Mohon tunggu...
Nur Aisyah Putri
Nur Aisyah Putri Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa -

S-1 Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro Angkatan 2013 | Pemilik, Penggagas, dan Pendiri Sanggar Belajar Anak-Anak PoChild (Power of Children) | Empat Tangkai Dandelion | www.empattangkaidandelion.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sulap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Menjadi Ruang Publik Berbasis Smart Environment

29 September 2015   17:43 Diperbarui: 29 September 2015   22:03 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus meningkatnya jumlah penduduk diperkotaan sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Setiap tahun, angka urbanisasi terus naik. Menurut data Price Waterhouse Cooper pada 2014, tingkat populasi urbanisasi Indonesia sebesar  51,4 persen atau tertinggi kedua setelah Malaysia dengan angka sebesar 73,4 persen. Sedangkan negara anggota ASEAN lainnya, seperti Vietnam hanya 31,7 persen, Thailand 34,5 persen, dan Filipina 49,1 persen. Angka ini sekaligus menunjukkan pertumbuhan penduduk di perkotaan akan semakin tinggi. Tentu, luas wilayah suatu perkotaan memiliki kapasitas tertentu yang suatu saat akan mengalami titik terpadat dan berdesakkan jika peningkatan jumlah penduduk selalu bertambah tetapi luas wilayah yang ditempati sama ditambah lagi tidak adanya pengelolaan dengan baik.

Saat ini di kota-kota besar Indonesia sudah muncul bermacam-macam masalah karena kurangnya ruang di wilayah kota. Ruang untuk pembangunan saja sudah sangat susah apalagi ruang terbuka hijau atau ruang publik untuk masyarakat. Selain kurang didukungnya pembangunan perkotaan dengan tata ruang yang baik dan proporsional, paradigma masyarakat mengenai tinggal di kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik membuat wilayah perkotaan semakin obesitas alias semakin gemuk. Jika hal ini dibiarkan terus menerus tentu masyarakat akan semakin jauh dari harapan tinggal di kota yang ramah lingkungan.

Kurangnya ruang publik untuk masyarakat kota, seharusnya menjadi perhatian lebih bagi pemerintah. Namun, hambatan untuk membuat ruang publik yang layak untuk masyarakat kota tentu tidak sedikit. Contohnya saja, kurangnya wilayah untuk dijadikan ruang publik dikarenakan banyaknya masyarakat di kota. Padahal, di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Fakta mengenai penerapan Undang-Undang ini tentu sudah sama-sama kita saksikan bahwa ruang terbuka hijau yang seharusnya se-luas itu sebagian berubah menjadi pemukiman kumuh.  Melihat berbagai ancaman ini, sebagian kota besar di Inodnesia berusaha dengan sangat keras, perlahan tapi pasti untuk mewujudkan Smart City.

Smart City atau secara harfiah berarti kota pintar, merupakan suatu konsep pengembangan, penerapan, dan implementasi teknologi yang diterapkan untuk suatu wilayah (khususnya perkotaan) sebagai sebuah interaksi yang kompleks diantara berbagai sistem yang ada didalamnya. Ilmuwan bernama Giffinger juga menyatakan pembagian Smart City ke dalam enam jenis bagian, meliputi Smart Economy, Smart Mobility, Smart Governance, Smart People, Smart Living, dan Smart Environment. Berangkat dari adanya gerakan Smart city inilah konsep pembangunan perkotaan meliputi beberapa elemen yaitu infrastruktur, modal, asset, perilaku, budaya, ekonomi, sosial, teknologi, politik dan lingkungan. 

Mengingat kurangnya ruang publik di perkotaan dan tingkat pencemaran lingkungan yang cenderung tidak terolah dengan baik, seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang menimbulkan berbagai masalah. Timbulan sampah semakin hari semakin menggunung, bau menyengat yang dihasilkan membuat masyarakat sekitar tidak nyaman. Padahal, wilayah yang terpakai untuk timbulan sampah di TPA cukup luas. Namun, karena kebanyakan di TPA tidak dilakukan pengolahan yang baik dan sesuai dengan aturan perundang-undangan luas wilayah yang dijadikan TPA menjadi tempat yang menjijikkan dan dihindari sebagian masyarakat perkotaan yang tidak berprofesi sebagai pemulung. Melihat kondisi wilayah perkotaan yang semakin padat dan ketersediaan ruangan yang sangat minim, mungkinkah TPA yang menjijikkan dan mengeluarkan bau busuk ini dijadikan ruang publik dan tempat bermain bagi masyarakat kota?

Melalui program smart environment TPA yang menjijikkan dan dihindari itu mampu disulap menjadi kawasan atau ruang publik yang nyaman dan ramah lingkungan. Smart Environment (Lingkungan Pintar) yaitu lingkungan yang bisa memberikan kenyamanan, keberlanjutan sumber daya, keindahan fisik maupun non-fisik, visual maupun tidak, bagi masyarakat dan publik sehingga tercipta lingkungan yang bersih dan tertata. (Sumber: http://tutor-pengetahuan.blogspot.co.id/2014/11/smart-city.html Searcing tanggal 29 September 2015, Pukul 15:08 WIB). Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkannya?  

Hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengolah seluruh timbulan sampah yang telah menggunung. Teknologi yang telah banyak digunakan di negara maju dalam pengelolaan sampah adalah Material Recovery Facility (MRF). MRF merupakan sebuah fasilitas yang menerima bahan berupa material sampah baik dalam keadaan tercampur maupun sudah mengalami proses pemilahan sebagai proses berkelanjutan dari pengelolaan sampah untuk dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku pada proses selanjutnya (Tchobanoglous, 1993). Dengan adanya MRF di setiap TPA tentu akan memudahkan pemilahan sampah dengan teknologi tinggi. Selain sudah efektif dan efisien, pada proses akhir pemisahan sampah dibutuhkan tenaga manusia untuk mengolah kembali bahan yang layak digunakan. Nah, biasanya para pemulung melakukan pemilahan sampah di TPA denga alat seadanya, sekarang mereka sudah memiliki lapangan pekerjaan yang jelas dan tidak terlalu kotor, karena telah dibantu oleh mesin. Alat pemisah sampah secara otomatis ini, juga mampu memisahkan sampah logam, yang tentu memiliki nilai jual lebih. Pemandangan tidak mengenakkan melihat para pemulung bekerja di gunungan sampah, tentu perlahan akan menjadi sebuah pemandangan baru, yang mana tidak ada kata pemulung lagi, tapi pekerja industri pegelolaan sampah TPA.

Jika gunungan sampah sudah tidak ada lagi dan sampah sudah mudah di olah. Kita bisa membuat wahana TPA dengan desain yang memiliki estetika tinggi. Seperti halnya TPA di beberapa daerah Indonesia. Salah satu contoh adalah TPA Cahaya Kencana di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan yang telah berhasil mengubah pandangan tentang TPA yang kumuh, bau dan terkesan menjijikkan menjadi TPA yang layak untuk dikunjungi sebagai wahana edukasi, memiliki taman khusus sendiri, serta telah menghasilkan produk gas metan untuk daerah sekitar.

Contoh lain adalah TPA Kota Pati di Desa Sukorejo, Kecamatan Margirejo sebagai alternatif wisata lokal warga Pati. TPA Kota Pati juga jauh dari kesan bau dan timbulan sampah yang menggunung. Jika berkunjung ke sana, mungkin kita tidak akan menyangka bahwa itu adalah TPA. Selain itu, TPA Kota Pati juga memiliki kebun binatang kecil-kecilan sebagai sarana rekreasi dan edukasi bagi anak-anak.

Beberapa contoh TPA tersebut, bukan hal yang tidak mungkin untuk dilakukan di kota-kota besar sebagai ruang publik baru bagi masyarakat kota, bukan? Pertanyaannya, mau kah pemerintah ataupun pihak swasta mewujudkan TPA yang layak menjadi ruang publik tersebut? Jika berbicara profit, tentu saja pengubahan TPA menjadi ruang publik kota mendatangkan profit. Sebut saja, tenaga kerja yang dibutuhkan tentu akan membuka lapangan kerja baru, pengolahan kembali barang-barang yang layak dijadikan bahan baku menjadi kerajinan dan lain-lain. Berbagai macam keuntungan akan didapatkan serta ruang publik kota pun terwujud. Masyarakat tidak akan antipati lagi terhadap TPA bahkan akan menjadi pilihan untuk bersantai saat sore hari atau akhir pekan sambil mengenalkan pentingnya menjaga lingkungan kepada anak, ponakan, dan saudara.

Kedepannya, TPA yang telah diterima dengan baik oleh masyarakat sebagai ruang publik diperhatikan estetika dan ditambah fasilitas WiFi, alarm bencana alam, fasilitas lengkap untuk penyandang difabel seperti Kamar Mandi dan jalan khusus untuk mereka. Kita lihat kenyataan saat ini, masyarakat lebih senang ke tempat yang memiliki nilai estetika tinggi bahkan hanya sekedar untuk berfoto-foto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun