Tuhan, mengapa sakit itu datang lagi?
Mengapa rasa itu muncul kembali?
Saat aku perlahan telah bahagia
Saat dia juga perlahan memulai bahagia
Karena cintanya mulai terbalas oleh gadis pujaannya
Harusnya aku turut bahagia
Namun mengapa yang jatuh justru tangis airmata?
Aku yang kemarin memaksa gadis itu untuk membuatnya bahagia
Mengapa justru kali ini aku tak rela?
Mengapa justru aku kembali mengiba?
Rasa apakah ini?
Apa aku rindu?
Atau aku belum benar-benar rela melepasnya?
Aku rindu hadirnya, yang kala itu selalu bersamaku......
(bersambung)...
Puisi tersebut merupakan puisi terakhir yang ditulis oleh Ataya sebelum ia ditemukan jatuh tak sadarkan diri dikamarnya. Saat itu hari sabtu, seperti biasa itu merupakan hari libur bagi Ataya dan Atala. Pada hari libur seperti itu, Ataya lebih senang menghabiskan waktunya didalam kamar, sambil menjalankan hobi menulisnya, seperti puisi, berbeda dengan Atala yang lebih senang menghabiskan waktunya dengan bermain futsal bersama teman-teman sepermainannya.
Ataya dan Atala, sepasang anak kembar yang lahir 20tahun lalu dari keluarga Araya. Ayah dan Bunda mereka merupakan orang terpandang dikalangan keluarga mereka, wajar saja jika semua anggota keluarga sangat menyayangi mereka. Keluarga mereka biasa memanggil mereka dengan panggilan “Aya” dan “Al”, katanya biar gampang mengingatnya.
Pagi itu, Aya dan Al memulai hari dengan sarapan bersama dengan Ayah dan Bunda mereka. Kebiasaan tersebut sudah menjadi hal wajib yang selalu dilakukan oleh keluarga Araya disetiap paginya.
“Hari ini ada rencana apa kalian nak?, ada yang mau ikut ayah kah?, hari ini ayah ada pertemuan di Taman Dayu, kali aja kalian mau ikut sekalian refreshing”. Ujar Ayah ditengah keasyikan mereka menyantap sarapan.
“Enggak ah yah, hari ini Al udah ada janji mau main futsal sama anak-anak. Itu tuh dek Aya kali aja mau, dia kan butuh refreshing banget kayanya”, jawab Al sambil mengunyah rotinya.
“Tuh kan selalu aku yang ditumbalin, huh. Enggak juga deh yah, Aya mau dikamar aja. Lagi ada inspirasi nih buat nulis, hehe. Mending ayah ajakin Bunda tuh”, sahut Aya manja.
“Yaudah yaudah Ayah biar sama Bunda aja, Bunda kan selalu setia sama Ayah. Yang penting kalian hati-hati ya”, jawab ayah seraya mengerdipkan mata ke arah bunda. Kerdipan Ayah dibalas senyum serta anggukan kepala oleh Bunda.
Ucapan Ayah dijawab kompak oleh Aya dan Al, “Siap bos!, hahaha”
Suasana tiba-tiba hening saat Mbok Ani muncul dari belakang sambil lari kebingungan. Mbok Ani datang menghampiri mereka di ruang makan.
“Mbok kenapa? Kok lari-lari gitu sih?”, tanya Bunda heran.
“Pak, Bu, mohon maaf, dibelakang dekat kolam kok akhir-akhir ini sering bau pesing ya?, kayak ada yang kencing di kolam gitu”, sahut Mbok Ani takut-takut.
”Uhuukk..ekheem”, Aya yang tadinya makan dengan lahap tiba-tiba tersedak.
“Aya kenapa dek?, makan pelan-pelan sayang”, Bunda mengingatkan.
“Eh, eng..enggak Bund, nggak apa. Aya udahan ya makannya, Aya Permisi ke kamar”, sahut Aya sambil berdiri meninggalkan ruang makan. Pikirannya mulai tidak tenang.
“Itu anak kenapa tiba-tiba aneh sih bund?, yaudah nanti aja Mbok dibahasnya, kita lagi sarapan nih ah”, Al menjawab dengan raut muka tidak biasa.
“Baik Mas, maaf ya sebelumnya. Saya permisi ke belakang lagi Pak, Bu”, ujar Mbok Ani lalu kembali meninggalkan ruang makan.
Sarapan pagi selesai dan aktifitas masing-masing pun mulai dijalankan. Ayah dan Bunda pergi ke pertemuan, Al pergi bermain futsal. Hanya Aya yang sejak tadi dikamar tidak bersuara.
“Cekriiieeekkk...”, Al membuka pintu kamar Aya pelan-pelan kemudian berkata, “Dek Ya, Kakak berangkat futsal dulu ya. Kamu nggak apa kan di rumah sendiri dulu? Apa mau ikut? Kakak nggak lama sih tapi, paling 2jam udah balik, jangan ngelamun aja kamu ih”.
“Berangkat aja Kak, Aya lagi pengen dirumah kok. Santai aja deh”, sahut Aya sambil mengetikkan jari jemarinya diatas keyboard laptopnya. Tatapannya datar tak seperti biasa.
“Oke, kalau gitu Kakak pergi ya. Kalau ada apa-apa langsung ngebel pokoknya. Berangkat ya Dek, assalammualaikum”, pamit Al seraya beranjak meninggalkan kamar Aya.
“Waalaikumsalam”, jawab Aya singkat.
Saat sedang asyik menari dalam irama indah imajinasinya, tiba-tiba Aya merasakan kepalanya berat sekali. Badannya gemetar dan rasa pusing menyerang tanpa tau sopan santun. Aya pun memutuskan untuk bangkit dari kursi dan bermaksud untuk pindah ke atas tempat tidur untuk rebahan, namun belum sampai tempat tidur tiba-tiba “bruuk..”, Aya terjatuh ke lantai tak sadarkan diri.
---------------
Keadaan rumah sepi sekali saat Al tiba sore itu. Ia pulang agak terlambat karena tadi asyik ngobrol dengan teman-temannya. Tiba-tiba Ia teeringat akan Aya, adik satu-satunya yang Ia sayang. Ia pun bergegas menuju kamar Aya.
“Aya..., Dek...., kok rumah sepi sih?, kamu ngapaaaa...iii..nn?”, Al tersentak kaget saat menemukan Aya tergeletak tak sadar diatas lantai ketika Ia membuka pintu kamar Aya.
“Dek, Dek, yaAllah kamu kenapa?, kok gini?” dengan panik Ia menggendong adiknya itu ke atas tempat tidur.
Bergegas Ia keluar kamar untuk memanggil Mbok ani, kemudian berusaha untuk menghubungi Ayah dan Bunda.
“Tuuutt..tuuttt..”, yang teerdengar hanya nada sambung itu diujung telepon. Sambil menunggu Al mencoba untuk menghubungi dokter pribadi mereka.
Saat yang ketiga kalinya baru ada jawaban dari Ayah, “Halo assalammualaikum, ada apa Kakak telepon sampai tiga kali?”
“Ayah, Bunda cepat pulang bisa?, Dek Aya tiba-tiba tadi pingsan, Al nggak tau kenapa dengan dia. Al sudah telepon dokter Ambar barusan, sedang perjalanan beliau”, dengan panik Al menjelaskan.
“I..iyaa Kita pulang sekarang nak, tunggu ya sabar”, sahut Ayah diujung telepon.
Tidak lama berselang Ayah dan Bunda tiba, saat itu dokter Ambar sedang berada di kamar Aya untuk memeriksa kondisi Aya. Suasana yang ada kala itu hanyalah panik dan menegangkan.
“Bisa bicara dengan Bapak Ibu sebentar? Ada yang ingin saya sampaikan mengenai kondisi Aya”, ujar dokter ambar setalah selesai memeriksa Aya.
“Ada apa dok dengan Aya? Dia baik-baik saja kan?, sahut Bunda dengan rasa cemas.
“Hmm, berat sebenarnya. Tapi saya harus sampaikan ini. Aya terserang penyakit Alzheimer, dimana kondisi otak Aya perlahan mengkerut atau mengecil, dan ini menyebabkan penurunan dan perubahan pada fungsi memori dan ingatan Aya. Ia akan lupa atau bahkan tidak menyadari apa yang Ia lakukan dalam kegiatan sehari-harinya”, Dokter Ambar menjelaskan perlahan.
“Alzheimer dok?, apakah penyakit ini menular?, bisa diobatin kan dok?”, Bunda menyela penjelasan dokter Ambar sambil meneteskan airmata.
“Alzheimer bukanlah penyakit yang menular, Alzheimer ini sejenis sindrom dengan apoptosis sel-sel otak pada saat yang hamper bersamaan, sehingga otak tampak mengerut dan mengecil. Risiko mengidap Alzheimer akan meningkat seiring dengan pertambahan usia Pak, Bu. Biasanya Alzheimer terjadi pada usia 65 tahun, ini saya juga agak heran kenapa bisa terjadi pada diri Aya yang masih berusia muda”, sahut dokter Ambar lagi.
“Bisa dijelaskan lagi dok secara rinci?”, pinta Ayah pada dokter Ambar.
“Dalam ilmu kedokteran, pasien penderita Alzheimer lambat laun akan mengalami perubahan yang bersifat degeneratif atau bersifat penurunan pada sejumlah system neutransmiter, termasuk juga perubahan fungsi pada system neural monoaminergik yang melepaskan asam glutamate, noradrenalin, serotin dan serangkaian sistem yang dikendalikan oleh neurotransmiter. Perubahan degenerative juga terjadi pada beberapa area otak seperti lobus temporal dan lobus parietal dan juga beberapa bagian di dalam korteks frontal dan girus singulat yang disusul dengan hilangnya sel saraf dan sinapsis. Gejala awal penyakit ini adalah mudah lupa pada hal-hal yang sering dilakukan dan hal-hal baru. Penderita juga mengalami disorientasi waktu dan mengalami kesulitan fungsi kognitif yang kompleks seperti matematika atau aktivitas organisasi. Penderita Alzheimer yang berat ditandai dengan kehilangan daya ingat yang progresif sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, disorientasi tempat, orang dan waktu, serta mengalami masalah dalam perawatan diri, seperti lupa mengganti pakaian. Penderita penyakit itu biasanya juga mengalami perubahan tingkah laku seperti depresi, paranoid, atau agresif.”, lanjut dokter Ambar lagi.
“Jadi perlahan Aya akan kehilangan ingatannya? Memorinya?”, tanya Ayah.
“Iya pak, Alzheimer ini juga dikatakan penyakit yang sinonim dengan orang tua. Karena penderitanya akan berperilaku seperti orang yang telah lanjut usia, seperti pikun, kemudian buang air disembarang tempat, dan sebagainya”, jawab dokter Ambar.
“Jangan-jangan bau pesing didekat kolam itu Aya ya Yah?, dia lupa harus buang air dimana akhirnya dia ke kolam, kan di kolam juga ada air”, ujar Bunda berbisik pada Ayah.
“Apa ada obatnya dok?”, sahut Ayah.
“Untuk saat ini hanya ada sedikit obat dan sifatnya hanya sementara pak, obatnya diminum secara oral atau melalui mulut. Sedikit beresiko karena akan memberi efek samping pada pengkonsumsinya. Semoga Aya cepat pulih ya, didampingi terus yang penting Pak, Bu karena dukungan dari keluarga juga akan membantu menyembuhkan sakitnya. Jika tidak ada yang ditanyakan lagi saya pamit ya, nanti saya beri resep untuk bisa ditebus”, dokter Ambar menjelaskan lagi sebelum meninggalkan rumah keluarga Araya.
-----------
Setelah kejadian hari Sabtu itu semua terasa beda. Tidak ada lagi Aya cantik yang manis dan ceria. Sejak saat itu Aya lebih sering diam, jika beraktifitas pun selalu didampingi oleh keluarganya.
Perubahan yang tak biasa itu perlahan dirasakan Al. Ia mendadak rindu cokelat panas buatan Aya yang saat hujan selalu tersedia diatas mejanya. Sekarang jangankan membuat cokelat panas untuknya, berpakaianpun Aya perlu dibantu oleh Bunda dan Mbok Ani.
Malam ini gerimis romantis jatuh membasahi tanah, seperti airmata Al yang perlahan jatuh membasahi pipinya. Tanpa sadar Ia mengetik beberapa baris kalimat di laptop kesayangannya,...
Namamu memang indah
Namun siapa sangka jika hadirmu justru akan membuat sakit semuanya
Kau sapa replika diriku secara perlahan
Kau hampiri ia
Kau manis bermain bersamanya
Tak kusangka ternyata dirimu kejam
Perlahan namun pasti
Kau memeluknya dan menjadi luka baginya, kini...
Alzheimer? Inikah rahasiamu?
Misteri apa yang ada pada dirimu?
Hingga obatpun hanya sementara bagi kesembuhannya
Pergilah,
Tinggalkan dirinya
Kembalikan replika diriku seperti sedia kala
Kembalikan replika cantik itu Alzheimer...
Yang sehat
Yang cantik dan manis
Yang tak lelah bergelanyut manja dipelukanku
Aku rindukan ia
Replika diri tercantikku,
Yang kusebut ia Aya
Ataya Putri .....
“Al kangen Aya..”, ucap Al mengakhiri bait puisinya. Sepertinya kebiasaan menulis kembarannya itu perlahan menempel pada dirinya. Kini biar waktu yang menjawab, biar waktu yang meberi jawaban atas usaha yang dilakukan keluarga Araya untuk kesembuhan Aya.
--------------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H