Mohon tunggu...
Aisyah Ichsani Maulida
Aisyah Ichsani Maulida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

NIM: 11220511000050

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Pemikiran Ibnu Taimiyah dalam Gerakan Salafiyah

31 Desember 2023   21:26 Diperbarui: 31 Desember 2023   21:59 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kata salafi adalah sebuah bentuk penguatan kata al-salaf. Kata al-salaf secara bahasa memiliki makna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Secara terminologis kata al-salaf memiliki arti generasi yang masa hidupnya dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw. Usaha menghidupkan generasi salafi mulai terjadi sejak abad ke-4 H atau ke-9 M,  pada abad ini Ahmad Ibnu Hanbal adalah pelopornya. Pada saat itu kemajuan berpikir sudah sangat cepat dan munculnya aliran-aliran paham baru di kalangan umat Islam, baik yang telah dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh ajaran di luar Islam.

Pada abad ke-7 H atau ke-13 M, Ibnu Taimiyah melanjutkan pemahaman salafiyah ini dengan kegigihan dan keberanian yang luar biasa. Awal mulanya ia melakukan dalam pengajian-pengajian dan kemudian dalam tulisannya yang tersebar luas sehingga menggegerkan ulama-ulama mazhab lain. Ibnu Taimiyah juga mendesak kaum Muslim dengan gencar untuk kembali kepada ajaran yang utama yaitu Al-Qur'an dan Hadits nabi Muhammad saw. Hal ini dilakukan supaya ajaran Islam tidak dipertahankan sebagaimana adanya di dalam masyarakat. Akan tetapi harus diwujudkan sebagaimana seharusnya seperti yang dikehendaki oleh pembawanya yaitu nabi Muhammad saw. 

Menurut Ibnu Taimiyah, dalam memahami ajaran-ajaran Islam, para ulama digolongkan menjadi empat kelompok. Pertama, yaitu kelompok filosof yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu dapat dijangkau dengan menggunakan teks pengantar yang memuaskan akal manusia. Kelompok ini juga menyebut dirinya sebagai ahli informasi dan ahli agama. Kedua, yaitu kelompok Mu'tazilah di mana mereka lebih mendahulukan akal daripada ayat Al-Qur'an. Sebenarnya mereka menggunakan dua sumber yaitu Al-Qur'an dan akal, akan tetapi sumber akal lebih diutamakan dibanding Al-Qur'an dan menggunakan takwil Qur'an sesuai dengan akal. 

Namun menurut Ibnu Taimiyah hal tersebut tidak sampai keluar dari akidah Islam. Ketiga, kelompok yang melihat di dalam Al-Qur'an sebagai akidah, lalu beriman kepadanya. Kelompok ini menggunakan Al-Qur'an karena mengandung ayat-ayat yang bersifat berita sehingga wajib diimani tanpa menggunakan kandungan ayat sebagai pengantar ikatan akal. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Al-Maturidiyah, karena mereka menggunakan akal hanya untuk menjelaskan aqidah Al-Qur'an. Keempat, kelompok Asy'ariyah yang beriman kepada Al-Qur'an dan dalil-dalilnya, tetapi tetap menggunakan dalil-dalil akal.

Namun, Ibnu Taimiyah telah menetapkan bahwa pemahaman Salafiyah tidak termasuk dalam keempat kelompok tersebut. Pemahaman Salafiyah mempunyai metode tersendiri, yaitu dengan menggunakan sumber utama Al-Qur'an dan Hadits nabi Muhammad Saw. Pemahaman ini tidak menggunakan akal, karena menurut paham Salafiyah akan menyesatkan dan bid'ah. Menurut Ibnu Taimiyah kaum Salaf adalah mereka yang menyatakan bahwa tidak ada cara untuk mengetahui aqidah, hukum, dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya kecuali dengan menggunakan Al-Qur'an dan Hadits. Kaum Salaf menerima semua informasi yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadits. Mereka tidak menolaknya karena dengan penolakan berarti melepaskan keterikatan agama.

Salafiyah juga memiliki pandangan mengenai takdir, mereka menegaskan bahwa beriman dengan takdir baik dan buruk berarti beriman kepada kesempurnaan, kekuasaan, dan kehendak Tuhan. Menurut Ibnu Taimiyah semua perbuatan manusia berasal dari kemampuannya sendiri dan juga berasal dari Tuhan, karena Tuhanlah yang menciptakan kemampuan itu. Pendapat Ibnu Taimiyah ternyata mendekati pendapat Mu'tazilah, namun Ibnu Taimiyah memiliki selisih pendapat. Salah satunya seperti adanya kaitan antara perintah dan kehendak. 

Mu'tazilah berpendapat bahwa ada hubungan antara perintah dan kehendak Tuhan. Tuhan tidak akan memerintah sesuatu kecuali Tuhan menghendakinya, dan tidak akan melarang sesuatu kecuali Tuhan tidak menghendakinya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara perintah dan kehendak. Tuhan menghendaki ketaatan, maka Tuhan yang memerintahkannya.

Gerakan Salafiyah modern mengikuti metode Ibnu Taimiyah dan melakukan penyesuaian dengan  membedakan antara apa yang tidak berubah dan apa yang berubah dalam  Islam. Yang tidak berubah adalah soal keimanan dan ibadah ritual (ibadat) sebagaimana diatur dalam Al-Qur'an dan hadits. 

Menambahkan sesuatu yang tidak tercantum dalam Al-Qur'an dan Hadits dianggap  bid'ah yang tidak dapat diterima. Oleh karena itu, kaum Salafi modern melakukan perlawanan yang sengit terhadap tarekat sufi, menuduh mereka menyebarkan ajaran sesat, mempraktikkan ritual asing, dan lainnya. Bagian  yang berubah dalam agama adalah muamalat, yang mencakup hukum-hukum yang mengatur transaksi manusia dan  hubungan sosial. Hal ini termasuk ijtihad yang harus dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan modernitas dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun