Bel pulang berdering, menandakan waktunya untuk pulang. Tapi tidak untukku. Bel pulang saat itu berarti waktunya aku berbicara dengan Daniel. Membicarakan permasalahan yang terjadi saat itu. Aku siap untuk menerima apa yang akan terjadi nanti. Bahkan aku siap bila aku harus kehilangan Daniel. Jika memang itu yang terbaik.
***
Aku menghampiri Daniel yang duduk sendiri di kelas. Dia terlihat sangat kacau. Aku tidak tega untuk mengajaknya memusyawarahkan permasalahan ini. Tapi mau bagaimana lagi, jika aku tidak memusyawarahkannya, masalah ini tidak akan selesai.
” Hey, mari kita bicarakan masalah ini. Mungkin, jika kita membicarakannya baik-baik, kita bisa menemukan jalan keluar.” ajakku
” Hai, ya aku kira mungkin kita harus membicarakannya. Agar masalah ini terselesaikan.” Balas Daniel
” Ya, kau benar. Tapi sebaiknya jangan di kelas, di taman saja ya? “
” Iya, terserah kau saja. Aku setuju-setuju saja dengan usulanmu”
” Baiklah “
Awal pembicaraan yang baik, tidak ada ketegangan antara kami. Kami berjalan menuju taman sekolah. Aku memilih taman, karena suasananya yang sejuk, bisa menenangkan hati sekalipun sedang dalam emosi berat. Kami mencari tempat duduk yang nyaman di sana. Setelah itu, Aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
” Daniel, aku punya banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan padamu. Apalagi setelah masalah yang tadi. Aku tau mungkin peristiwa tadi adalah hal sepele yang tidak perlu dipermasalahkan bagimu. Tapi bagiku, itu bukanlah hal sepele. Aku merasakan ada seuatu yang berubah darimu. Bukan fisik, tapi sikapmu. Kau mungkin tidak merasakan perubahan dalam sikapmu. Tapi aku, merasakannya.”
” Ya, kau benar. Tapi, sikapku yang mana yang berubah, Joe? Beritahu aku, mungkin aku bisa merubahnya. Maafkan aku, aku tidak memikirkan perasaanmu saat itu.”