Depok? jika kamu senang berselancar di internet setidaknya kamu akan dikejutkan dengan satu-dua berita fenomenal yang berasal dari kota tersebut. Tapi Depok tidak melulu tentang keanehan cerita-ceritanya, karena harusnya kota tersebut juga punya hal menariknya.
Siapa yang tidak asing denganSaya tumbuh dan besar di Depok. Sejak kecil, sampai sudah seperempat dekade kehidupan, rasanya saya masih melihat kota ini sebagai tempat 'transit'. Pemberhentian manusia yang kehidupannya justru dihabiskan di kota-kota tetangganya. Bagi saya, Depok tidak ada romantis-romantisnya.
Sebagai kota yang strategis, posisinya tidak jauh dari Ibukota Jakarta---dekat juga dengan kawasan puncak, sepertinya membuat lupa para pemegang kebijakan untuk menciptakan Depok menjadi kota yang 'dibutuhkan' warganya.Â
Ada yang menggelitik. Satu nama besar kampus berlokasi di kota ini, tapi lagi-lagi Depok dan Kampus tersebut belum bisa menjadi satu kesatuan. Berbeda saat kamu menyebut Yogyakarta sebagai kota pelajar, salah satu kampus besarnya? kampus apa yang berada di Bogor? bagaimana dengan Bandung? tapi Depok belum memiliki identitas yang kuat dalam kaitannya dengan kampus tersebut.Â
Dari survei kecil-kecilan saya, setidaknya 4 dari 10 orang terkejut ketika saya menyebut kampus kuning berlokasi di Depok. Ini menyadarkan kalau Depok memang belum meninggalkan kesan.
Padahal, setidaknya Depok sudah memiliki modal dengan adanya beberapa stasiun yang dilewati commuter line dan gerbang tol yang lebih dari cukup untuk mendukung mobilitas masyarakat sekaligus pintu masuk akannya pengembangan wilayah.Â
Permasalahan Depok Menuju Kota Ideal
Hiburan warga Depok umumnya mengandalkan kota-kota yang mengapitnya. Kalau tidak ke Jakarta, ya ke Bogor karena di Depok? Macyeeeeeeeet dan ya itu-itu saja. Gongnya adalah kesenjangan pembangunan dan angka kriminalitas yang tinggi, paling mencolok dari kota ini.Â
Paradigma pembangunan Margonda-sentris di Depok tidak hanya sebagai olokan tapi juga kritik kepada pemerintah kota yang harusnya mulai memikirkan pembangunan infrastruktur di wilayah lain yang belum terjamah. Jika kamu menyusuri kota ini dari Jalan Margonda yang beraspal mulus dan besar, kamu akan dihadapkan oleh jejeran gedung, setidaknya 4 pusat perbelanjaan, dan rentetan resto dan coffeeshop yang kamu akan malas menghitungnya.Â
Semakin masuk ke pedalaman Depok, kamu akan mulai merasakan perbedaannya. Jalan sempit, kemacetan yang salah satunya didasari dari akses transportasi umum yang belum merata, bahkan di beberapa daerah, infrastruktur jalannya kurang baik. Kurangnya ruang terbuka hijau juga menambah minimnya destinasi hiburan untuk warga.
Hal ini bisa dipahami dari keterbatasan biaya. Jangan samakan Depok dengan Ibukota, tetangganya. Perbandingan APBD-nya 1:7 jika dibandingkan dengan Jakarta, menurut Lisman Manurung Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia seperti yang dilansir pada Harian Kompas. Minimnya anggaran menjadi alasan dalam mengembangkan infastruktur yang akhirnya memberikan efek langsung akan kepadatan penduduk yang tidak merata.
Tapi alasan tersebut tidak bisa dibiarkan terus menerus, karena setidaknya Depok sudah memiliki modal dengan letaknya yang strategis untuk tumbuh menjadi kota ideal yang berkembang. Tidak melulu membangun gedung-gedung tinggi, apartemen, sebaran coffeeshop, dan mall-mall besar yang jika dihitung sudah mencapai 8 biji dengan kota yang luasannya 200 km persegi tapi minim fasilitas umum bagi warganya. Pembangunan Kota Depok haruslah lebih dari sekadar menjadi tempat transit, melainkan menjadi tempat yang layak dipanggil 'rumah'.
Dikutip dari Grid.id, menurut pakar perencanaan kota dan lingkungan, Ir. Ikaputra M.Eng., Ph.D paling tidak ada empat tolok ukur kota yang baik: Tata guna ruang yang optimal, transportasi publik yang baik, penataan bangunan yang benar, dan utilitas seperti drainase dan sanitasi yang bekerja dengan baik.Â
Mengatasi Tantangan
Upaya Pemkot Depok dalam menciptakan kota yang "layak" sebenarnya sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit, dari pengoptimalan ruang terbuka hijau dengan adanya peremajaan taman yang berada di tengah-tengah pusat pemukiman, contohnya Taman Gurame dan Taman Merdeka, mengoptimalkan manfaat wisata setu, dibangunnya alun-alun kota yang sebenarnya well building tapi sayang posisinya yang tidak strategis ditambah tidak adanya akses transportasi umum (selain bis alun-alun yang armadanya sedikit dan sering penuh itu) sehingga membuat alun-alun hanya bisa dinikmati oleh yang dekat-dekat saja.
Untuk mengurai kemacetan juga diberlakukan penetapan sistem satu arah di jalan Arif Rahman Hakim, Jalan Nusantara, dan Jalan Dewi Sartika. Kemacetan jalan raya Sawangan yang sepertinya mulai sedikit tertangani, Pasar-pasar tradisional yang mulai dibenahi, Pelebaran jalan di beberapa titik, dan jika kalian menyadari mayoritas jalan di Depok sudah teraspal rapi. Bukti adanya perubahan yang berarti. Tapi mohon ada satu permintaan yang perlu digaris bawahi, tingginya angka kriminalitas dan pencurian yang masih belum terasa ditangani. Setidaknnya saya berasumsi, pembangunan, pemerataan akses dan keamanan warga juga akan terus diupayakan.
Namun untuk mengubah Depok menjadi kota yang berkesan, perlu kesadaran masyarakatnya untuk memanfaatkan fasilitas yang ada dan ruang terbuka hijau dengan kegiatan-kegiatan yang dapat membangun kemajuan kota yang ditinggali ini.
Pembangunan kota adalah perjalanan yang panjang, tetapi dengan upaya bersama dari pemerintah dan masyarakatnya, Depok kedepannya mungkin bisa menjadi kota yang memiliki identitas yang kuat dan mampu memenuhi kebutuhan warganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H