Cinta, satu kata yang familiar di seluruh pelosok dunia. Cinta itu, sebuah perasaan— sebuah perasaan yang pasti ada pada manusia. Cinta itu, sebuah ungkapan—ungkapan indah yang menyentuh hati. Karena cinta, hidup terasa lebih indah dan berwarna. Karena cinta, dua insan dapat dipersatukan. Tapi, bagaimana dengan cinta yang tidak pernah berujung? Cinta yang tidak berlabuh pada sebuah kepastian.Yang berbekas hanyalah rasa kesal dan sakit di hati. Itulah yang terjadi padaku.
****
Perkenalkan, namaku Virgo Andini. Panggil saja aku Virgo. Usiaku masih muda 14 tahun. Aku seorang gadis yang berbeda dengan gadis lainnya. Terutama, masalah penampilan. Penampilanku tomboy, kulit cokelat manis, rambut pendek yang lurus, dengan bola mata hitam. Berbeda sekali bukan? dengan gadis lain yang berpenampilan feminim.
Aku sekolah di salah satu Sekolah Menengah Pertama negeri di Bandung. Sekolah yang paling aku damba dari dulu. Dan tidak terasa sekarang sudah masuk tahun ketiga aku sekolah di sini. Selama tiga tahun, banyak sekali suka dan duka yang aku rasa. Namun, ada satu hal yang selalu menemaniku selama tiga tahun ini. Sebuah hal yang umum dirasakan oleh remaja. “Cinta” hal itulah yang selalu menemaniku. Tetapi, cintaku ini berbeda. Cintaku adalah “Cinta yang Tidak Berujung”. Cinta yang tergantung, tak ada kepastian dan hanya memberi banyak harapan kosong.
Kisahku ini berawal saat aku baru diterima di sekolah ini. Awalnya, aku adalah seorang murid biasa yang tak kenal akan cinta. Saat itu umurku 12 tahun. Hanya belajar, belajar dan belajar yang aku pikirkan saat diterima menjadi murid di sekolah ini. Suatu saat, sekolahku mengadakan demo ekskul. Aku mendaftarkan diri ke salah satu ekskul yang telah ditampilkan itu. Aku melihat brosur yang diberikan oleh anggota ekskul itu, melihat kapan aku bisa ikut latihan perdanaku. Setelah mendapatkan informasinya, aku pun kembali ke barisan kelasku. Mencari-cari teman yang satu ekskul denganku.
***
Latihan perdanaku pun tiba. Pertama, aku diperkenalkan dengan senior-seniorku. Setelah itu barulah kami latihan dasar. Aku menikmati latihan perdanaku, sehingga tak terasa waktu latihan pun selesai. Saat latihan kedua, aku bertemu dengan seorang lelaki yang berpenampilan biasa namanya Satria. Dia seniorku, dia baik dan mau mengayomi juniornya. Saat latihan, dia menjadi tutor aku dan temanku Nindi. Sebelum mengajari kami, dia memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.
“ Halo, nama saya Satria. Nama kalian?” tanyanya
“ Aku Virgo, Kak.” Jawabku
“ Aku Nindi “
“ Oke, sekarang saya bakalan ngajarin kalian teknik dasar dulu ya.” Ujarnya.
“ Iya, Kak.” Jawab kami
Kak Satria mengajari kami dengan baik, santai, dan penuh kesabaran. Kami bertiga, sangat menikmati latihan teknik demi teknik yang diajarkan. Setelah itu, kami pun mulai dikumpulkan untuk adu kecepatan dalam berlari zigzag. Giliranku pun tiba, dengan semangat aku berlari dengan cepat mengejar temanku yang di depan. Ups ! tanpa sengaja kakiku tersandung, dan aku pun terjatuh. Dan yang lebih parah, aku memegang tangan Kak Satria!! Dengan tulus, dia membantuku untuk berdiri. Aku berterimakasih padanya karena mau menolongku. Setelah itu, aku lanjutkan lariku sampai finish. Ternyata, lari itu adalah teknik penutupan dari latihan kamu hari itu. Latihan pun selesai. Kami segera membereskan barang-barang dan bersiap untuk pulang. Kebetulan, aku dan Nindi belum dijemput. Jadi, kami memutuskan untuk menunggu bersama sambil berbincang-bincang.
“ Nindi, parah nih. Masa tadi aku megang tangannya sih” keluhku
“ Ciyee. Ya biarinlah, kalo ga dipegangin udah nyungseb kamu.” Jawabnya
“ iya sih. Tapi kan malu ih! Diliatin gitu sama senior lain.” Jawabku
“ Santai aja kali. Toh, mereka ga ngapa-ngapain kamu kan. Ah, jangan-jangan kamu suka yaa sama Kak Satria?.”
“ Eh engga-engga. Aku udah dijemput tuh duluan yaa!”
“ Ciyeee. Oke oke ketemu besok!”
Setelah kejadian itu, aku selalu memikirkan Kak Satria. Aku mulai menyadarinya, kalau sebenarnya aku suka padanya. Tapi aku sadar, aku hanyalah seorang junior sedangkan dia senior. Mungkin, aku hanya bisa menjadi juniornya saja dan tidak lebih.Ya tuhan ! Andai saja aku bisa dekat dengannya.
***
Beberapa bulan kemudian, ternyata tuhan mengabulkan do’aku. Aku dan Kak Satria menjadi teman dekat. Kami saling berbagi suka dan duka satu sama lain. Kak Satria sudah seperti kakaku sendiri. Dia baik, pengertian dan lucu. Dia selalu ada saat aku sedih. Dia selalu menemaniku dikala aku sendiri. Dia selalu menenangkanku dikala aku marah. Dia memberi aku nasihat dikala aku bingung. Aku senang, aku bisa dekat dengannya. Aku senang, selalu ada disisinya.
Namun, kesenangan yang baru kurasakan, berubah menjadi sebuah kesakitan mendalam dihatiku. Setelah aku tau bahwa Kak Satria mempunyai pacar. Hatiku hancur berkeping-keping. Baru saja aku merasakan sebuah kesenangan dihati, kini harus berubah menjadi kesakitan yang mendalam. Tuhan, mengapa ini harus terjadi kepadaku! Sungguh tidak adil rasanya, dia memilih orang lain dibandingkan aku yang selalu ada untuknya. Apa salahku padanya? Sehingga aku harus menerima semua ini?.
Aku mengerti, aku hanyalah seorang “Adik” dan tidak pernah lebih dari itu. Aku menerima semua itu, dan akan selalu menjadi “Adik”nya. Toh, cinta itu tidak harus memiliki bukan?. Menjadi adiknya saja, seharusnya aku bersyukur. Orang lain, belum tentu bisa menjadi “adik”nya. Selain itu, kalau menjadi “Adik” itu lebih leluasa, dan tidak akan pernah merasakan patah hati bila suatu saat harus putus. Kini, aku mengerti mengapa Kak Satria lebih memilih orang lain dibandingkan aku.
***
Suatu saat, aku chatting dengan Kak Satria. Kami saling menceritakan hal-hal yang pernah kami alami. Tiba-tiba, aku menyinggung soal pacarnya.
“ Kak, gimana sekarang sama pacar kaka? Udah anniv yang ke berapa?” tanyaku
“ Hemm, udah yang ke-2 bulan.”Jawabnya
“ Waah, selamat yaa. Longlast Ka.” Kataku
“ Makasi yaa. “
“ Iya sama sama.”
“ Vir, maaf yaa. Aku tau sebenernya kamu sedih kan?” tanyanya
“ ha? Sedih ? engga ko, Ka. “ jawabku bohong
“ Kamu ga perlu bohong. Aku tau ko.” Sanggahnya
“ Beneran engga ko Kaa. Biasa aja lagi.” Aku bersikeras
“ Kamu bohong. Aku tau kamu suka aku. Aku tau segalanya.” Sanggahnya
“ Kata siapa Ka? Engga ko. Bener deh.” Aku berbohong lagi
“ Vir, sebenernya aku pengen banget jadi lebih dari sahabat sama kamu. Tapi, aku takut. Kalo nanti kita harus pisah. Aku takut, kamu jauh dari aku. Kamu ga mau ketemu sama aku.”
“ Hemm, Aku ga maksa ko. Aku nerima apa adanya. Itu hak kaka. Semua itu terserah kaka. “
“ Mungkin suatu saat ya. Jangan sedih please..”
“ iya, Ka. Tenang aja.”
Setelah percakapan itu, aku memikirkan apa yang Kak Satria katakan. “Mungkin suatu saat” apakah itu benar? Atau hanya sebuah perkataan manis belaka? Tuhan, aku dibuat pusing olehnya. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menunggunya? Atau mengabaikannya?. Aku harus memilih, aku siap mengambil konsekuensi. Aku akan menunggunya.
***
Hari demi hari, bulan demi bulan telah berlalu semenjak percakapanku dengannya. Perkataan manisnya selalu terngiang di telingaku yang membuat aku sabar menunggu. Aku menunggu begitu lama. Aku menunggunya selama 3 tahun. Apakah dia tau, jika aku menunggunya? Apakah dia tau bagaimana rasanya menunggu begitu lama? Mungkin tidak. Tapi aku yakin, suatu saat dia akan menyadarinya.
Sudah beberapa bulan, aku lost contact dengannya. Tak ada percakapan apapun diantara kita. Apa aku harus tetap menunggu? Apa aku harus bergantung kepadanya tanpa ada sebuah kepastian setelah sekian lama aku menunggu?. Aku ragu, akan kesiapanku untuk terus menunggunya. Aku ragu jika aku harus menunggu lebih lama. Pada akhirnya, aku harus mengambil keputusan. Aku biarkan harapanku mengalir seperti air, agar aku bebas dari ketakutanku. Selebihnya, itu terserah padanya.
Di tahun ketiga ini, aku bertemu dengan seorang laki-laki. Dia seumur denganku. Dia baik, ramah dan disukai oleh teman-teman. Awalnya, tak ada perasaan apapun padanya. Namun, setelah beberapa lama. Aku mulai menyukai sifat yang ada pada dirinya. Baik kekurangan, maupun kelebihannya. Di mataku, dia adalah orang yang berbeda dari orang lain. Dia unik, lucu, dan sulit untuk di tebak. Jika diibaratkan dengan barang, dia barang yang limited edition. Maka, perasaanku pada Kak Satria mulai hilang. Hatiku yang telah lama kosong, kini mulai terisi oleh orang yang baru kukenal itu. Aku memimpikannya, dikala aku teringat akan dirinya. Tapi apakah dia memimpikanku? Sepertinya tidak. Aku menaruh harapan padanya. Berharap suatu saat akan ada balasannya yang membuat hati senang. Tapi, akankah harapanku akan terwujud? Akankah semua mimpiku tentangnya menjadi nyata? Atau, dia akan seperti Kak Satria?Aku tidak tahu. Hanya waktu yang bisa menjawab semua itu.
The End
Nb : Jika ada kesamaan tokoh dan judul, harap dimaklumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H