Sehingga hanya memiliki waktu istirahat yang sedikit. Sering merasa kelelahan, terlihat dari berat tubuhku yang mulai menyusut. Kulit semakin pucat dan lingkaran hitam di mata kian tampak.
Sore ini, sepulang kerja, aku harus mengajar di tempat bimbingan belajar. Mengajar private pelajaran Matematika. Baru dua minggu bergabung disini.
“Pagi, Teh” sapa seorang pria, yang juga mengajar disini.
“Pagi.”
Rafi, nama pria ini. Berusia tiga tahun lebih muda dariku. Ia memiliki wajah yang manis, seperti senyum yang selalu ia tebarkan. Dan hidung yang ia miliki, mancung sempurna, seperti... ah sudahlah.
Kami kerap saling bertegur sapa. Lalu berbincang-bincang diiringi candaan khas milik Rafi. Kadang dibuat kesal dengan komentar yang ia lemparkan. Terutama saat memanggil dengan sebutan, Neng Pesek.
Kesal tapi diakhiri tawa. Kesal, tapi selalu menantikan saat ia mengajak ngobrol.
“Sebenarnya, Teteh tuh gak pesek,” sambil menyeringai,”tapi kurang mancung.”
Seperti biasa, aku menekuk wajah dan melipat bibir. Setelah itu ia akan tertawa lepas. Tawa yang menghangatkan.
Kami sering menghabiskan waktu bersama; makan malam, mengunjungi pameran buku, menonton, dan jalan pulang bersama. Kebersamaan sederhana, yang membuatku nyaman. Meskipun selalu disertai teriakan, saat ia mengeluarkan kata-kata ‘Bully’an. Tapi tak pernah benar-benar marah. Bahkan mulai terbiasa, terbersit kerinduan bila tak mendengar suara pria itu sehari saja.
“Aku harus pindah Teh, memulai usaha sendiri,” kata Rafi suatu hari.