Masih tentang Luvia dengan episode yang berbeda juga ceritanya yang berbeda.
Suatu hari Luvia meringkuk di sudut kamarnya yang tak seberapa luas di lantai 2 Asrama. Kamarnya terlihat semakin sempit dengan sempurna karena pencahayaan yang temaram. Atau lebih pantas disebut hampir gelap gulita. Dia menundukkan wajahnya, sedangkan sepasang lengannya mendekap kedua betisnya dengan erat. Luvia terlihat sangat sedih. Entah masalah apa yang membuatnya sedemikian sedih hari ini. Mungkinkah ada peristiwa yang begitu menyakitkan terjadi padanya di kampus tadi siang atau kemarin?
Namun aku rasa itu tidak mungkin, karena kemarin dia terlihat baik baik saja. Bahkan aku perhatikan wajahnya sangat sumringah dan ramah ketika berkenalan dengan kami.
“Namaku Luvia, anak baru di Asrama ini. Nama kakak siapa?” tanyanya seraya meguurkan tangan lengkap dengan senyumnya yang manis. Memang susah mengenali karakteristik anak yang baru saja dikenal.
Pemandangan yang berbeda hadir pada di depan mataku kali ini. Sepulang kuliah aku segera bergegas ke kamarku di lantai 2. Kebetulan bersebelahan dengan kamar Luvia. Aku melintas di depan kamarnya. Dari kamar Luvia terdengar dia sedang memdengarkan music dengan nada yang keras tak kalah keras dengan suaranya yang ikut menirukan lirik dari lagu yang dia dengarkan. Aku amati dari daun pintu yang sedikit terbuka, ternyata Luvia juga jingkrak jingkrak menari di atas kasur. Wajahnya tampak senang dan merasa bebas dari beban.
Aku merasa heran dan memilih menjauh menuju kamarku. Namun sebelum aku membalikkan badan, dia melihatku dan berlari ke arahku.
“Kakak cantik sudah pulang kuliah ya?” tanyanya dengan agak centil dan manja.
“Kamu terlihat senang sekali Luvia. Ada kabar bahagiakah? Apa itu?” tanyaku tak kalah terlihat ikut merasa bahagia.
“Biasa saja kak. Tidak kabar apapun. Hari ini aku merasa senang dan bebas seolah tidak ada beban. Ternyata hidup ini indah untuk dinikmati”
“Aku mau Tanya sesuatu nih, sama Luvia. Kemarin Luvia kenapa, kakak perhatikan sepertinya sedih sekali. Ada masalah?
“Tidak ada kak. Aku biasa biasa saja” katanya.
“Tapi kok...” sebelum kalimatku selasai. Ada yang memanggil Luvia dari lantai bawah. Seorang teman di Asrama tempat kami tinggal.
“Luviiii..., ada yang mencarimu”
Luvia segera bergegas ke lantai bawah. Aku meneruskan langkah ke kamarku. Sejenak aku masih berpikir tantang Luvia. Aku merasa ada hal yang aneh pada teman baru itu. Kemarin tampak sangat sedih dan hari ini dengan begitu cepat dia terlihat sangat senang anpa alasan yang jelas. Sayang sekali tidak ada teman di Asrama ini yang mengenalnya sebelum tinggal disini, jadi aku merasa susah mengenali karakternya.
“Aku pesan karpetnya yang berwarna biru gelap agar serasi dengan warna dinding kamarku. Bukan warna biru muda. Bisa membedakan warna gak sih?”
Suara teriakan Luvia terdengar menggelegar dari ruang depan lantai bawah. Dia memarahi tukang antar karpet yang dipesannya dengan tanpa ampun. Padahal jika Luvia berkenan dia bisa menukarnya dengan warna yang dikehendaki tanpa perlu marah meledak ledak seperti itu. Aku semakin heran, mungin saja si Luvia terkena gangguan mood. Bipolar orang biasa mengenalinya. Yaitu Gangguan mood yang dengan gejala siklus emosi yang berubah ubah. Terkadang senang berlebihan, atau marah yang meledak ledak, bahkan sedih yang teramat berlebihan dan terjadi kurang lebih selama 1 minggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H