Suara sebening kristal, meluncur dari bibir gadis pujaanku. Ketika aku membantu merapikan bukunya yang berserakan. Seseorang berjalan terburu-buru hingga menubruk Sapphira.
Saat itu hatiku bersorak, andai dapat terdengar. Di sanubariku mengalun sebait instrumen, lebih syahdu dari musik pengiring di film India.
‘Dia tahu namaku’, bisikku dalam hati. Untuk pertama kali, kami saling bertatapan. Dan ia melemparkan senyum, tapi, aku bagaikan tercekik. Tak sepatah pun, kata dapat kusuarakan.
Setahun berlalu sekejap mata, tetap tak mampu menyatakan semua perasaanku pada Sapphira. Gadis yang siluet keanggunannya, bersemayam dalam hatiku. Dengan wajah teduh dan senyuman sihir, yang setia membayangi pikiranku.
Aku masih terlalu egois terhadap perasaanku sendiri. Hanya seorang yang terlalu angkuh dalam lamunanku sendiri. Lisan dan qolbuku mengalah demi kepuasan mata saja.
Tidak, aku belum patah hati untuk kedua kali. Aku yakin, suatu saat memiliki keberanian untuk menyatakan cinta. Ruby akan memperjuangkan cinta kingkongnya pada Sapphira. Cinta sejati, maksudku.
###
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H