Mohon tunggu...
aisyahbalqisrahmadani0139
aisyahbalqisrahmadani0139 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya menyukai segala sesuatu yang menyenangkan dan bisa membuat saya terhibur.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Isu Perundungan Yang Sering Diremehkan

8 Januari 2025   17:09 Diperbarui: 8 Januari 2025   17:09 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sekolah dasar merupakan lembaga sosialisasi terkuat dalam perkembangan manusia. Entah baik atau buruk, sebagian besar masyarakat secara simultan membawa momen-momen penting sekolah dasar selama rentang kehidupannya (Gibson & Mitchell, 2010). Sekolah Dasar di lain sisi menjadi lingkungan tempat terjadinya aksi kekerasan. Karena perilaku terbentuk berdasarkan modeling yang didapatkan dari lingkungan, baik sosial maupun non-sosial (Taylor, 2006), tidak terkecuali perilaku yang tidak sesuai. Terlebih periode SD adalah masa krusial bagi anak untuk berpartisipasi dalam kelompok teman sebaya (Veenstra, dkk., 2013). Sementara itu, krusialitas kelompok teman sebaya semakin banyak mendapat perhatian karena merupakan salah satu sumber terjadinya peer victimization. Kekerasan di sekolah merupakan segala bentuk perilaku agresif untuk menyakiti orang lain seperti perundungan, kekerasan seksual, penyalahgunaan aktivitas seksual, dan berbagai perilaku siswa yang mengacu pada sikap bermusuhan pada sesama siswa dalam lingkungan sekolah (Sciarra, 2004). Kemudian Beattie (2015) menerangkan bahwa perundungan merupakan penyalahgunaan kekuatan secara sistematis dan dikategorikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan oleh teman sebaya yang melakukannya secara berulang dan ditandai dengan adanya kekuatan yang tidak seimbang/setara (korban memiliki kelemahan dalam membela diri). Jadi perundungan di sekolah adalah bentuk dari perilaku agresif yang dilakukan secara berulang untuk menyalahgunakan kekuatan oleh teman sebaya di lingkungan sekolah. Perilaku perundungan dapat berupa fisik (pukulan, tendangan, gigitan, dorongan, cekikan) atau verbal (penamaan yang buruk, ejekan/celaan, olokan, ancaman, menyebarkan rumor yang tidak menyenangkan), keduanya merupakan bentuk dari perundungan secara langsung. Sedangkan bentuk perundungan tidak langsung berupa menunjukkan sikap yang tidak bersahabat, menunjukkan raut muka bermusuhan, atau menjauhkan korban dari kelompoknya (Sciarra, 2004).

Hampir setengah dari siswa pernah mengalami perundungan selama masa sekolah; setidaknya 81% siswa laki dan 72% siswa perempuan dilaporkan mengalami perundungan di sekolah (McAdams & Schmidt, 2007). Dalam hal perundungan siber pun, didapati bahwa laki-laki lebih banyak melakukan perundungan dibandingkan perempuan (Ramdhani, 2016). Pada tahun 2024, JPPI mencatat terdapat 573 kasus kekerasan yang dilaporkan di lingkungan pendidikan, termasuk sekolah, madrasah, dan pesantren. Jumlah ini mengalami lonjakan yang signifikan. Sebagai perbandingan, pada 2020 tercatat 91 kasus kekerasan yang diterima. Jumlah tersebut kemudian meningkat menjadi 142 kasus pada 2021, 194 kasus pada 2022, dan 285 kasus pada 2023.Terkait data kekerasan terbaru tersebut, JPPI merinci 31 persen kasus berkaitan dengan perundungan atau bullying. Adapun jenis kekerasan yang dominan di lingkungan pendidikan pada tahun ini adalah kekerasan seksual, yang mencakup 42% dari total kasus. Selain itu, kekerasan di lingkungan pendidikan juga mencakup kekerasan fisik berjumlah 10%, dan kekerasan psikis 11%. Tercatat juga ada kebijakan diskriminatif dengan persentase 6%.

Selain itu, lingkungan pendidikan berbasis agama turut menjadi perhatian, dengan 206 kasus kekerasan. Berdasarkan rincian tersebut total kekerasan yang dilaporkan adalah 16% atau 92 kasus terjadi di madrasah dan 20% atau 114 kasus di pesantren. JPPI melaporkan bahwa kasus kekerasan di lembaga pendidikan telah terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Distribusi kasus menunjukkan bahwa Jawa Timur berada di posisi tertinggi dengan 81 kasus, diikuti oleh Jawa Barat (56 kasus) dan Jawa Tengah (45 kasus).

Tingginya data perundungan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan harusnya membuat pemerintah bisa lebih tegas lagi menindak lanjuti kasus serta memberikan hukuman yang sepadan. Namun tak bisa dipungkiri, kebanyakan di zaman sekarang ekonomi akan mengalahkan sebuah keadilan yang tegak. Dimana banyak sekali kasus pelaku bullying yang lolos dari sebuah hukuman hanya karena orang tua pelaku dari kalangan orang berada. Contohnya telah terjadi kasus perundungan yang dialami siswi sekolah dasar SDN 236 Gresik, Jawa Timur mengalami kebutaan setelah matanya dicolok tusukan bakso oleh kakak kelasnya sendiri. Kasus ini banyak menarik perhatian publik, karena bagaimana seorang anak kecil yang masih berusia belia mampu melakukan tindakan amoral itu. Kronologi kejadian menurut ayah korban adalah saat lomba 17 Agustusan di Sekolah saat itu korban dimintai uang oleh kakak kelasnya dan korban menolak, diduga si kakak kelas kesal, akhirnya dengan gelap mata mencolok mata si korban. Dengan cepat ayah korban membawa korban ke Rumah Sakit yang ada di Bringkang, Menganti lalu kemudian dirujuk  ke Rumah Sakit RSMM Jawa Timur hingga akhirnya dirujuk lagi ke RSUD DR Soetomo. Dari hasil pemeriksaan didapati jika saraf mata korban mengalami kerusakan dan ada yang tidak berfungsi. Kapolres AKBP Gresik Aditya Panji Anom  menyatakan dari 47 saksi dinyatakan tidak ada yang melihat kejadian tersebut secara langsung. Dan fakta yang ditemukan adalah rekaman CCTV yang ada di sekolah sudah tidak aktif sejak 1 Juni - 18 Agustus. Bukankah ini adalah hal yang tidak masuk akal? Mengapa di lingkungan yang penting seperti sekolah, justru tidak segera memperbarui kondisi CCTV yang rusak? CCTV di sekolah sangatlah penting, hal ini digunakan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak mengenakkan dan dimana karena hal ini pihak korban tidak bisa menuntut pelaku dengan kejelasan bukti yang nyata.

Setelah menunggu kejelasan untuk beberapa saat, dinas pendidikan Gresik mencoba melakukan mediasi namun, dari pihak dinas pendidikan gresik menyerahkan kasus ini kepada polisi untuk ditangani lebih lanjut. Sangat disayangkan sekali dari sampai saat ini mungkin kasus ini berakhir damai tanpa perlu memeberikan sanksi terhadap  pelaku, dan dari pihak yang berwenang juga kurang tegas dalam menangani kasus yang seperti ini. Padahal dalam kasus ini masa depan seorang anak bisa saja sedang dipertaruhkan. Harusnya dalam masalah ini pihak sekolah lah yang paling banyak bertanggung jawab. Dimana menurut saya, pihak sekolah terkesan menutupi kebenaran dari kejadian ini, hal ini dibuktikan saat ayah korban ingin diperlihatkan CCTV namun pihak sekolah berdalih jika CCTV tersebut sedang rusak.Dan harusnya polisi juga menyelediki pihak sekolah juga. Dari kasus ini korban lah yang disuruh pindah ke sekolah lain, namun semestinya pelaku juga harus diserahkan ke tempat dimana pelaku bisa mendapatkan edukasi bullying serta sanksi yang akan dia dapatkan karena melakukan tindakan yang amoral.

Edukasi bullying memang perlu diajarkan kepada anak-anak sejak dini, pasalnya, pelaku kejahatan perundungan tidak memandang umur si pelaku atau korban. Namun banyak sekali orang tua yanf selaly denial jika anaknya termasuk pelaku yang melakukan tindakan perundungan hal ini bisa sedikit bisa dipahami, mengapa orang tua sangat denial jika anaknya melakukan kegiatan amoral seperti ini, namun perilaku orang tua yang selalu melindungi anaknya dari kesalahan dan selalu membenarkan kesalahan yang dilakukan anaknya akan malah semakin membuat sang anak dengan mudah melakukan tindakan agresifitas. Jika seorang anak yang tingkat agresifitasnya tinggi akan mempunyai pemikiran untuk mencapai segala sesuatu dengan diiringi agresifitas, oleh sebab itu, orang tua juga harus lebih banyak belajar parenting dan tidak tutup mata jika anaknya melakukan sebuah tindakan kejahatan.

Contoh kasus lain perundungan di lingkungan adalah korban perundungan yang dialami oleh saudara Bintang Balqis Maulana yang meninggal dengan kondisi mengenaskan saat sedang menempuh pendidikan  di madrasah atau pondok. Bintang Balqis Maulana adalah warga dari Desa Karangharjo, Banyuwangi. Dia merantau ke Kediri untuk bersekolah. Bintang tinggal di asrama (dikenal dengan mondok) di PPTQ Al Hanifiyyah. Sementara, dia bersekolah di MTs Sunan Kalijogo, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islahiyyah. Kasus kematian Bintang Balqis Maulana, seorang santri berusia 14 tahun di Pondok Pesantren Al Hanifiyah, Kediri, menggugah perhatian publik dan menimbulkan berbagai pendapat politik serta sosial. Kematian Bintang, yang diduga akibat penganiayaan oleh seniornya, menunjukkan masalah serius dalam lingkungan pendidikan pesantren di Indonesia.

Yang lebih memprihatinkan dari kasus ini adalah keluarga korban telah mengetahui kondisi jenzah korban dalam keadaan yang mengenaskan, namun dari pihak ponpes malah menutupi kejadian itu. Untung saja menurut saya pihak Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur segera menyelidiki ponpes itu dan menyatakan jika ponpes tersebut tidak memiliki izin beroprasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang pengawasan dan regulasi lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia. Keberadaan pesantren yang tidak terdaftar secara resmi berpotensi meningkatkan risiko bagi santri, karena tidak adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah.

 KemenPPPA mendorong pelaporan kasus kekerasan kepada pihak berwajib untuk mencegah terulangnya insiden serupa. Ini mencerminkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak. Kasus Bintang Balqis Maulana adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar dalam sistem pendidikan pesantren di Indonesia. Memperkuat regulasi, meningkatkan pengawasan, dan mempromosikan budaya saling menghormati di antara santri adalah langkah-langkah penting untuk mencegah tragedi serupa. Tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan dan reformasi kebijakan pendidikan keagamaan diperlukan untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan semua santri di masa depan.

Meskipun telah melakukan rekontruksi kejadian dan telah menetapkan para tersangka, polisi harus segera memberikan hukuman yang setimpal, dimana kali ini  meskipun masih remaja pelaku sudah berani menghilangkan nyawa manusia. Menurut saya para pelaku harus dimasukkan ke penjara remaja karena  penjara remaja dirancang untuk memberikan pembinaan dan rehabilitasi bagi anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana. Dengan menjalani proses rehabilitasi, diharapkan pelaku dapat memahami dampak dari tindakan mereka dan belajar untuk berperilaku lebih baik di masa depan. Ini menjadi penting untuk mencegah terulangnya perilaku serupa setelah mereka keluar dari sistem peradilan. Kasus bullying sering kali mencerminkan masalah yang lebih besar dalam sistem pendidikan dan lingkungan sosial. Dengan menindak tegas pelaku, ada harapan bahwa lembaga pendidikan akan lebih memperhatikan masalah ini dan mengambil langkah-langkah preventif untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua siswa .Meskipun ada argumen kuat untuk memenjarakan pelaku bullying, penting juga untuk mempertimbangkan pendekatan rehabilitatif dan pencegahan agar tidak terjadi stigma negatif yang dapat memperburuk perilaku mereka di masa depan. Memasukkan pelaku bullying ke dalam sel penjara remaja juga dapat melindungi korban dari potensi ancaman lebih lanjut. Dalam beberapa kasus, korban bullying mengalami trauma yang berkepanjangan, dan penahanan pelaku dapat membantu memberikan rasa aman bagi mereka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun