Mohon tunggu...
aisyahpuspitaramadhania
aisyahpuspitaramadhania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya adalah Mahasiswa Universitas Airlangga, prodi Sosiologi. Saya memiliki ketertarikan dalam bidang kepenulisan maupun sebagai relawan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Degradasi Moral Anak Marginal Surabaya: Perlu Dinormalisasikan atau Diperhatikan?

30 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 30 Desember 2024   10:44 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persiapan latihan Festival Anak Surabaya di titik Wonokromo

                                                                                                                

Kegiatan Volunteer yang telah dilakukan oleh penulis di daerah Wonokromo, Surabaya secara tidak langsung menumbuhkan kepekaan sosial dalam diri penulis. Pada saat itu, penulis merasa bahwasanya pemikiran kritis dan wawasan penulis menjadi lebih terbuka terutama dalam isu degradasi moralitas anak marginal di Surabaya. Anak Marginal adalah istilah yang merujuk pada anak-anak yang berada dalam kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis yang tidak memadai. Mereka seringkali terpinggirkan dari masyarakat dan tidak memiliki akses yang sama terhadap hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dengan anak-anak lain.


Anak marginal di daerah pinggiran rel kereta Wonokromo cenderung terlahir dari keluarga yang terbatas secara ekonomi dan pendidikan. Secara aspek ekonomi, salah satu karakteristik anak marginal adalah mereka yang diperlakukan sebagai mitra kerja untuk membantu ekonomi keluarga. Dari segi aspek pendidikan, pada usia SD-SMP beberapa anak memiliki kesempatan menikmati layanan pendidikan di sekolah. Namun, ada pula yang harus putus sekolah karena tingginya tekanan ekonomi ataupun tradisi orangtua yang enggan menyekolahkan anaknya.


Degradasi moral pada anak marginal merujuk pada penurunan nilai-nilai moral dan etika yang dialami oleh anak-anak yang tumbuh dalam kondisi sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. Fenomena ini seringkali terkait dengan lingkungan yang tidak mendukung, akses pendidikan dan layanan sosial yang terbatas, serta pengaruh negatif dari lingkungan sekitar mereka. Faktor-faktor utama yang menyebabkan degradasi moral ini meliputi lingkungan keluarga, sosial, ekonomi, dan psikologis. Di lingkungan keluarga, pola asuh yang kurang baik, ketidakstabilan keluarga, dan kurangnya perhatian dari orang tua berperan signifikan. Dari segi sosial, pergaulan dengan teman sebaya yang terlibat dalam tindakan negatif, paparan konten media yang tidak sesuai usia, serta keterbatasan fasilitas umum turut mempengaruhi. Faktor ekonomi seperti kemiskinan yang memaksa anak-anak untuk bekerja sejak dini, kurangnya akses pendidikan berkualitas, dan kebutuhan mendesak juga berkontribusi. Faktor psikologis, seperti trauma dan perasaan rendah diri, semakin memperburuk situasi.


Dampak dari degradasi moral ini sangat beragam, meliputi perilaku menyimpang seperti pencurian atau penggunaan narkoba, kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat, prestasi belajar yang rendah, serta masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Fenomena ini sering kali mengakibatkan siklus kemiskinan yang berkelanjutan. Lingkungan yang mayoritas individunya minim akan pendidikan dan moral menjadi faktor utama krisisnya moralitas. Bagi mereka perilaku dan perkataan kasar adalah hal yang "normal" di lingkup sosial kesehariannya. Akan tetapi, ini akan menjadi penilaian yang menyimpang bagi kelompok luar strata sosial mereka. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan standarisasi dan pola asuh dari keluarga. Perbedaan ini seringkali memicu stigma dan diskriminasi terhadap kelompok marginal, memperparah kondisi sosial mereka. Selain itu, minimnya akses terhadap pendidikan formal juga membatasi kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan mengembangkan empati. Akibatnya, mereka cenderung mengulangi pola perilaku yang sama dari generasi ke generasi, memperkuat siklus kemiskinan dan masalah sosial. Dalam konteks yang lebih luas, krisis moralitas ini dapat mengancam keharmonisan dan stabilitas sosial masyarakat.


Pola asuh adalah cara orang tua berinteraksi, membimbing, membina, dan mendidik anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan membantu mereka sukses. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Euis (2004:18), "Pola asuh merupakan serangkaian interaksi yang intensif, orangtua mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup." Sementara itu, menurut Maccoby dalam Yanti (2005:14), istilah "Pola Asuh Orang Tua" digunakan untuk menggambarkan interaksi antara orangtua dan anak-anaknya, di mana orangtua menunjukkan sikap, perilaku, nilai, minat, dan harapan mereka dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak. Menurut Khon Mu'tadin (2002), pola asuh adalah interaksi antara anak dan orangtua selama pengasuhan, di mana orangtua mendidik, membimbing, mendisiplinkan, dan melindungi anak sehingga mereka dapat memenuhi tanggung jawab perkembangannya. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua akan sangat mempengaruhi perkembangan anak, baik dari segi kognitif, emosional, maupun sosial. Pola asuh yang positif, seperti otoritatif, dapat membantu anak tumbuh menjadi individu yang mandiri, percaya diri, dan memiliki hubungan sosial yang baik. Sebaliknya, pola asuh yang negatif, seperti otoriter atau, dapat berdampak buruk pada perkembangan anak, seperti rendah diri, agresif, atau kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain.


Meskipun peran orang tua dalam mengasuh anak di sini sangat penting, namun peran pemerintah dalam menanggulangi Degradasi moral anak marginal juga tidak kalah penting. Pemerintah perlu memberikan kemudahan akses pendidikan pada anak-anak daerah marginal serta melakukan pelatihan pekerjaan secara berkala untuk meningkatkan kapasitas diri dan kualitas hidup mereka.
Kegiatan Volunteer yang dilakukan oleh mahasiswa juga memiliki peran yang sangat krusial dalam mengurangi degradasi moral pada anak marginal. Melalui interaksi langsung, para relawan dapat memberikan perhatian, kasih sayang, dan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak. Selain itu, kegiatan volunteer juga dapat meningkatkan keterampilan sosial anak, memberikan pendidikan non-formal, serta membangun jaringan dukungan yang kuat. Dengan begitu, anak-anak marginal memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi diri, meningkatkan kualitas hidup, dan keluar dari lingkaran kemiskinan serta masalah sosial.

"Hidup tidak hanya menjadi manusia yang tampak, melainkan berdampak bagi masyarakat sekitar."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun