Mohon tunggu...
Cipto Widodo
Cipto Widodo Mohon Tunggu... -

Menulis apa yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Persebaya yang Saya Kenal (1)

25 Oktober 2013   10:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:03 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Ini mungkin bagian dari romantisme saat menjadi jurnalis di salah satu media di Surabaya. Romantisme yang muncul jelang laga Indonesia Red vs United Red di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Rabu (23/10).




Tepatnya saat akhirnya bisa menyapa “kawan lama” Bejo Sugiantoro, Kurniawan Dwi Julianto (Kurus), dan tentu saja Anang Makruf. Merekalah Part of Champions Persebaya saat ditukangi Jacksen F Tiago.


Keinginan merangkai kembali tulisan soal Persebaya makin besar ketika saya menulis status di facebook soal reuni ini dan kemudian memunculkan beberapa komen. Komen yang justru tidak saya duga, karena ada pertanyaan “Persebaya 1927 ya?" Komen ini kemudian disambar follower lainnya; "Persebaya itu lahir 1927 bukan 2010”.


Menurut saya, sebenarnya tidak terlalu penting embel-embel angka di belakang nama Persebaya. Terlalu politis untuk berbicara siapa sebenarnya pewaris dari gen murni Persebaya yang mengoleksi 5 gelar juara di era Perserikatan, 2 gelar juara Divisi Utama di era Liga Indonesia dan dua gelar Divisi I?


Apakah darah hijau Persebaya milik "Persebaya 1927" yang diisi produk-produk kompetisi internal sekaligus sempat dianggap sebagai simbol perlawanan saat era NH. Atau Persebaya ISL yang kemudian melahirkan istilah tim Persikubar.


Karena itu sebenarnya tidak menarik menulis perdebatan dari produk sepak bola Indonesia yang abnormal. Yang muncul hanya klaim dan berdasar siapa yang bicara dan punya kuasa.


Manajemen Persebaya 1927 yang disebut sebagai real Persebaya dengan gen Bajul Ijo dengan dukungan luar biasa dari Bonek justru terkesan tidak melakukan apa-apa. Mereka sendiri sibuk main umpet-umpetan menyelesaikan persoalan gaji pemain.


Padahal, jika memang mereka memiliki bukti valid, hitam di atas putih, akta notaris bahwa mereka pemilik sah nama Persebaya, harusnya manajemen Persebaya 1927 giat menggalang aksi dengan menempuh jalur hukum seperti diakukan Persija Jakarta diketuai Ferry Paulus yang kemudian dimenangkan pengadilan.


Jagan biarkan dukungan Bonek yang besar sia-sia karena manajemen tak melakukan sesuatu untuk menyelematkan klaim kebenaran yang didengungkan.


Kalau kemudian Persebaya 1927 yang dibela tidak ada lagi, jangan salahkan mereka jika kemudian mendukung Persebaya ISL yang memiliki “legitimasi” dari federasi sangat kuat. Apalagi mengutip pernyataan salah satu dedengkot Persebaya ISL, pada akhirnyaBonek yang semula tidak suka dengan Persebaya yang katanya versi Persikubar akan datang ke stadion karena memang tidak memiliki opsi lain. “Kalau kami mendatangkan pemain bintang ke stadion dan mereka tak memiliki tontotan, apa mereka tidak datang ke stadion,” katanya.


Pun dengan pemain Persebaya 1927. Jika kemudian Persebaya yang mereka bela benar-benar terlikuidasi jangan salahkan jika kemudian mereka pindah klub lain termasuk ke Persebaya ISL. Tidak peduli apakah dia Taufiq, Andik Vermansyah, Evan Dimas, atau (berat menyebutnya) Mat Halil. Khusus nama terakhir saya beri embel-embel berat, karena jika kemudian Halil pindah ke luar Persebaya, maka itu adalah kali pertama sepanjang kariernya sebagai pemain sepak bola.


Jadi? Sudahlah. Saya tidak terlalu tahu dan tak mau terjebak dalam urusan yang dilahirkan dari produk politis. Yang saya tahu hanya PERSEBAYA yang menjadi juara Liga Indonesia 2004. Di mana saya pernah terlibat aktif sebagai jurnalis selama satu musim. Di mana saya pernah ikut menjadi saksi mata perjuangan para pemain saat laga tandang atau kandang. Dari Papua sampai Sumatera. Dari Bonatang sampai Semarang.


Buat Anda yang membaca tulisan ini berharap saya memilih Persebaya yang asli; maaf tidak akan ada ditulisan ini. Tapi, khusus untuk pendukung Persebaya, boleh tanya hati nurani, cium aroma wangi dari tetesan gelar yang pernah dihadirkan. Rasakan pula desir setiap perjuangan para pemain yang Anda lihat dan rasakan dari pinggir lapangan. Dengan itu, percayalah kalian akan mendapat jawabannya. Karena semua itu tak bisa dibeli dengan segepok uang.
---
Kembali ke romantisme bertemu Anang Makruf, Bejo Sugiantoro, Kurniawan Dwi Yulianto dan Hendro Kartiko.... karena ini romantisme berdasar memori apa yang tertulis adalah apa yang saya ingat, dengar dan rasakan selama satu musim di Persebaya. Termasuk ada beberapa kabar yang tertulis di sini belum saya konfirmasi ke sumber pertama.
--
Musim 2004 menjadi titik balik Persebaya setelah mereka sempat terjerembab ke Divisi Utama. Di musim ini, Persebaya kembali memiliki dream team di lapangan atau juga di luar lapangan. Operator di lapangan diperkuat pemain bintang dan anak yang sempat hilang. Di luar lapangan ada tokoh besar dengan segudang pengalaman.


Pada saat itu, manajemen Persebaya melakukan belanja luar biasa besar. merka tidak saja menghadirkan Kurniawan Dwi Yulianto dan Hendro Kartiko dengan segala track record-nya. Persebaya juga memulangkan Bejo Sugiantoro, Uston Nawawi dan Anang Ma’ruf yang sempat pergi. Beju-Uston ke PSPS yang akhirnya terdegradasi dan Anang sempat merumput bersama Persija Jakarta dan Deltras Sidoarjo.


Kekuatan ini kemudian diramu pelatih yang diguncang luar-dalam di awal kepelatihan termasuk sempat diragukan kemampuan serta lisensi kepelatihannya, Jacksen F Tiago. (Khusus Jacksen saya sudah pernah menulisnya di blog ini.)


Sementara di balik meja, wajah baru masuk. Bambang DH menjadi ketua umum setelah terpilih sebagai wali kota Surabaya, Saleh Ismail Mukadar yang saat itu dianggap tidak terlalu tahu bola menjadi manajer tim, dan operator dari segala operator, (Alm) H Susanto (Santo) menjadi ketua harian.


Figur Santo memang memiliki peran penting. Jika seorang pemain, Santo bisa dikatakan sebagai gelandang jangkar dilapangan. Dia sebagai stabilisator tim, tapi juga perusak permainan tim lawan. Dia yang meredam semua keraguan pada kapasitas tim dan Jacksen, tapi juga dia yang memerankan perang urat terhadap tim lawan.


Ada beberapa istilah yang tidak bisa saya lupakan dari almarhum H Santo. Istilah yang kemudian populer tapi juga menjadi bukti betapa taktisnya dia memerankan ritme sebagai perusak tim lawan. Dua mantra yang sangat saya ingat adalah “tali rafia, tali sepatu. Sesama mafia dilarang saling mengganggu”. Atau juga “kalau tidak bisa dibina ya dibinaskan”
Almarhum juga yang kemudian bisa meredam Bonek agar menerima Hendro bergabung ke Persebaya. Kehadiran Hendro memang memunculkan resistensi pada Bonek. Gara-garanya, Hendro sempat mendapat label “haram” masuk Surabaya karena dianggap menghianati Persebaya. Gara-garanya, Hendro dikabarkan menolak memperkuat Persebaya dan memilih Arema. Pilihan ini yang mengusik Bonek. Tapi kelihaian almarhum yang membuat Hendro akhirnya diterima dan menjadi bagian dari part of champions Persebaya. (bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun