadi. Banyak Gen Z yang memilih untuk tidak memiliki anak karena mereka ingin fokus pada pendidikan, karier, serta gaya hidup mandiri. Bagi mereka, kebebasan pribadi menjadi nilai yang sangat dihargai, di mana memiliki anak dianggap bisa menghambat pencapaian kebebasan tersebut. Selain itu, kemajuan teknologi yang memungkinkan adanya pekerjaan fleksibel serta hidup tanpa terlalu bergantung pada struktur keluarga tradisional memberi mereka lebih banyak pilihan. Hal ini mencerminkan perubahan signifikan dalam cara generasi muda memandang kehidupan, di mana pencapaian pribadi dan otonomi lebih diprioritaskan dibandingkan norma sosial tradisional.

Meski demikian, walaupun keputusan "child-free" ini sering kali dianggap sah sebagai pilihan pribadi, penting untuk diingat bahwa fenomena ini memiliki dampak yang lebih besar secara sosial dan ekonomi. Indonesia, sebagai negara dengan populasi yang besar, membutuhkan angka kelahiran yang stabil untuk menjaga keberlanjutan generasi serta mempertahankan perekonomian yang seimbang. Anak-anak memiliki peran penting dalam membentuk struktur sosial yang harmonis dan berkontribusi pada kelangsungan budaya. Oleh karena itu, meskipun kebebasan memilih adalah hak individu, perlu dipertimbangkan juga dampak jangka panjang dari keputusan ini terhadap masyarakat secara keseluruhan.

Data terbaru menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, proporsi perempuan yang melahirkan di Indonesia mengalami penurunan signifikan. Pada tahun 2012, sekitar 70,6% dari 66,5 juta perempuan berusia 15 hingga 49 tahun melahirkan, namun angka ini menurun menjadi 66,4% dari 73,1 juta perempuan pada 2022, menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik. Lebih lanjut, analisis yang dilakukan oleh Tim Jurnalisme Data Harian Kompas juga mengungkapkan bahwa ketertarikan masyarakat terhadap konsep "child-free" di Indonesia semakin meningkat sepanjang tahun 2022. Berdasarkan data Google Trends, minat pencarian terhadap kata "childfree" tidak pernah benar-benar menurun, bahkan mencapai puncaknya pada Oktober 2022 dengan nilai 100 poin.

Dengan meningkatnya ketertarikan terhadap konsep "child-free" dan penurunan angka kelahiran, dapat dilihat bahwa tren ini memberi gambaran tentang perubahan dalam pola pikir generasi muda Indonesia. Mereka semakin sadar akan pentingnya keputusan yang diambil terkait dengan keluarga, dan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara lebih matang. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia perlu memahami perubahan ini dan membuka ruang untuk diskusi yang lebih mendalam tentang keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial.

Jadi, Secara keseluruhan, fenomena "child-free" di kalangan Gen Z Indonesia ini menunjukkan bahwa adanya pergeseran pandangan terhadap keluarga, peran orang tua, dan tanggung jawab sosial. Meskipun keputusan ini dapat dilihat sebagai respons terhadap tantangan global, penting juga untuk mengingat bahwa kebahagiaan dan keberlanjutan keluarga tidak selalu harus diukur dengan jumlah anak yang dimiliki. Dengan terbukanya pemikiran terhadap perubahan ini, masyarakat Indonesia dapat menjaga nilai-nilai sosial yang tetap relevan sambil menyeimbangkan kebebasan pribadi dengan tanggung jawab terhadap masyarakat dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun