Mentari pagi mulai tampakkan sinarnya. Kesejukan ini seakan membawa hasratku untuk menikmati nikmatnya berbaring di kasur empukku ini. "Dewi... Bangun nak. Ini sudah siang," terdengar suara Mama memanggilku dari dapur. "Iya Ma, ini Dewi bangun kok," jawabku. "Anak gadis kok bangunnya siang terus sih. Ayo bantu mama di dapur. Mau jadi apa kamu kok malas-malasan terus. Bisanya minta uang jajan sama nulis hal gak berguna. Mending kamu belajar biar nilaimu itu bagus," kata mama dengan nada kesal. Sudah biasa seperti ini, tiada hari tanpa omelan mama.
 Mama memang tidak suka denganku yang seperti ini, suka menyendiri di kamar. Bukan karena itu sih, lebih tepatnya karena aku suka menulis novel. Mama kira aku hanya menulis hal-hal yang tidak perlu. Mungkin Mama belum tahu apa yang sedang aku rencanakan. Aku ingin jadi penulis novel ternama di Indonesia. Dalam hatiku berkata, "Novel ini akan membuktikan bahwa yang aku tulis bukanlah hal yang sia-sia, Ma."
Hari Senin pun telah tiba. Rasanya aku malas sekali pergi ke sekolah. Aku ingin pergi ke toko buku saja. Tapi aku tak ingin ditegur Mama lagi jika ketahuan membolos. Aku bingung dengan diriku sendiri. Aku anak perempuan satu-satunya. Anak perempuan yang seharusnya giat belajar, tapi beda denganku. Aku malahan sangat malas belajar.
Sesampainya di sekolah, aku bertemu dengan Doni dan ia berkata, "Eh wi, ada buku baru lo di toko buku tempat biasanya kita beli buku." "Kata siapa?," tanyaku. "Tadi pagi aku lihat pemberitahuan di aplikasi book store. Waktu aku cek, lumayan banyak buku barunya," jawabnya. Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Jam pertama hari ini diampu Pak Narto. Malas sekali rasanya dan aku lebih memilih menulis novel saja. Inilah kebiasaanku ketika bosan.
Tak terasa waktu istirahat pun tiba. Tapi aku malas sekali keluar untuk jajan, jadi aku memilih untuk berdiam di kelas dan melanjutkan menulis novelku. Tiba-tiba Doni menghampiriku, "Kamu tahu nggak, sekolahan ngadain lomba sastra loh. Ini saat yang tepat buat kamu untuk menyalurkan bakatmu. Kamu mau ikutan gak?," ujarnya membujukku. Â "Tapi ini kan novel biasa. Lagi pula aku buat novel cuma menyalurkan hobi aku aja kok," jawabku. Sekali lagi Doni membujukku, "Tapi gak ada salahnya bukan kalau dicoba dulu. Hadiahnya menarik lo. Kan kamu juga harus buktiin ke Mama kamu kalau selama ini kamu gak nulis hal yang sia-sia. Ayolah, Wi!" Â Dan pada akhirnya aku mengiyakan saran dari Doni. Aku rasa benar apa kata Doni. Â Aku harus tunjukkan ke Mama kalau aku bukan mengerjakan hal yang sia-sia.
Sepulang sekolah, aku bergegas menyelesaikan novelku karena seminggu lagi UAS semester 2 akan tiba. Sedangkan penyetoran novel pun di hari pertama UAS dan pengumumannya dilangsungkan bersamaan dengan penerimaan rapor. Tandanya waktuku tinggal seminggu lagi. Â Untung saja Doni mau mengurus pendaftarannya. Jadi aku bisa fokus ke novelku.
Dan hari ini adalah hari pertama UAS. Tetapi aku sama sekali belum belajar. Tadi malam aku malah ketiduran dan tidak jadi untuk belajar. Ini tandanya, aku berada di zona bahaya. Jika nilaiku jelek lagi, pasti Mama akan marah padaku dan membuang semua koleksi buku milikku. Rasanya aku takut kalau itu benar-benar terjadi. Tapi tak apalah, semoga saja nilaiku tak buruk-buruk amat.
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Aku terburu-buru  untuk mengecek novelku karena besok harus sudah disetorkan. Aku mengajak Doni ke rumah untuk mengomentari novelku. "Ini novelnya," kataku sambil menaruh novel di atas meja. Setelah membaca novelku, Doni menangis dan berkata, "Bagus banget Wi, aku jadi terharu. Sangat mengesankan. Aku yakin kamu pasti bisa menang."
Dalam novelku ini, kuceritakan diriku sendiri. Aku yang sering membuat mama menangis dan kecewa. Lewat novelku inilah aku mengucapkan maaf untuk Mama. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berkarya lewat tulisanku. Novel telah kukirim ke panitia dan hari ini adalah tes terakhirku di sekolah. Artinya, nanti akan dibagikan nilai-nilai tesku. Sepertinya aku tidak memberi tahu Mama soal nilaiku ini. Dan ternyata dugaanku benar, nilai-nilaiku banyak yang di bawah KKM. Aku hanya terdiam. Aku bergegas pulang ke rumah. Ternyata Mama sudah menungguku. "Mana hasil ulanganmu?" tanya Mama. Hatiku berdetak kencang. Aku takut dan ingin lari dari hadapan Mama. "Ini Ma.." jawabku. "Apa ini? Banyak sekali nilai kamu yang di bawah KKM. Apa kamu tidak pernah belajar? Kamu sudah mengecewakan Mama Dewi. Mama akan buang semua koleksi bukumu di kamar biar kamu fokus belajar." Mama marah padaku. Aku terdiam.
Setelah kejadian itu, hilang semua koleksi bukuku yang aku kumpulkan hampir setahun ini. Sedih rasanya. Tapi aku harus semangat karena besok pengumuman pemenang lomba sastra. Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah bersama Mama untuk mengambil raporku. Mama duduk di tempat wali murid, sedangkan aku di belakang panggung gugup dan gelisah dengan hasil raporku. Setelah acara demi acara terlaksana, akhirnya pengumuman dimulai. Dan wali kelasku mengumumkan hasil rapor, "peringkat 17 diraih oleh Dewi Rahma Puspita.. silahkan wali murid dari saudari Dewi naik ke atas panggung." Hatiku hancur mendengarnya. Aku mendapat peringkat 17 dari 28 siswa di kelas. Dan setelah pengumuman rapor, inilah acara yang kutunggu-tunggu, yaitu pengumuman juara lomba karya sastra. Bapak Yono selaku kepala sekolah di SMA ini, mengumumkan hasil lomba tersebut. "Juara ketiga diraih oleh.... Ananda Arifah Syaila, beri tepuk tangan yang meriah. Selanjutnya untuk juara kedua diraih oleh... Arif Wijayanto. Dan yang kita tunggu-tunggu, juara pertama lomba karya sastra diraih oleh.... Dewi Rahma Puspita. Silahkan untuk pemenang lomba naik ke atas panggung." Mendengar pengumuman tersebut, perasaanku senang sekali. Dan inilah saatnya aku memberikan sambutan.
"Assalamu'alaikum.. Alhamdulillah segala puji bagi Allah. Terima kasih kepada Bapak Ibu guru yang telah mendukung saya, serta teman-temanku semua. Saya menulis novel ini atas dasar motivasi saya sendiri. Di novel ini, saya menceritakan diri saya yang sering membuat kecewa Mama dan membuat Mama marah karena hobiku yang lebih suka membaca komik, novel dan sebagainya dibandingkan membaca buku pelajaran. Novel ini serta kemenangan ini, saya persembahkan untuk Mama tercinta. Maafkan Dewi, Ma. Dan ini janji Dewi selama ini. Ini khusus untuk Mama." Â Mama pun menghampiriku dan memelukku. Inilah saat yang kutunggu-tunggu, bisa membuat Mama bangga dengan karya kecilku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H