Wilayah yang dahulu membentuk Daerah Istimewa Surakarta kini bertransformasi menjadi sebuah aglomerasi kawasan yang dikenal dengan nama Subosukowonosraten, singkatan dari Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten.
Aglomerasi ini memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari pusat-pusat pertumbuhan lain di Indonesia. Dengan jumlah penduduk lebih dari 6 juta jiwa dan tingkat urbanisasi yang terus meningkat, kawasan ini menyimpan potensi luar biasa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis budaya, inovasi, dan konektivitas.
Surakarta sebagai pusat kota inti memegang peran sebagai jantung perekonomian, pendidikan, dan budaya, menjadi magnet aktivitas perdagangan, jasa, serta pariwisata. Kabupaten-kabupaten sekitarnya memainkan peran sebagai hinterland produktif, mendukung Surakarta dengan kekuatan sektor agribisnis, manufaktur ringan, industri kreatif berbasis lokal, serta sentra pendidikan kejuruan yang terus berkembang.
Boyolali, misalnya, dikenal sebagai sentra industri susu dan agrikultur modern, sementara Sukoharjo dan Karanganyar berkembang sebagai kawasan industri kecil menengah dan pariwisata alam.
Keunggulan geografis Subosukowonosraten tak bisa dipandang sebelah mata. Berada di jalur utama penghubung Yogyakarta--Semarang--Surabaya, kawasan ini memiliki kemudahan akses logistik yang vital. Apalagi dengan keberadaan Bandara Internasional Adi Soemarmo dan jaringan jalan tol Trans Jawa yang melintasi kawasan ini, potensi integrasi perdagangan antar daerah menjadi lebih terbuka lebar. Selain itu, kawasan ini juga ditopang oleh keunggulan budaya yang otentik, mulai dari warisan Keraton Kasunanan, Pura Mangkunegaran, hingga desa-desa budaya yang tersebar di seantero kawasan.
Namun, di balik potensi tersebut, tantangan besar masih mengadang. Ego sektoral antar pemerintah kabupaten, tumpang tindih kebijakan pembangunan, hingga absennya kerangka tata kelola lintas wilayah yang kuat menyebabkan sinergi kawasan ini belum maksimal. Banyak proyek infrastruktur atau ekonomi kreatif yang berjalan sendiri-sendiri, tanpa integrasi visi jangka panjang kawasan.
Akibatnya, daya saing aglomerasi ini di tingkat nasional masih tertinggal dibandingkan aglomerasi seperti Jabodetabek atau Gerbangkertosusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan).
Untuk itulah penghidupan kembali DIS menjadi sangat relevan. Status istimewa baru ini bisa menjadi instrumen untuk mengintegrasikan kawasan Subosukowonosraten ke dalam satu entitas pembangunan yang harmonis dan visioner. Dengan koordinasi yang kuat, Subosukowonosraten bisa diangkat menjadi model aglomerasi budaya-modern pertama di Indonesia: kawasan yang tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga menjadi pusat peradaban, inovasi, dan kearifan lokal yang membanggakan Indonesia di mata dunia.
Subosukowonosraten adalah energi laten yang hanya menunggu momen ledakannya. Dan membuka kembali DIS adalah percikan awal yang bisa menyalakan potensi luar biasa tersebut, menjadikan kawasan ini motor baru penggerak Indonesia menuju masa depan emas.
Urgensi Penghidupan Kembali DIS dalam Konteks Indonesia Emas 2045
Dalam peta jalan menuju Indonesia Emas 2045, pemerintah menargetkan Indonesia menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita tinggi, kualitas SDM unggul, dan daya saing global yang kuat. Untuk itu, diperlukan transformasi menyeluruh dalam berbagai aspek pembangunan, termasuk pemberdayaan aglomerasi regional yang berbasis budaya dan identitas nasional.