Cinta Kingkong
Oleh: Ani Wijaya
Cinta pada pandangan pertama? Aku percaya. Kualami sendiri, meskipun hanya sekali seumur hidupku.
Kala itu, aku berdiri kaku. Tak sanggup mengalihkan pandangan. Seperti di film-film romantis yang aku tonton. Semua bergerak lambat, Slow Motion. Mata, yang bulat berbinar. Wajah teduh, namun kehangatan memancar disana. Disertai senyuman yang tak mungkin kulupakan. Senyuman yang sengaja dilemparkan untukku. Semua itu terasa seperti sihir yang membuat aku menjadi patung.
Terjadi saat usiaku sepuluh tahun. Menurut kabar yang aku dengar; di usia ini, rata-rata seseorang akan mengalami “Cinta Monyet”. Dan gadis kecil itu, berusia dua tahun lebih tua dariku.
Tak lama kemudian, aku mendapat surat yang spesial. Bersampul merah jambu, wangi saat kuhirup. Sebuah undangan ulang tahun. Sapphira, sang cinta monyetku. Seketika hatiku berbunga-bunga. Keindahan taman di hatiku, mengalahkan Taman Bunga Nusantara.
“Ma, Ujang minta uang, boleh ya Ma,” rayuku pada euma,”nanti Ujang bantu nganterin baju jahitan.”
“Iya, Ujang kasep, boleh. Buat beli kado Neng Sapphira yah?”
Jawaban dari ibuku tersayang, membuat perutku tergelitik senang. Aku mengangguk malu-malu.
Sebuah kado mungil terbalut kertas berwarna pink, polos tanpa gambar. Kuikat dengan pita merah agar lebih manis. Persis seperti penampilan Sapphira. Ia sangat suka mengenakan gaun berwarna merah muda. Dilengkapi bandana merah di rambut, yang ikal, panjang tergerai.
Aku memakai baju terbaik, terbaru, euma menjahitkan untukku. Memakai cream rambut biru muda, milik Apa. Kusisir, hingga benar-benar rapi. Dengan kepercayaan diri yang besar, akulah anak laki-laki terganteng disini. Beserta keyakinan, bahwa kado yang kubawa, paling cantik. Segera mengambil langkah tegap, menuju rumah megah milik orang tua Sapphira.