Ah... aku ini egois. Betapa tidak, dia suamiku, bapak dari anak-anakku. Telah sebulan lamanya berjibaku dengan maut dan waktu. Di areal kerja dan alam yang tak lagi ramah. Dia suamiku mengorbankan duabelas jam seharinya hanya untuk kami istri dan anaknya.
Huff… kutarik nafas tanda penyesalanku, tapi seakan tak mampu mengusir ruang keegoanku. Kuingat sebelum dia pamit dan mencium keningku, permohonannya, kenapa tak kurelakan ketika dia memohon membawa laktop ini ke lokasi, sementara hanya ada cd-player di dashboard mobil kerja. Dan hape antik sarana dia ber-sms dan bertelpon kami saja, bukan ipad, blackberry atau smartphone lainnya.
Dia bercerita tak ada hiburan selepas kerja, sedang fasilitas parabola pembuka mata ke akses dunia luarpun tak tersedia. Kasihan, dengan apa dia menghibur diri. Jangan jangan... jangan jangan?!, Ah segera kutepis rasa curiga dan syak wasangka. Dia laki-laki terhormat.
Sadarku terlambat sudah, sesalku tak berguna, nampak seberapa besar egoku, kebegoanku malah, hanya demi kompasiana sialan ini, jadi buta mata batinku. Oo... padahal aku hanya  seorang silent reader, membaca tanpa jejak pada tulisan yang menarik mata saja, bukan semua dan bukan siapa penulisnya.
Mas… begitu mulianya hatimu, yang selalu mengalah dan tak memaksa, yang tak pernah menolak permintaanku.
Mas… berjuang di panas dan hujan, melawan lumpur dan debu batu bara adalah Jihad Fisabilillah-mu.
Mas… maafkan aku, karena aku perempuan egois.
Aisy, 2012-07-14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H