Wabah infeksi virus corona pada tahun 2019 (Covid19) menginfeksi sedikitnya 298.000.000 orang dan menewaskan hingga 5,47 juta orang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan wabah COVID-19 sebagai "pandemi". Untuk meminimalisir penularan Covid-19 ke masyarakat, pemerintah selanjutnya mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain social distance (pembatasan sosial) yang membantu mencegah kontak fisik di masyarakat. Berbagai media sosial. Dengan menjaga jarak sosial, kegiatan sosial yang memerlukan kontak langsung, seperti bekerja, sekolah, dan beribadah, biasanya dilakukan oleh masyarakat dan dilakukan di rumah. Ini dianggap sebagai prosedur paling aman dan karena itu ditegakkan.
Dengan memperkenalkan pembatasan sosial, orang menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Sisi positifnya dalam hal ini adalah Anda lebih banyak menghabiskan waktu untuk bertemu dan berinteraksi dengan keluarga. Namun, hal ini berdampak negatif tidak hanya pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kesehatan mental manusia.
Efek psikologis yang dirasakan masyarakat selama pandemi adalah gangguan stres pasca trauma, kebingungan, kecemasan, frustasi, ketakutan akan kasih sayang, insomnia, dan ketidakberdayaan. Kondisi yang paling serius adalah kasus pengucilan alien dan kasus bunuh diri. Hal ini karena seseorang sangat takut untuk terinfeksi dengan apa yang dianggap sebagai virus yang sangat buruk .
Tentu saja, ini mempengaruhi perilaku manusia. Ini karena orang mungkin merasa tidak nyaman atau puas dengan situasi yang mereka hadapi, atau merasakan tekanan dalam diri mereka, dan mungkin tidak bebas untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Adanya tekanan yang muncul dalam diri seseorang, dapat menimbulkan dampak negatif lain yang terjadi ketika masyarakat melakukan karantina di rumah yaitu semakin tingginya angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Menurut Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 Tahun 2004, KDRT adalah setiap perilaku akan seseorang, terutama perempuan, yang mengakibatkan munculnya kesengsaraan atau penderitaan secara psikologis, fisik, seksual, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman dalam melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam cakupan rumah tangga (UU No. 23 Tahun 2004, 2004).
Menurut hasil SPHN Tahun 2016 (Kemen PPPA, 2018) ada 4 faktor pemicu terjadinya kasus KDRT, baik secara fisik dan seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangannya, yaitu :
Faktor pribadi dalam hal pengesahan perkawinan, perkawinan tidak tercatat, kontrak, dan lain-lain bisa 1,42 kali lebih tinggi daripada yang diwajibkan secara hukum oleh negara. Selain itu, akibat pertengkaran hebat dengan suami, wanita dengan faktor ini berisiko 3,95 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan pasangan yang jarang bertengkar.
Faktor pasangan, perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain 1,34 kali lebih mungkin mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak memiliki istri/pasangan lain. Selain itu, perempuan yang suaminya menganggur, minum alkohol, atau menggunakan obat-obatan berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Faktor ekonomi, aspek ekonomi merupakan aspek dominan dari kekerasan terhadap perempuan daripada aspek pendidikan. Hal ini setidaknya menunjukkan pekerjaan para pelaku yang sebagian besar adalah pekerja buruh, dimana tingkat upah tenaga kerja Indonesia di bidang tersebut masih relatif rendah, hal ini memberikan dampak pada kesejahteraan rumahtangga.
Faktor sosial budaya, munculnya perasaan khawatir akan adanya tindak kejahatan yang dapat membahayakan keselamatan dapat menjadi pengaruh dalam kasus KDRT. Perempuan yang selalu dibayangi perasaan khawatir ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang di daerah pedesaan memiliki resiko yang lebih sedikit untuk mengalami kekerasan fisik/seksual dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di daerah perkotaan.
Dari segi psikologis, ketika perekonomian keluarga terganggu, ditambah dengan terbatasnya ruang gerak seseorang dikarenakan adanya kebijakan pembatasan sosial selama pandemi Covid-19, banyak orang yang merasa kondisi mentalnya terganggu. Adanya beban-beban yang ditanggung, seperti beban pendidikan, ekonomi, atau beban lainnya yang menumpuk dapat menjadi pemicu dilakukannya kekerasan.
Kondisi-kondisi tersebut dapat menjadi pemicu munculnya perasaan tertekan, mudah marah dan merasa emosi, atau bahkan adanya keinginan untuk melakukan kekerasan fisik. Komisioner Bidang Pengaduan Pelayanan dan Advokasi Hukum KPAI Purwakarta, Dandi Prima Kusumah juga menyampaikan hal yang serupa, bahwa di dalam rumah tangga, persoalan ekonomi dan perselingkuhan selama pandemi Covid-19 dapat menjadi permasalahan yang berdampak paling serius di dalam rumah tangga (Asep Supandi, 2020).
Bagi para korban dari KDRT dampak yang ditinggal tentunya sangat membekas, baik secara fisik maupun mental. Dampak negatif dari KDRT pada umumnya mempengaruhi berbagai aktivitas yang dilakukan di kehidupan sehari-hari. Dalam segi psikis, KDRT dapat menimbulkan perasaan stress, depresi, trauma, hingga menyalahkan diri sendiri karena adanya perasaan traumatis yang membekas pada korban (Sutrisminah, 1970).
Dari segi fisik, KDRT juga menimbulkan adanya memar, patah tulang, kerusakan pada bagian tubuh, atau bahkan bisa menyebabkan kematian (Jayanthi, 2009). Tentu saja pengaruhnya tidak hanya akan dirasakan oleh sang istri, namun juga anak yang berasal dari keluarga tersebut. Anak yang terbiasa melihat adanya kekerasan dalam lingkungan sekitarnya, akan beranggapan bahwa kekerasan dapat menjadi sebuah cara penyelesaian masalah.
Dengan demikian, anak-anak akan cenderung meniru hal tersebut ketika akan menyelesaikan suatu masalah. Jelas akan berbahaya jika anak-anak beranggapan seperti itu dan apabila orangtua tidak menyikapi hal tersebut dengan baik, maka fase ini akan terus menerus berulang dan dapat memicu terjadinya masalah KDRT baru.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan KDRT yang terus berulang atau berkelanjutan (Handayani, 2020) yaitu :