Mohon tunggu...
Cipto Widodo
Cipto Widodo Mohon Tunggu... -

Menulis apa yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Bagaimana Mesin Transfer Pemain Bekerja

20 Juli 2013   13:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:17 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Isu apa yang menarik di tengah jeda kompetisi seperti sekarang ini? Transfer. Saat lapangan mulai kosong, pemain berlibur menikmati harinya, maka halaman olahraga berubah seperti halaman gosip. Isinya, apalagi kalau bukan masalah si A ke sini, si B ingin ke sana. Si C harganya segini, dan si D diincar klub E,F, dan G.


Lalu bagaimana sistem ini bekerja. Majalah Four Four Two pernah menulis bagaimana transfer itu tidak hanya bicara tentang nilai kontrak dan kemudian pemain tanda tangan. Banyak tangan yang bekerja, mulai agen, media, pemain, jejaring sosial, pelatih, suporter, pemilik klub dan bahkan uang pelicin.
Dimulai dari agen. Banyak berpikir agen hanya sekadar menjadi jembatan antara pemain dengan pihak klub. Sistemnya menjadi terkesan sederhana, Ada klub ingin pemainnya, agen kemudian menyampaikan ke pemain, setelah oke, agen berbicara dengan klub pemain yang sekarang, deal, dan kesepakatan terjadi.
Ternyata, tidak semudah itu. Terutama, kontrak yang melibatkan pemain besar, klub besar dan nilai kontrak besar. Dalam kasus seperti ini, agen bahkan bisa disebut sebagai sutradara utama dalam skenario yang disusun sehingga saga transfer terjadi.
Kalau sudah begini, maka semua bisa menjadi aktor dari sekenario yang disusun sang agen. Diawali dari agen yang mengembuskan isu pemainnya ingin pindah ke klub E, F, dan G tertarik merekutnya. Isu ini akan disampaikan pada wartawan olahraga. Si wartawan ini kemudian mengolah isu dengan segala bumbunya.
Selanjutnya, pemain akan memainkan peran dengan pura-pura mulai ogah latihan. Dalam satu case, pemain diminta menjalani latihan terpisah dari rekan-rekannya, kemudian fotografer sudah siap untuk mengabadikan momen itu. Selanjutnya, cerita bergulir dan wartawan kemudian kembali mengolahnya menjadi sebuah berita. Mulai durasi kontrak sudah habis, pemain merasa tidak betah dan ingin mencari tantangan baru, dan semua yang memperkuat berita tentang kenapa pemain ingin pergi.
Cukup? Belum. Pemain biasanya memilih tidak berbicara, atau kalau bicara pada media cenderung samar, kiasan, atau kalimat misterius yang bercabang. Kalau sudah begini, wartawan memilih melakukan konfirmasi ke rekan-rekan pemain. Bisa jadi, rekan dari pemain sudah menjadi bagian dari skenario yang disusun.
Kalau sudah begini, direktur olahraga atau pemilik klub akan memanggil pemainnya untuk melakukan pembicaraan. Bisa nego ulang kontrak baru atau membiarkan pemainnya pindah ke klub yang menawarkan gaji besar.
Kalau sudah begini, tinggal tiga kemungkinan; klub mengizinkan pemain pergi, menahan dengan nilai kontrak baru, atau klub bertahan dengan kondisi sekarang dan menunggu durasi kontrak lama habis. Jika yang terjadi adalah opsi ketiga, skenario akan berlanjut.
Kali ini, melibatkan suporter. Caranya, memunculkan gerakan atau suara yang mendukung agar pemain dipertahankan atau dilepas. Jika harus dipertahankan, suara yang didengungkan adalah terkait besaran kontribusi pemain selama memperkuat tim. Tekanan ini, biasanya memaksa klub akhirnya bersedia memenuhi permintaan pemain.
Jika yang disasar terjadinya transfer, isu yang didengungkan suporter lebih pada bagaimana pemain memang minim kontribusi, atau sudah selayaknya diberikan kesempatan meniti tantangan baru di klub lain yang lebih menjanjikan. Termasuk, misalnya diberi kesempatan bermain di level Liga Champions, bila klub lawas pemain tidak ada di Eropa.
Setelah semua skenario berjalan, transaksi mulai melibatkan agen, klub bahkan manajer. Di Liga Primer sempat mencuat adanya suap dalam deal kontrak pemain. Pelatih seperti Sam Allardyce terlibat di dalam suap untuk memuluskan kontrak. Caranya, sang agen memberikan fee pada pelatih atau keluarga pelatih. Bisa juga, klub yang merasa diuntungkan akan memberikan fee pada agen. Meski FIFA mengatur bahwa agen hanya mewakili satu pihak. Toh, agen bisa mendapatkan fee dari pemain dan klub.
DI INDONESIA
Khusus transfer di Indonesia, prosesnya tidak serumit Eropa. Meski menggunakan agen, biasanya, pembicaraan hanya melibatkan agen, pelatih dan internal klub. Peran suporter dan media tidak sebesar di Eropa. Apalagi, kecenderungan wartawan kita, lebih percaya pada statmen pelatih, dan pemilik klub. Sehingga, cenderung lebih gampang.
Memang semua proses tak selalu berjalan sesuai rencana. Proses juga tidak selalu seperti itu. Tapi, kurang lebih seperti itu. Ini hanya gambaran.
*tulisan lain di airsemangat.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun