Mohon tunggu...
Ira Chandra Puspita
Ira Chandra Puspita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Takkan habis dunia ini dikejar, dan biarlah dunia saja yang mengejarku...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Iri, Tapi Kenapa Bukan Aku?

4 Mei 2013   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:06 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Azka banyak mengomel beberapa hari ini. Syarif sampai kesal dan bosan mendengarnya. Pasalnya, Azka yang selalu mendapatkan nilai terbaik dalam setiap ujian matematika, hanya karena hari ini nilainya 80 dan bukan yang terbaik, Azka tidak mendapatkan buku dongeng berbahasa inggris yang oleh Bu Nurul, guru matematika Azka di sekolah, yang kali ini diberikan pada peraih nilai tertinggi. Hanya kali itu Azka tidak mendapatkan nilai terbaik, biasanya nilai terbaik selalu berhasil dikantongi oleh Azka. Menurutnya, Bu Nurul juga nggak adil, kenapa nggak ngasi tau dulu kalo ada doorprize-nya untuk nilai terbaik.

"Ih, Azka nggak terima. Kenapa Maulana yang dapet bukunya??? Biasanya kan Maulana nggak dapet nilai diatas 70. Pas kemaren aja tiba-tiba Maulana dapet nilai 85, selisih dikit kan sama nilai Azka. Ini nggak adil!" keluhnya tiap kali teringat masalah buku dongeng yang diberikan Bu Nurul pada peraih nilai terbaik ujian matematika hari itu.

Berkali-kali bunda menggingatkan Azka untuk beristighfar, tapi tetap saja ketidakpuasannya menggema.

"Azka iri ya sama Maulana?"tanya Syarif suatu ketika. Telinga Syarif sudah bosan dengar protes Azka yang tampak bakal nggak ada ujungnya. Kadang Syarif ingin marah dan meluapkan kekesalannya pada adiknya, tapi bunda selalu bilang, 'Marah bukan solusi terbaik mas'. Jadilah Syarif sok menutup kuping kalau adiknya mulai berkicau tentang buku dongeng yang diberikan pada Maulana.
"Siapa bilang Azka iri mas? Azka cuma kesal sama Bu Nurul! Nggak adil kan mas, Azka yang sering dapet nilai bagus aja nggak dapet apa-apa, kok Maulana yang baru kali ini jadi yang terbaik aja dapet buku dongeng. terus buat Azka mana??" Jawab Azka masih dengan berkesal-ria.
"Karena keseringan jadi yang terbaik, adhe jadi sombong, lupa kalo adhe nggak akan selalu jadi yang terbaik. Bisa jadi suatu hari nanti, naudzubillahi min dzalik, adhe dapet nilai NOL."
"Idih! Mas ini ngedoain Azka dapet nilai jelek ya mas?" Protes Azka.
"Nggak. Kan udah pake naudzubillahi min dzalik de'."
"Mas ini bikin Azka tambah kesel aja."
'Serem juga ya menghadapi orang yang lagi marah-marah. Hiii...' Syarif bergidik sendiri jadinya.
"Mas yang nggak salah apa juga mesti kena marahnya adhe juga?" goda Syarif sambil mencoba menenangkan adiknya.
"Huwh!"
"Duwh jeleknya putri bunda kalo lagi marah-marah gini...," canda bunda sambil menyodorkan piring berisi potongan-potongan apel dan melon pada Azka. Azka mengulurkan tangan, mengambil sepotong lalu melahapnya.
"Azka sayang, putri bunda yang sholehah, kemaren nilai ujian adhe berapa?" tanya bunda.
"80 bunda."
"Menurut Azka nilai segitu jelek apa bagus?"
"Ya lumayan bunda, tapi..." Azka tampak ragu menyelesaikan kalimatnya.
"Tapi?"
"Tapi nggak dikasi buku dongeng, bunda."
"Dapet nilai 80, Azka sudah bilang Alhamdulillah?"
Hening, Azka tampak mengingat-ingat sesuatu.
"Halaaaaaaaaaaaaaah, pasti belum. Kan protes melulu dari kemaren", sahut Syarif sambil menjulurkan lidah, mengejek adiknya.
"Mas ini apaan sih?!" Azka menyahut dengan sewotnya.
"Jangan berantem, kasian telinga bunda," lerai bunda melihat kedua permata hatinya siap saling cubit dan pukul. "Udah apa belum de'?" tanya bunda sekali lagi.
"Seinget Azka sih udah bunda."
"Berarti hamdalahnya belum tulus dan belum bener-bener," sambung bunda Azka sambil tersenyum dan mencubit lembut pipi putrinya.
"Emangnya bunda tau kalo Azka udah bener-bener apa belum bilang alhamdulillahnya?" tanya Azka penasaran.
"Kalo udah bener-bener dan beneran, Azka pasti nggak akan protes terus." jawab bunda.
"Apa hubungannya bunda? Ada-ada aja bunda ini."
"Kalo sudah benar-benar bersyukur, pasti gimanapun hasilnya pasti akan diterima dengan ikhlas. Kalo ikhlas itu, pasti nggak akan mengeluh dan protes terus."
Azka merasa tersindir dengan ucapan bundanya.
"Bukannya bunda marahin Azka lho ya, bunda cuma mau negur aja de'."
"Kan emang nggak adil bunda. Biasanya Azka nilainya bagus tapi nggak dapet apa-apa, Maulana malah yang baru sekali ini dapet nilai bagus malah dapet buku dongeng berbahasa inggris. Harusnya kan Azka yang dapet tuh." Azka meneruskan ketidakpuasannya.
"Nilai yang selalu bagus, jangan sampai membuat adhe merasa hebat, apalagi paling hebat. Itu namanya sombong lho. Ingat, karena kseombongan setan terusir dari surga, karena kesombongan Fir'aun juga ditenggelamkan dalam laut, karena kesombongan juga karun terkubur di dalam bumi," nasehat bunda sambil memakan sepotong buah melon.
"Astaghfirullah, jangan sampe Azka kayak gitu ya Allah...," sahut Azka seketika.
"Terus Azka harus gimana donk bunda?" tanya Azka sedikit panik.
Bunda tersenyum melihat reaksi putrinya, 'Jaga kedua anakku ya Allah, lembutkan hati mereka, jaga akhlak dan luhur budi mereka ya Robby.'
"Harusnya Azka ngasi ucapan selamat dan mendoakan Maulana, semoga hadiah itu mampu menjadikan Maulana lebih semangat belajarnya. Semoga buku itu bermanfaat untuk Maulana."
"Tapi Azka kan juga mau buku itu bunda..."
"Belum tentu apa yang kita inginkan itu adalah yang terbaik bagi kita sayang. Bisa jadi nilai 80 puluh itu bisa menegur Azka untuk tetap giat belajar dan tetap pintar bersyukur atas apa yang diperoleh."
"Iya sih bunda."
Azka tampak sedang berfikir. 'Maapin Azka ya Allah, padahal Azka sudah sering dapet buku-buku dan dongeng dari ayah, malah Azka udah punya banyak banget di kamar Azka... Maapin Azka ya Allah, Azka lupa untuk berterima kasih atas nilai Azka, mungkin itu adalah yang terbaik untuk Azka. Alhamdulillah ya Allah."
"Makasi ya bunda, udah ngingetin Azka," kata Azka sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang bundanya.
"Sama-sama sayang," jawab bunda sambil mengcup kening Azka lembut.
"De', liat deh, mas dapet foto eiffel dari ustadz Heru. Mas kan udah hafal juz Amma," kata Syarif sambil melambai-lambaikan beberapa lembar foto di tangannya. Azka bergegas mendatangi kakaknya dan melihat semua foto tersebut.
"ah, ustadz Heru, kan Azka hafal duluan dari mas Syarif, kok Azka nggak dikasi juga??"

Hadeeeeewh, bakal panjang deh kalo gini... (^_^)v

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun