Memiliki suatu wilayah dengan perbatasan yang jelas sejatinya merupakan salah satu syarat sebuah negara dikatakan merdeka dan berdaulat. Perbatasan wilayah, baik itu negara pantai, non pantai, atau kepulauan diatur dalam hukum internasional yang berlaku. UNCLOS 1982 ditandatangani di Jamaica pada April 1982 secara spesifik membahas mengenai hukum laut yang didalamnya membahas mengenai wilayah perairan. Dalam UNCLOS 1982 telah jelas tertulis teritorial laut, internal waters, zona tambahan (continuous zone), perairan kepulauan, zona ekonomi ekslusif (ZEE), dan daerah dasar laut.
Kesepakatan, penandatangan, dan ratifikasi atas UNCLOS 1982 menjadi penanda bahwa sebuah negara tunduk akan hukum laut yang berlaku secara Internasional. Hal ini tiada lain adalah sebagai bentuk untuk menjaga kedaulatan dan memperoleh hal berdaulat pada masing-masing wilayah. Namun, meskipun adanya hukum laut internasional, masalah persengketaan kerap tetap terjadi dan sebenarnya, hal ini cukup lazim. Dalam penyelesaian sengketa, mahkamah internasional dapat bekerja sebagai pihak yang menyelesaikan sengketa.
Kebangkitan China dalam berbagai sektor, salah satunya dalam bidang pertahanan menjadi sebuah ancaman di Laut China Selatan. Ancaman ini dikarenakan klaim sepihak China yang bertentangan dengan Hukum Laut Internasional atas wilayah perairan Laut Cina Selatan (LCS) yang meliputi wilayah Spratly.Â
China mengklaim wilayah Laut China Selatan atas nine dash line merupakan milik China dengan menarik sembilan garis putus-putus dan mengambil yurisdiksi Filipina, Brunei, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia yang melibatkan perairan Natuna. Klaim China tersebut dangat mengancam wilayah negara-negara tersebut di mana seharusnya merupakan wilayah berdaulat dan memicu persengketaan di LCS. China sendiri telah menandatangi UNCLOS 1982 yang secara teknikal menyatakan bahwa nine dash line tidak dapat diakui. Pelanggaran klaim China dengan nine dash line tersebut merugikan kedaulatan negara-negara perairan di Asia Tenggara.
Pada tahun 2013, Filipina membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional dan telah diputuskan bahwa China tidak memiliki hak klaim di atas Laut Cina Selatan dan menyatakan bahwa nine dash line bertentangan dengan hukum UNCLOS 1982. Namun, sanksi hukum internasional tidak memiliki 'gigi' yang kuat atau kekuasaan eksekutif untuk dapat menuntaskan pelanggarannya, ditambah China memiliki power yang kuat. Oleh karena itu, apapun putusan yang dikeluarkan Mahkamah Internasional, tidak berpengaruh kuat untuk menghentikan proyek China di LCS.
Melihat pelanggaran China yang semakin massive, pada 15 September 2021, Australia, Inggris dan Amerika Serikat mengumumkan pembentukan kerjasama yang dinamakan AUKUS atas adanya tantangan di Indo-Pasifik ini. Hal ini sejalan dengan kepentingan ketiga negara terhadap Indopasifik. AUKUS ini secara dibentuk antara lain adalah untuk meningkatkan stabilitas di kawasan Indopasifik, terkhususkan pada wilayah Laut China Selatan yang diklaim China.Â
Dalam meningkatkan stabilitas, pembentukan AUKUS difokuskan pada memfasilitasi pertahanan Australia dengan kapal selam bertenaga nuklir, di mana Australia merupakan negara yang dekat di kawasan Laut China Selatan. AUKUS ini menjadi kerjasama trilateral di bidang pertahanan keamanan tradisional yang dibuat untuk mendukung militer Australia oleh Britania Raya dan Amerika Serikat untuk mengimbangi kekuatan China.
Ketika kita melihat dari kacamata realis, penyeimbangan kekuatan atau balancing power ini adalah ketika setiap negara dalam kepentingannya meningkatkan pertahanan masing-masing baik beraliansi atau non-aliansi untuk mencegah agresi negara lain. Namun, menerapkan balance of power berpotensi menyebabkan arms race atau perlombaan senjata, sehingga berpotensi menjadi ancaman baru. Terlebih, hal ini merupakan power projection negara-negara AUKUS yang berpotensi meningkatkan ekskalasi.Â
Melihat perkembangan power projection dari AUKUS nampaknya memang mengancam China. Menanggapi hal itu, Menteri Luar Negeri China mengatakan bahwa pembentukan Kapal Selam bertenaga nuklir tersebut dapat menyebabkan perlombaan senjata. China pun mulai makin meningkatkan postur pertahanannya dan juga mengembangkan kapal selam misil balistik tenaga nuklir dengan persenjataan yang cukup menantang AUKUS.
Melihat hal ini, jelas ekskalasi dapat meningkat dan dalam posisi ini, Indonesia berada di tahap yang cukup sulit. Pada sektor ekonomi, China merupakan salah satu mitra strategis dan pada sektor pertahanan, sebagian besar alat pertahanan negara berasal dari blok barat. Kemudian, Indonesia tetap dalam pendirian untuk tetap non-aligned serta arah kebijakan pertahanan Indonesia cukup jelas bahwa pertahanan Indonesia adalah menganut sistem defensif. Defensif itu bukan berarti kita tidak melakukan apa-apa, justru dengan "defensif", maka tugas kita adalah meningkatkan suatu postur pertahanan terbaik dalam menghadapi konflik LCS.
Peningkatan postur pertahanan ini wajib dilakukan pada tiga matra TNI, baik Laut, Darat, maupun Udara. Sebagai contoh dalam pertahanan Laut, Indonesia wajib untuk meningkatkan postur dengan pengadaan yang lebih memadai pada kapal striking force, patrols, dan kapal-kapal pembantu.Â