Momentum Refleksi dan Reorientasi Kebijakan Ekonomi
Lebaran bukan sekadar hari raya keagamaan. Ia adalah peristiwa sosial-ekonomi terbesar yang terjadi setiap tahun di Indonesia, sebuah momen ketika tradisi, emosi, dan ekonomi bertemu dalam satu panggung. Mudik Lebaran menjadi simbol keterikatan antara kota dan kampung, antara modernitas dan akar budaya, antara perantauan dan harapan pulang. Dalam satu gelombang besar, jutaan orang bergerak dari pusat-pusat ekonomi kembali ke titik asal mereka, membanjiri jalanan, terminal, bandara, dan pelabuhan. Di balik itu, perputaran uang mencapai triliunan rupiah, memberi napas segar bagi sektor konsumsi, transportasi, dan perdagangan di seluruh pelosok negeri.
Namun, Lebaran 2025 hadir dengan wajah yang berbeda. Suasana yang biasanya riuh dan penuh semangat, kini terasa lebih lengang dan tenang. Jalan tol yang biasanya macet berjam-jam bisa dilalui tanpa hambatan berarti. Tiket pesawat dan kereta api yang biasanya habis jauh hari, kini masih tersedia hingga mendekati hari H. Bahkan pusat perbelanjaan dan pasar tradisional pun mencatat transaksi yang lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Data resmi menunjukkan bahwa jumlah pemudik menurun drastis, sebesar 24,34%, dari 193,6 juta orang pada 2024 menjadi hanya 146,48 juta orang tahun ini.
Apakah ini sekadar perubahan perilaku pascapandemi? Ataukah kita sedang menghadapi kenyataan baru yang lebih kompleks, tentang tekanan ekonomi, daya beli yang menurun, dan ketidakpastian yang membayangi masa depan? Lebaran 2025 memberi kita isyarat bahwa ada yang perlu direnungkan, dan mungkin dibenahi.
Angka yang Bersuara: Penurunan Signifikan dalam Mobilitas dan Konsumsi
Data tak pernah bohong. Ketika emosi dan persepsi bisa bergeser karena narasi, data tetap berbicara dengan jujur. Menurut laporan Kementerian Perhubungan RI, jumlah pemudik tahun ini mengalami penurunan tajam. Dari 193,6 juta orang pada 2024 menjadi hanya 146,48 juta orang pada 2025. Itu berarti ada lebih dari 47 juta orang yang memutuskan untuk tidak pulang kampung tahun ini.
Penurunan ini tidak hanya terjadi pada moda tertentu, tetapi hampir merata di semua jalur darat, laut, udara, dan kereta api. Moda darat yang selama ini menjadi pilihan mayoritas pemudik, khususnya kendaraan pribadi dan bus antarkota, justru mencatat penurunan tertinggi. Tiket yang biasanya habis terjual jauh hari sebelumnya kini bahkan bisa diperoleh H-3 tanpa antrean. Fenomena ini tentu bukan kebetulan, melainkan refleksi dari pergeseran ekonomi masyarakat.
Tak hanya dari sisi mobilitas, perputaran uang selama musim mudik pun mengalami koreksi tajam. Menurut Bank Indonesia, jumlah uang tunai yang beredar dan digunakan masyarakat selama Ramadan dan Idulfitri 2025 hanya mencapai Rp137,975 triliun, lebih rendah dari angka tahun lalu sebesar Rp157,3 triliun. Artinya, masyarakat lebih hemat, bukan karena semakin bijak dalam pengeluaran, melainkan karena kemampuan untuk membelanjakan uang pun menyusut.
Kondisi ini menjadi sinyal awal bahwa ekonomi rumah tangga Indonesia tengah menghadapi tekanan. Mudik yang biasanya menjadi ruang pelarian dan euforia, justru kini menjadi cermin akan daya beli yang menurun dan kecemasan ekonomi yang meningkat.
Sinyal-Sinyal Perlambatan Ekonomi yang Tak Bisa Diabaikan