Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Antara Omon-Omon IMF dan Optimisme 8%

24 April 2025   06:51 Diperbarui: 24 April 2025   06:51 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.idxchannel.com/economics/imf-ramal-ekonomi-indonesia-tumbuh-47-persen-pada-2025-dan-2026

Antara Omon-omon IMF dan Optimisme 8 Persen

Proyeksi Global vs Mimpi Nasional: Siapa yang Akan Menang?

Ketika IMF merilis proyeksi bahwa ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,7 persen pada 2025 dan 2026, banyak yang terperangah. Angka itu tampak seperti "tamparan data" bagi pemerintah yang selama ini optimis dengan visi pertumbuhan 8 persen. Dalam World Economic Outlook April 2025, IMF menilai perlambatan global, risiko geopolitik, dan tekanan fiskal sebagai hambatan nyata. Namun, angka tersebut memicu perdebatan besar, apakah Indonesia memang layak diremehkan seperti itu? Ataukah ini hanya refleksi dari model prediktif IMF yang terlalu konservatif dan tak cukup memahami kekuatan domestik yang tengah bangkit?

Kita tahu, Indonesia bukan sekadar pasar berkembang biasa. Ia adalah negara dengan populasi keempat terbesar di dunia, bonus demografi aktif hingga 2045, dan transformasi digital yang sedang berjalan cepat. Jika mesin-mesin pertumbuhan seperti konsumsi domestik, industrialisasi hilirisasi, dan ekspansi UMKM dikalibrasi dengan tepat, maka angka 4,7% akan jadi sejarah, dan bukan nasib. Visi 8% bukan sekadar mimpi kosong, melainkan bentuk kepercayaan bahwa Indonesia bisa mengatur jalannya sendiri, tanpa harus terus menari mengikuti irama dari luar. Ini bukan soal optimisme buta, melainkan kesadaran bahwa ekonomi bukan hanya soal data, tetapi juga tentang strategi, semangat, dan konsistensi arah.

Efisiensi Fiskal dan Tantangan Menjaga Akselerasi

Pemerintah Indonesia, dalam menghadapi tantangan global dan kebutuhan jangka panjang pembangunan, memilih pendekatan yang unik: radikal efisiensi fiskal. Narasi "merampingkan belanja" jadi mantra utama dalam dokumen perencanaan pembangunan 2025--2026. Tapi di sisi lain, ini memunculkan paradoks. Sebab dalam teori Keynesian maupun praktik kontemporer, belanja pemerintah adalah salah satu motor utama pertumbuhan, apalagi saat konsumsi masyarakat melemah dan investasi swasta menunggu kepastian. Lalu, bagaimana efisiensi fiskal bisa kompatibel dengan ambisi pertumbuhan 8%?

Kuncinya terletak pada arah dan kualitas belanja. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap rupiah dikeluarkan untuk hal-hal yang punya daya ungkit tinggi: pendidikan, riset, infrastruktur konektivitas, hilirisasi industri, hingga transformasi digital. Bukan sekadar memangkas, tapi menyusun ulang belanja untuk jadi mesin produktif. Sektor seperti pertanian cerdas, energi hijau, dan industri 4.0 butuh investasi awal yang bisa membuka peluang lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah, dan menarik investasi global. Maka, strategi fiskal Indonesia harus berubah dari sekadar pengeluaran ke instrumen pengungkit, dari konsumsi ke investasi sosial, dari seremonial ke substansi. Tanpa ini, efisiensi akan menjadi rem, bukan gas.

Dunia Sedang Tak Stabil, Tapi Tak Semua Memilih Menunggu

Di tengah ekonomi global yang bergolak akibat perang tarif, perlambatan Tiongkok, dan pengetatan moneter negara maju, sebagian besar negara justru meningkatkan belanja pemerintah secara masif. Amerika Serikat merespons dengan Inflation Reduction Act senilai USD 739 miliar, India meningkatkan belanja infrastrukturnya lebih dari 30 persen dalam anggaran 2025. Negara-negara ini tahu betul: dalam situasi ketidakpastian global, negara harus hadir sebagai lokomotif ekonomi. Sementara itu, Indonesia masih bersikap hati-hati, seolah menyetir di jalan berlubang dengan lampu redup.

Namun, hati-hati berlebihan bisa melahirkan stagnasi. Kita tak bisa menunggu keyakinan datang dari luar; kita harus menciptakan keyakinan itu dari dalam. Investasi publik di bidang transformasi energi, ketahanan pangan, logistik, dan digitalisasi bukan hanya tentang proyek jangka pendek, tapi investasi masa depan. Indonesia harus belajar dari strategi geopolitik ekonomi negara lain: diversifikasi mitra dagang, industrialisasi berbasis keunggulan komparatif, dan integrasi regional. Di sinilah kekuatan Indonesia, dengan pasar domestik yang besar dan sumber daya alam yang berlimpah, bisa ditransformasikan menjadi nilai strategis. Tapi itu hanya bisa terjadi jika pemerintah percaya diri bertindak sebagai katalis, bukan hanya pengatur lalu lintas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun