Bukan Angka yang Membuat Hebat, Tapi Strategi di Baliknya
Tumbuh 8% bukan soal membanggakan angka, melainkan membuktikan strategi. Indonesia harus menempatkan visi ini dalam kerangka kerja yang konsisten, terukur, dan kolaboratif. Tak cukup hanya dengan pidato atau regulasi; dibutuhkan keselarasan antar-kementerian, sinergi pusat-daerah, hingga aliansi strategis dengan sektor swasta dan masyarakat sipil. Pemerintah harus menjadi orkestra utama yang menyatukan harmoni pembangunan dari berbagai arah.
Langkah besar harus diiringi fondasi kuat: reformasi birokrasi digital, sistem insentif berbasis output, dan instrumen pembiayaan yang tidak mengandalkan utang semata. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mempercepat transformasi ekonomi menuju manufaktur berbasis teknologi tinggi, ekonomi hijau, dan digitalisasi UMKM. Indonesia juga perlu menyusun ulang economic storytelling, bukan hanya menargetkan angka pertumbuhan, tapi merancang cerita yang membangkitkan kepercayaan publik dan investor bahwa negara ini tahu ke mana ia akan melangkah, dan bagaimana cara mencapainya.
Ketika IMF berbicara angka, Indonesia harus bicara strategi. Ketika lembaga asing memberi peringatan, Indonesia justru harus menjawab dengan pembuktian. Karena pada akhirnya, yang akan mencatat sejarah bukanlah proyeksi, tetapi realisasi. Indonesia bisa lebih besar dari ramalan siapa pun, selama ia berani melampaui keraguan dan mengawal langkahnya dengan kebijakan yang terstruktur, progresif, dan berpihak pada masa depan.
Dari Ramalan Menuju Pembuktian
Dalam sejarah pembangunan bangsa, ramalan hanyalah satu bab kecil, dan seringkali bab itu tidak ditulis oleh kita sendiri. Proyeksi IMF yang menyebut pertumbuhan Indonesia hanya 4,7 persen bukanlah vonis mati atas potensi kita. Ia hanyalah titik awal untuk menguji apakah Indonesia hanya ingin jadi penonton dalam arena global, atau justru tampil sebagai pemain utama yang mengatur permainannya sendiri. Karena pertumbuhan ekonomi sejati tidak hanya berasal dari neraca makro, tapi dari keberanian membuat keputusan yang berani, taktis, dan berpihak pada masa depan.
Visi 8 persen bukan sekadar simbol angka, tapi kompas arah pembangunan nasional. Ia mencerminkan ambisi untuk melampaui jebakan kelas menengah, memperluas basis industri, memperkuat sektor produktif, serta menciptakan ekonomi yang tahan banting sekaligus inklusif. Tantangan besar bukan alasan untuk menyerah, melainkan alasan untuk menyusun ulang strategi secara kolektif dan disiplin. Di sinilah pentingnya membangun kepercayaan publik, memperkuat tata kelola, dan memastikan bahwa semua instrumen pembangunan, fiskal, moneter, kebijakan industri, serta transformasi digital, berjalan dalam orkestrasi yang terintegrasi.
Indonesia tidak butuh pembuktian pada IMF atau lembaga asing mana pun. Yang dibutuhkan adalah pembuktian kepada diri sendiri: bahwa dengan strategi yang benar, konsistensi dalam eksekusi, serta keberanian untuk mengambil jalan tak lazim, maka sejarah bisa dibelokkan. IMF boleh saja bicara tren global, tapi Indonesia bisa menciptakan lintasannya sendiri. Sebab dalam dunia ekonomi modern, bukan prediksi yang menggerakkan dunia, melainkan keyakinan yang diterjemahkan jadi kebijakan, kerja nyata, dan hasil konkret.
Kita pernah membuktikan di masa lalu, ketika krisis datang, kita bangkit. Ketika pandemi melanda, kita bertahan dan pulih lebih cepat. Kini, saat dunia menaruh angka 4,7 persen di pundak kita, Indonesia punya peluang untuk membuktikan bahwa ramalan bisa dikalahkan, dan masa depan adalah milik mereka yang tak hanya percaya, tapi juga bertindak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI