Kita mungkin sering mendengar kisah Anne Frank, seorang gadis Yahudi yang ditahan di kamp interniran Nazi Jerman sewaktu Perang Dunia ke-II. Â Selain Anne Frank terdapat Anne lain yang ditahan oleh kamp interniran Jepang di Sumata. Bagaimana Anne sebagai tawanan tentara Jepang pada masa itu?
Sewaktu Indonesia jatuh ke tangan Jepang di tahun 1943, banyak orang Eropa yang kembali pulang ke negaranya. Terdapat pula orang-orang Eropa yang terjebak dan tidak bisa kemana-mana. Bagi mereka yang tertinggal beberapa tertangkap oleh tentara Jepang dan dijadikan tawanan perang di Indonesia kala itu. Di Indonesia atau Hindia Belanda, kamp interniran pada masa Jepang dibagi atas kamp pria sipil, kamp anak laki-laki dan kamp wanita. Hal ini berbeda dengan kamp konsentrasi Nazi Jerman semasa Perang Dunia II dimana kamp tersebut dibagi atas bangsal laki-laki dan perempuan saja bukan terkhusus untuk satu gender. Â Mayoritas orang yang berada di dalam kamp adalah keturunan campuran atau wanita lokal yang menikah dengan orang lokal.Â
Di Indonesia terdapat Kamp Perempuan di Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara yang beroperasi sejak 16 April 1942 hingga 16 Juli 1945. Di dalam kamp tersebut terdapat 174 perempuan dan anak-anak yang ditahan. Sebanyak 26 orang tahanan tidak selamat dari kamp tersebut alias meninggal. Kamp Wanita lain di Berastagi bernama Rumah Tameling yang beroperasi dari 14 Desember 1942 hingga 16 Juli 1945. Â Isi dari kamp tersebut mencapai 500 orang wanita dan anak-anak.
Kisah salah seorang tahanan kamp di Sumatera Utara dapat dilihat dari kisah Robert Rouveroy. Robert ditahan sejak 1942 hingga 1945 di Sumatera Utara bahkan sampai menyakiskan Ibunya meninggal dunia. Robert bercerita para tawanan di kamp wanita diperintahkan untuk menggali parit selebar 6 kaki sepanjang 100 meter di luar kawat berduri. Komandan mengatalan parit-parit tersebut sebagai lubang perlindungan dari pesawat musuh.Â
Terdapat tawanan wanita di Sumatera, juga terdapat kamp wanita di Jawa. Kisah ini dituturkan Anne-Ruth Wertheim dalam bukunya yang berjudul "Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek : Masa Kanank-kanakku di Kamp Tahanan Jepang di Jawa" yang terbit 2008 lalu. Di dalamnya Anne bercerita mengenai keadaan kamp yang dikelilingi pagar duri berlapis-lapis yang sangat tinggi. Di sudut kamp terdapat menara tinggi dari bambu yang  dikawal penjaga bersenapan untuk mencegah mereka yang ingin lari dari kamp. Di dalam bukunya Anne juga menuliskan jatah makan tahanan senantiasa diletakkan pada sebuah kuali besar di tengah-tengah ruangan. Mereka diharuskan berjalan membawa mangkuk masing-masing untuk mendapatkan jatah nasi dan sayuran dengan dedaunan hijau. Saking sedikitnya, mereka mengawasi jika ada yang mendapatkan jatah lebih. Pada pagi dan petang hari mereka dijatah dengan seiiris roti yang keras seperti kayu. Anne diminta mamanya untuk menyimpan jatah tersebut untuk berjaga-jaga jika mereka lebih lapar dikeesokan harinya. Didalam kamp sangat rentan penyakit sehingga mereka terbiasa mendengarkan kentungan berbunyi sebagai pertanda ada yang meninggal dunia. Di malam harinya mereka tidur di atas dipan kayu dengan kepala di tembok dan kaki menghadap ruangan. Tempat mereka dijatah sebesar 50 centimeter per orang. Di dalam kamp juga terdapat sebuah toko makanan yang dijaga seorang perempuan paruh baya. Toko tersebut menjual makanan ringan dan kebutuhan namun, isinya tidak lengkap.
Setiap dua kali sehari mereka akan melaksanakan apel di lapangan tengah kamp. Barisan dibentuk dalam kelompok berbanjar lima sampai sepuluh dan setiap tahanan mendapatkan nomor yang disematkan pada baju. Apel tersebut dilaksanakan sangat lama hingga sang Komandan Jepang mendapatkan ada tawanan yang lari atau kabur dari kamp. Setiap berpapasan dengan serdadu Jepang mereka diharuskan membungkukkan badan sesuai aturan. Pada 4 September 1944, komandan kamp mengeluarkan perintah pelaporan yang berdarah Yahudi harus melapor ke kamp khusus. Hal ini sama persis dengan yang terjadi di Eropa terutama dibawah jajahan Nazisme Jerman. Anne sendiri memiliki darah Yahudi dari ayahnya sedangkan ibunya beragama Kristen. Di dalam kamp yang isinya terdapat orang Yahudi memiliki kondisi buruk karena kakus dan fasilitas lain tidak teratur dan kotor. Mereka tidak beralas kaki dan tidak memiliki air untuk kakus atau kamar mandi sehingga kaki mereka kotor oleh kotoran sendiri. Di dalam kamp tidak ada anak yang mendapatkan pendidikan karena dilarang oleh pemerintah Jepang. Barang-barang para tahanan dipakai oleh mereka. Kita dapat melihat bahwa pola kamp-kamp interniran yang digunakan Jepang juga mirip dengan Nazisme Jerman di Eropa hal ini didasari, keduanya berafiliasi dalam gerakan yang sama yaitu Kubu Sentral dalam Perang Dunia II.
Sumber
Wertheim, A.-R. (2008). Angsa Merampas Roti Bebek-Bebek : Masa Kanak-kanakku di Kamp Tahanan Jepang di Jawa. Yogyakarta: Galangpress.
Â