Mohon tunggu...
Galeri Cerita Ani Wijaya
Galeri Cerita Ani Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - The taste of arts and write

Kisah cinta umpama sebuah buku. Kau tetap akan membaca selembar demi selembar meskipun telah tahu akhir ceritanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Separuh

16 Februari 2016   15:09 Diperbarui: 16 Februari 2016   15:11 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka bertemu pertama kali di atas gerbong penumpang. Ah, bukan, di Stasiun Bandung. Saat itu kereta sudah akan berangkat, tapi seorang gadis berusaha mengejar sekuat tenaga. Seorang pemuda, tinggi tegap, berwajah kharismatik. Mengulurkan tangan, Sang gadis menyambut dengan refleks. Tubuhnya tertarik, masuk ke dalam kereta. Napas terengah-engah, peluh membanjiri keningnya yang halus. Lalu ia mengaitkan anak rambut ke belakang telinga. Senyuman yang terlukis menghapuskan dingin senja itu.

Mereka duduk berhadapan, bertegur sapa. Berkenalan, saling bertukar cerita. Bulan purnama tanggal empat belas yang bulat sempurna. Berkilau indah, menjadi latar perjalanan mereka. Ke manapun mereka pergi, Sang Rembulan dengan setia mengikuti. Turut bahagia dengan pertemuan dua insan yang saling mengasihi. Lantunan lagu Crisye berkumandang, menambah kuat kesan romantisme yang tercipta.

Seperti adegan yang pernah aku lihat di film India. Rupanya, adegan romantis di film-film berasal dari kehidupan nyata. Dimana akhirnya, pria dan gadis itu saling jatuh cinta. Lalu meneruskan ikatan ke jenjang pernikahan. Membangun mahligai yang penuh kebahagiaan. Dikaruniai beberapa anak yang juga cantik dan tampan. Membesarkan sang buah hati dengan penuh kasih sayang, mendidik mereka agar menjadi manusia yang bermanfaat. Lalu mereka hidup bahagia untuk selamanya. Romantis yang sederhana.

Untuk melepas kepenatan setelah seharian beraktifitas. Mereka menghamparkan tikar, berbaring di teras balkon, menatap langit. Setiap malam, dari sejak menanti sosok bulan. Hingga terlukis bulan sabit, lalu berubah menjadi bulan separuh. Sampai bulan berbentuk cembung dan akhirnya bulan purnama menampakkan keanggunan. Seperti saat mereka pertama kali bertemu.

Kebiasaan yang berlangsung bertahun-tahun, sejak mereka masih berdua. Memiliki satu anak, dua, tiga. Hingga anak-anak dewasa, menikah dan memiliki cucu. Terkadang mereka memandang bulan berdua saja. Sering juga kami, anak dan cucu ikut bergabung. Riuh, meriah dengan suara bahagia dan canda tawa. Rekreasi yang sederhana, piknik malam hari di balkon rumah kami.

Iri, melihat keromantisan mereka berdua. Bahkan aku bersama suami tidak memiliki hal romantis seperti itu. Sekedar meniru pun rupanya tak pandai.
Sore itu, Ibu mengeluhkan kepala yang mendadak nyeri. Aku membuatkan teh manis. Ibu berbaring di sofa sesaat, lalu beranjak menuju kamar mandi. Aku menyesal tak memapah Ibu, baru beberapa langkah saja, ia terjatuh. Terbentur tembok dan dahinya mengucurkan darah.

Aku panik. Suamiku yang saat itu kebetulan ada di rumah dengan segera membopong ibu menuju mobil. Kami berangkat ke rumah sakit saat itu juga. Aku hendak menelpon Ayah, tapi ibu malah melarangku dengan keras.

“Jangan Teh, nanti Ayah panik. Ibu takut terjadi apa-apa sama Ayah. Biar Ayah pulang dulu, baru Teteh kasih tahu.”
Aku menurut saja. Ternyata, ibu harus dirawat selama beberapa hari. Dikhawatirkan ada pendarahan di otak. Dokter juga menyarankan untuk menjalani city scan. Medical check up secara keseluruhan. Sesuatu yang tak pernah dilakukan Ayah dan Ibu.

Mereka terbiasa hidup sehat, olahraga teratur, makanan bergizi dan air putih sebanyak mungkin. Satu hal lagi selain keromantisan yang sukar kami tiru.
Ayah seharusnya sudah pulang. Aku menelpon Aira,anak sulungku yang kuminta menunggu kedatangan kakeknya di rumah. Anakku bilang, kakek langsung mengendarai motornya menuju RS. Was-was, tak enak hati. Menghitung waktu, seharusnya Ayah sudah tiba disini.

Ponselku berbunyi, Aira meluncurkan kata-kata yang membuatku limbung. Disela isak tangisnya, ia menjelaskan bahwa kakeknya mendapat musibah kecelakaan lalu lintas. Tertabrak Truk yang remnya blong. Astaghfirullah.

Setiap hari ibu bertanya,”Ayah belum kesini, Teh?”
“Tadi Ayah kesini, Ibu sedang tidur. Ayah tak mau mengganggu jam istirahat Ibu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun