Mahasiswi S1 Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang, Imanuella Dewanty bersama Prof. Dr. Djoko Saryono, M. Pd. mengungkap sebuah fenomena mengejutkan di media sosial melalui penelitiannya yang berfokus pada akun TikTok @bacotinajagpp. Penelitian ini menyoroti bagaimana kekerasan verbal terhadap perempuan begitu leluasa tersebar di dunia maya, khususnya di TikTok, platform yang banyak digunakan generasi muda.
Mengapa akun @bacotinajagpp menarik perhatian? Dengan pengikut lebih dari 5.000 dan jumlah like yang mencapai 260.500 (Februari 2024), akun ini kerap membagikan konten yang mengandung unsur kekerasan verbal, terutama yang menargetkan perempuan. Penelitian ini mengangkat pentingnya memahami dampak konten semacam itu terhadap persepsi publik, serta bagaimana ia berpotensi memperkuat stereotip negatif dan mendiskreditkan perempuan dalam masyarakat.
Dalam studinya, Imanuella menggunakan metode kualitatif dan mengumpulkan data berupa kata, frasa, dan kalimat dari konten akun tersebut sejak Maret 2022 hingga Desember 2023. Ia mengidentifikasi tiga fokus utama: jenis kekerasan verbal, fitur bahasa yang digunakan, serta strategi kekerasan verbal yang diterapkan.
Dari 321 data yang dikumpulkan, 76 di antaranya terbukti mengandung kekerasan verbal. Kekerasan ini muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari komentar tentang seksualitas, penampilan, hingga intelektualitas perempuan. Beberapa contoh ungkapan yang ditemukan termasuk pernyataan seperti: Â
(1) "Kamu itu kayak kondom, sekali pake buang" Â
(2) "Cewe cantik itu memang elit tapi nyari yang masih perawan itu sulit" Â
(3) "Ingat cewe cuma cinta sama cowo ganteng."
Dari temuan ini, Imanuella membagi kekerasan verbal ke dalam empat kategori utama: seksual, penampilan, intelektualitas, dan karakter. Tak hanya itu, ia juga mengidentifikasi lima variasi bahasa kekerasan—mulai dari ujaran kebencian hingga bahasa yang agresif dan melecehkan, baik secara implisit maupun eksplisit.
Penelitian ini memberikan perspektif melalui pendekatan linguistik feminis, yang memperlihatkan bagaimana kekerasan verbal digunakan oleh laki-laki, dalam hal ini pemilik akun, untuk mempertahankan posisi dominan dalam hierarki sosial. Bahasa digunakan sebagai alat untuk menurunkan martabat perempuan, menjadikan mereka objek penghinaan, dan memperkuat stereotip gender yang merugikan.
Jika fenomena ini dibiarkan, kekerasan verbal semacam ini bisa menjadi hal yang normal di masyarakat, dengan perempuan terus-menerus menjadi korban. Penelitian ini hadir sebagai bentuk peringatan dan upaya prevensi terhadap kekerasan verbal di dunia maya, mengajak kita untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Kita harus memilih: Apakah akan membiarkan kekerasan verbal meracuni ruang digital, atau mengubahnya menjadi tempat yang aman dan positif? Mari bersama-sama menghentikan penyebaran kekerasan verbal di media sosial!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H