Mohon tunggu...
Galeri Cerita Ani Wijaya
Galeri Cerita Ani Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - The taste of arts and write

Kisah cinta umpama sebuah buku. Kau tetap akan membaca selembar demi selembar meskipun telah tahu akhir ceritanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masihkah Kau Mencintaiku

17 September 2014   20:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:25 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku memejamkan mataku, enggan melihat pada benda kecil yang ada ditangan kananku. Aku memeluk dirinya erat-erat, ia membelai rambutku, mencium puncak kepalaku. "Liat aja sayang, ngga akan apa-apa kok." Ia membujuk diriku. Aku menatapnya, ragu. "Seandainya itu terjadi, bagaimana?" aku memeluk dirinya. Menangis dalam peluknya. "Aku ga akan pernah ninggalin kamu." Ucapnya. Ia mencium keningku, lagi. "Janji?" Aku memastikan. "Aku pernah bohong sama kamu?" Ia menatapku. Aku menggelengkan kepalaku. Lalu aku melihat benda kecil yang daritadi kupegang. POSITIF!!! Jantungku seakan-akan berhenti berdetak. Darahku berhenti mengalir. Nadiku tak berdenyut. Pikiranku kosong. Sang hormon testosteron dengan nakalnya menggoda seorang wanita belia. Mereka dimabuk cinta. Hingga mereka lupa akan dosa. Mereka lupa akan larangan tuhan. Mereka lupa pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Melempar benda kecil yang biasa disebut test pack itu. Ia memelukku dengan erat, namun aku tak dapat berhenti menangis. Ya Tuhan, apa engkau murka? Sehingga engkau memberikan cobaan ini padaku? Apa kau tidak bisa memberikanku kesempatan sekali saja untuk memperbaiki dosa-dosaku? Apa engkau benci padaku?! Kalau begitu bunuh saja aku! Ambil nyawaku! Daripada aku harus menanggung beban ini! Aku ikhlas! "AKU RELA!!!" Aku berteriak, tangisku pecah bersama teriakanku. Ia melepas pelukannya, aku tetap diam disini. Aku yakin, pria ini tidak akan bertanggung jawab dan pergi begitu saja. Semua pria pasti seperti itu.


Lalu bagaimana dengan sekolahku yang tinggal satu langkah lagi menuju jenjang yang lebih tinggi? Apa kata teman-temanku jika mereka tau bahwa aku hamil diluar nikah? Apa kata orang tuaku? Aku harus bagaimana? Aku diam sejenak, memikirkan apa yang harus kulakukan. Ahh! Bagaimana jika aku menggugurkan kandungan yang baru berusia 3 bulan ini?! Aku bisa melakukan olahraga berlebihan hingga kandunganku gugur. Atau aku bisa menonjok-nonjok perutku sendiri dengan keras hingga calon bayi ini tewas. Aku bisa memakan durian dan nanas muda dengan porsi banyak hingga kandungan ini mati. Atau aku bisa pergi ke tempat aborsi ilegal dimana aku bisa melenyapkan jabang bayi ini dengan mudah. Aku melupakan sekolahku dan Ujian Nasional yang 1 bulan lagi akan berlangsung, lalu aku akan menjalankan ide cemerlangku ini dengan mudah.


-- -- --


Aku memarkirkan mobilku di halaman parkir tempat aborsi ilegal yang menurut sumber, tempat aborsi ini murah, kita tinggal menyebutkan usia kandungan kita, lalu membayar biaya administrasi, masuk ke dalam ruangan, dan tara! Dalam sekejap, janin ini akan lenyap. Aku mengambil kartu nomor antrian. 21, yang berarti aku harus menunggu agak lama. Aku duduk di kursi yang sudah disediakan untuk pasien. Di sebrangku, tampak sepasang anak muda yang saling mencintai, perut wanita itu sudah agak membuncit, sang pria memeluk wanita itu dengan erat, mereka saling mencintai, namun karena mereka masih terlalu muda dan belum siap untuk berumah tangga, mereka harus membunuh buah cinta mereka yang sama sekali tak berdosa. Aku termenung sesaat. Aku mengusap-ngusap perutku yang agak membuncit. Di dalam rahimku ini adalah calon anakku, dan aku adalah ibunya. Ia tidak berdosa, justru ia ada karena dosa kedua orangtuanya yang tidak bertanggung jawab. Ia berhak untuk hidup, karena itulah Tuhan menitipkannya di dalam rahimku dan harus aku rawat, bukan aku lenyapkan. Harusnya aku menimangnya, menggendongnya dengan penuh kasih sayang, bukan membunuhnya karena aku menganggap ia adalah dosa yang harus aku singkirkan sejauh mungkin. Anak ini adalah anakku, dan aku menyayanginya. Air mataku mengalir. Aku berdiri dari tempat aku duduk dan merobek nomor antrian yang aku pegang. Aku pergi meninggalkan tempat terlaknat itu sejauh mungkin. Menggagalkan rencana aborsi yang keji itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun