Kasus Bima Yudho Lampung menunjukkan adanya keprihatinan masyarakat terhadap respons pemerintah setelah Bima dilaporkan ke polisi atas dugaan menghina pemerintah daerah. Tanggapan pemerintah dalam kasus ini menunjukkan perlunya menjaga kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia, serta menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Sebagai pemerintah daerah, pemerintah Lampung seharusnya menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi, keproposionalan dalam kekuasaan, dan hak asasi manusia. Namun, respons pemerintah terhadap kasus ini terkesan menolak kritikan dan bahkan melaporkan Bima ke polisi serta mengintimidasi keluarganya.Â
Tindakan semacam ini tidak proporsional dalam menanggapi kritikan dan dapat memicu ketakutan serta pembungkaman suara-suara kritis yang seharusnya dihormati dan diberi ruang untuk berpendapat.
Respons pemerintah Lampung dalam kasus ini juga menunjukkan kelemahan dalam membangun budaya demokrasi inklusif dan terbuka. Pemerintah daerah seharusnya melindungi dan memfasilitasi partisipasi publik serta kebebasan berekspresi masyarakatnya.Â
Namun, tindakan melaporkan ke polisi dan mengintimidasi Bima dan keluarganya menunjukkan bahwa pemerintah Lampung lebih mementingkan tindakan penindakan daripada dialog konstruktif dengan warganya.
Selain itu, kasus ini juga menggambarkan pentingnya menjaga independensi sistem peradilan di daerah. Independensi ini diperlukan agar kasus-kasus seperti ini dapat ditangani secara adil dan transparan, tanpa tekanan politik yang mempengaruhi proses hukum. Pemerintah Lampung harus memastikan bahwa proses hukum dalam kasus Bima Yudho dilakukan secara obyektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
Kasus Bima Yudho Lampung menghadirkan tantangan bagi pemerintah dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi di daerah. Pemerintah Lampung perlu merenungkan tindakan mereka dalam menangani kasus ini dan memastikan bahwa kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia dihormati dan dilindungi.Â
Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam membangun lingkungan inklusif, di mana suara-suara kritis dihargai dan didengar sebagai bagian dari perbaikan dan pembangunan yang berkelanjutan serta menjalankan keproporsionalan dalam pemerintahan.
Sebagai seorang kepala daerah, gubernur seharusnya menempatkan dirinya sebagai wakil rakyat, bukan sebagai raja. Sebagai wakil rakyat, gubernur harus menerima kritikan sebagai masukan untuk memperbaiki pemerintahan, meskipun kritik tersebut disampaikan dengan bahasa yang kurang pantas. Kritik sejatinya adalah obat yang pahit namun dapat menyembuhkan penyakit. Memuji dari lingkaran kekuasaan hanya akan menyejukkan dan menjauhkan pemimpin dari realitas.
Kritik yang disampaikan Bima seharusnya direspons dengan kebijakan publik yang terstruktur, terencana, dan terlaksana dengan baik. Keberhasilan-keberhasilan pembangunan seharusnya disampaikan secara transparan kepada publik, termasuk program-program dan penggunaan anggaran. Oleh karena itu, tidak perlu marah atau kesal.
Kasus ini juga mengajarkan kita untuk fokus dalam pembangunan daerah, mengidentifikasi kekurangan dan mengambil langkah yang diperlukan. Banyak pemerintah daerah yang tidak memiliki fokus anggaran yang jelas, dengan sebagian besar anggaran digunakan untuk membiayai gaji pegawai. Penting untuk mencari skema lain dalam memperbaiki infrastruktur jalan yang rusak, namun hal itu tergantung pada komitmen pemerintah daerah setempat.