Assalaamualaikum, diary... sudah malam ya, sudah hampir pukul sebelas, mataku pun sudah lelah. Namun, ibarat punya hutang, rasanya belum tenang kalau belum menulis di kompasiana.Â
Walaupun mata agak susah diajak kompromi, dengan terkantuk-kantuk aku tuliskan kata demi kata. Tidak ada kata terlambat untuk memenuhi sebuah tantangan, apalagi setelah kulihat di wa grup tantangan Omjay, masih ada yang baru mengirimkan tulisan. Jumlah di list hari ketiga ini sampai jam sepuluh malam sudah mencapai empat puluh sembilan. Semoga aku yang mengisi di nomor yang ke lima puluhnya.
Diary, mengapa aku selalu malam baru sempat menulis di kompasiana ini? Alasannya, sebagai guru sekolah dasar, aku harus berangkat pagi menuju sekolah. Di sekolah pada jam mengajar tentu kita sibuk menghadapi siswa, ada sih waktu istirahatnya, seperti tadi pagi, jam pertama di kelasku adalah olahraga.Â
Aku pun mengisi kekosongan jam dengan membuka laptop, kulanjutkan membuat kisi-kisi soal ujian akhir semester ganjil yang belum siap. Jika sudah terasa lelah, kuselingi membuka program guru belajar, di sana aku sedang mengikuti pelatihan seri guru merdeka belajar di gelombang ke enam belas.
Walaupun sudah menjelang lima puluh tahun, ya diary, aku tetap bersemangat untuk terus belajar, apalagi di zaman yang serba digital ini, belajar pun bisa melalui dunia maya. Semangat belajarku pun aku tularkan kepada siswa dan anakku sendiri. Biarlah aku dibilang bawel dan cerewet, itulah bentuk kasih sayangku kepada mereka.Â
Setiap sebelum azan Subuh, aku sudah membangunkan anak-anakku, mereka harus sudah mandi sebelum berangkat ke masjid. Pertamanya dibuat perjanjian dulu, siapa saja yang tidak mandi sebelum Subuh berarti hari itu tidak dapat uang jajan.Â
Kesepakatan itu disetujui anak-anakku, memang berat nampaknya, tetapi lama kelamaan sudah menjadi kebiasaan. Tugasku hanya membangunkan, walaupun ada yang sudah bangun sendiri, dimulai dari pukul empat dini hari, satu persatu mereka mandi bergantian. Â
Oh, iya, diary, kamu tahu kan kalau anakku berjumlah sembilan, qodarulloh, anakku nomor tiga telah dipanggil duluan oleh Sang Penciptanya, jadi sekarang yang ada tinggal delapan.Â
Waktu itu, usianya baru menginjak sembilan belas tahun, dan sekarang di bulan November ini genap setahun dari kepergiannya. Anakku yang sulung sudah berkeluarga dan punya anak satu, sekarang tinggal di Yogya, nomor dua masih lajang merantau ke Surabaya, nomor empat baru masuk semester satu di UIN Suska Riau Pekanbaru, tinggalnya di asrama dalam komplek fakultasnya. Nomor enam baru masuk kelas satu MTS plus pesantren, sementara dari nomor lima, tujuh dan seterusnya tinggal bersamaku.Â
Diary, kata tetangga, kataku juga, sih,semua anak-anakku itu penurut, enggak suka neko-neko, mereka rajin beribadah. sampai si bungsu pun yang masih berusia empat tahun, sudah mulai terbiasa juga mandi sebelum Subuh dan ikut ke sholat berjamaah di masjid.Â
Mungkin karena rumahku dekat dengan masjid, ya, diary, tetapi kalau aku tidak bawel membangunkan mereka, terdengar suara azan pun pasti masih nyenyak tidur. Dulu sebelum ada kesepakatan itu, ada juga yang susah dibangunkan, tetapi sekarang aku sangat bersyukur memiliki mereka, anak-anak yang sholeh, alhamdulillah.