Mohon tunggu...
Mya Ya
Mya Ya Mohon Tunggu... -

dark side

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Adhem Ayem Seni Rupa Solo, Dinginnya Pendidikan Seni Rupa Kita

3 Juni 2010   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:46 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbincang tentang kondisi seni rupa kita, khususnya di Kota Solo, mungkin akan terasa sangat problematik. Betapa tidak, andaikata kita berbangga dengan sematan Solo Kota Budaya, sesungguhnya harus kita sadari bahwa peta seni rupa kita mendapatkan porsi perhatian yang masih sangat kurang. Institusi pendidikan tinggi (dan menengah) kesenian (maupun umum) sebagai pilar-pilar penyangga medan sosial seni rupa kita pun seakan berdiri dalam diam, bersifat ‘dingin' terhadap wacana kesenian (bahkan) di institusi masing-masing. Terlebih jika dipersilahkan untuk menggerakkan laju seni rupa dalam lingkup yang lebih luas, senyatanya seni rupa di kota Solo masih adem ayem saja. Sesungguhnya apa yang sedang terjadi dengan pendidikan seni rupa kita, sehingga gaungnya pun hanya sebatas ruang kelas dan kurikulum yang cenderung sama dan literer dari tahun ke tahun? Wacana pemikiran hanya membeku dalam buku-buku baku? Dimanakah kemudian gaung ratusan mahasiswa dan para sarjana lulusannya?

Menyoal tentang pendidikan seni rupa kita sungguhlah kita akan dihadapkan pada permasalahan dilematis dimana institusi pendidikan seni kita cenderung birokratis, dan menyibukkan dirinya dalam urusan administratif, hingga akhirnya membuat dirinya keserimpet dalam liku brokrasi itu dan akhirnya membeku. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya perhatian terhadap konservasi sumberdaya kesenian yakni upaya untuk melindungi, memelihara khasanah yang ada disekitarnya. Jika institusi pendidikan seni tidak mengindahkan hal konservasi, bagaimana mungkin mereka mampu melakukan eksplorasi, eksperimentasi dan pembaharuan? Apakah penelitian - penelitian seni kita hanya "bergonta-ganti sampul" saja setiap tahunnya? Hingga pada akhirnya, kegiatan administratif yang dilakukan pun tidak mampu menganalisa paradigmanya sendiri sebagai sebuah tolak ukur perkembangan kesenian dalam lingkup yang lebih luas. Apakah keberhasilan institusi pendidikan seni kita masih sebatas pada besarnya jumlah peminat dan mahasiswanya saja?

Kurangnya dialektika kreativa yang terbangun di lingkungan akademisi menjadikan kurikulum yang diajarkan pun menjadi usang, dan terkesan kurang mengakomodir paradigma estetika berikut praktek-praktek kesenian yang sedang berkembang dalam ranah seni rupa kontemporer kita. Sungguh sangat ironis andaikata kita melihat sekian ratus mahasiswa itu hanya terbelenggu pada bangku-bangku teori lama dan praktek-praktek kesenian yang (masih) konvensional dan terkesan enggan untuk mengaktualisasikan diri dalam ranah wacana maupun penciptaan karya lebih uptodate. Sungguh sebuah modal intelektualitas yang sangat disayangkan, terabaikan begitu saja.

Padahal sejatinya setiap individu yang ‘meniatkan' dirinya memasuki akademi seni, berharap dapat mengasah apa yang disebut Piere Bourdie sebagai modal kultural (cultural capital ) yang dimiliki. Dalam perspektif Piere Bourdie, modal kultural itu meliputi pendidikan, intelektualitas, keterampilan, dan keahlian. Dengan modal kultural inilah sesungguhnya akan lahir manusia-manusia yang mempunyai daya pikir progresif untuk melahirkan sebuah pemikiran maupun melahirkan karya seni yang menggugah. Sesungguhnya institusi pendidikan seni merupakan muara bagi modal kultural ini. Mahasiswa mendapatkan wacana, pengetahuan dan keahlian sebagai modal kultural dalam menciptakan sebuah karya seni. Logikanya andaikata modal kultural ini terpenuhi dengan baik, maka akan tumbuh suasana intelektualitas yang progresif dan kritis, sekaligus lahir karya-karya seni yang menggugah dan apresiatif. Namun apa yang terjadi saat ini, dunia seni rupa kita senyap dari kontroversi, para akademisi hanya melahirkan karya-karya yang ‘tertib'dari pola pikir yang konservatif pula. Institusi pendidikan seni kita seakan bermain ‘aman' dan berpuas diri dalam zona yang nyaman (comfort zone). Lalu dimanakah kita akan mencari progresifitas pemikiran dan gerak kesenian kita, gerak seni rupa kota kita?

Sudah kita pahami bersama bahwa dengan latar belakang dan modal kultural yang beragam, meminta konsekuensi logis bahwa kompetensi pedagogis di institusi pendidikan kita tidak dapat semuanya terkomunikasikan dengan baik. Namun sekali lagi menggunakan perspektif Piere Bourdie tentang institusi pendidikan sebagai medan akumulasi ‘modal', maka hal ini sangat berkaitan dengan habitus. Habitus adalah hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidaklah harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan kedalam suatu kemampuan yangkelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan social tertentu. Konsep habitus ini menjelaskan bahwa keterampilan individu dalam memperoleh kekuasaan dalam sebuah medan sosial ditentukan oleh lingkungannya. Dalam hal ini dapat kita asosiasikan dengan lingkungan akademisnya.

Institusi pendidikan seni kita sudah saatnya membangun pola pendidikannya dalam suatu sistem habitus yang kokoh, sehingga mampu menciptakan ruang ilmiah yang kritis dan progresif dalam wilayah kreatifnya. Sebuah sistem yang kuat, yang tidak akan mudah digoyang dengan permakluman dalih rentang waktu studi yang relatif pendek. Dengannya akan terbangun sebuah ruang yang kondusif bagi dialektika kreativa yang akan berujung pada ekselensia seni rupa kita. Maka dapat dipastikan pula bahwa produk-produk intelektualitas dari sistem ini akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang progresif dan menggugah. Persoalan kemudian bahwa sistem ini membutuhkan ahli-ahli yang memungkinkan sistem ini bekerja dengan baik, adalah sebuah pekerjaan rumah bagi kita untuk menakar kembali "kontekstualitas" kemampuan diri kita akan paradigma kesenian yang sedang berkembang. Seandainya hal ini luput dari diri kita sebagai akademisi dan intelektual seni, maka dapatlah kita andaikan, institusi pendidikan seni ibarat kulkas yang isinya tampak penuh dan segar, namun sesungguhnya manipulatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun