Mohon tunggu...
Cipto Widodo
Cipto Widodo Mohon Tunggu... -

Menulis apa yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Kenapa Sepak Bola Afrika Lebih Baik dari Kita?

18 Juli 2013   11:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:23 1343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah ramai soal pembinaan usia muda di Indonesia, tulisan dari Afrika Selatan tiga tahun lalu ini rasanya bisa jadi refrensi bagaimana mengembangkan sepak bola. Meski negara mereka sering jadi tertawaan, dalam sepak bola harusnya kita belajar.

-- pemain Ajax Capetown sedang melakukan latihan. foto dok pribadi Benua Afrika, termasuk Afrika Selatan menjadi salah satu penyumbang terbesar pemain ke penjuru dunia, setelah Brasil. Kekuatan fisik, etos kerja sekaligus keliatan tubuh mereka menjadi modal menaklukkan Eropa dan belahan dunia lain. Padahal, seperti Brasil, beberapa pemain mereka lahir dari kalangan yang bisa dikatakan pinggiran. sepak bola lahir di daerah tertinggal. Kawasan kulit berwarna yang sebagian besar dikuasi gangster, di mana kriminalitas, minuman keras, dan kekerasan lebih dominan. Fasilitas standar kesehatan seperti lingkungan dan air tidak menjadi pertimbangan utama. Hahasa Inggris dan pendidikan tak terlalu penting. Mereka lebih bangga menggunakan bahasa Africans dan Xhosa. Hannover Park, adalah contohnya. Salah satu daerah paling berbahaya di Cape Town ini telah berhasil melahirkan salah satu bintang besar Afrika Selatan Benni McCarthy. Pemain yang pernah memenangkan Liga Champions bersama Porto ini memulai kehidupannya dari kawasan tertinggal. Belajar sepak bola di depan rumah, dan di jalanan yang berpasir dan berbatu. Atau juga Steven Pienaar yang lahir di salah satu kawasan berbahaya di Johannesburg, sebelum akhirnya meniti karier bersama Ajax Cape Town. Tapi karier awalnya dimulai di Athlone Stadium, yang tempatnya tidak jauh dari Hannover Park. Sepak bola Afsel memang mendapat tempatnya di rumah susun, di jalanan, di lapangan bergelombang, di halapan depan rumah yang sehari-harinya dipadati jemuran seperti pernah dilakukan Benni saat berusia 10 tahun. Meski begitu, kompetisi mereka terbilang rapi. Klub mereka tidak terlalu rakus memburu uang. Tiket stadion rata-rata 10 rand, dengan kurs sekarang di bawah Rp15 ribu. Hasilnya beberapa klub berhasil mengirim pemain ke Eropa. Salah satu klub sukses di Afrika Selatan adalah Ajax Cape Town. Klub ini baru berdiri di 1999, yang merupakan gabungan dari klub lokal Seven Star dan Cape Town Spurs. Saat berkunjung ke sana, tim yang pernah diasuh Fope de Haan ini tengah melakukan uji coba dengan tetanggany Vasco da Gamma yang juga sama-sama bermain di Premier Division dari Premier Soccer League (PSL). Ajax menarik perhatian karena klub ini memiliki afiliasi dengan klub Ajax Amsterdam dari Belanda. Mereka juga menelorkan beberapa pemain bintang yang sukses merumput di Eropa. Sebut saja Steven Pienaar di Fulham dan John Obi Mikel bersama Chelsea. Tapi, bukan kebesaran itu yang menarik. Tapi apa yang dilakukan mereka dalam mengemban misi sosial buat sepak bola Afrika Selatan. Bagaimana pengelola Ajax Cape Town tidak menjadikan nama mereka sebagai lahan bisnis mengeruk uang, tapi menjadikan klub ini sebagai media kegiatan sosial melalui sepak bola. Mark Klup, Ketua Kelompok Suporter Ajax Cape Town, klub ini tidak memungut biaya sepeser pun untuk pemain junior. “Jika mereka tidak punya baju kami belikan, tidak punya sepatu kami carikan, dan jika tidak ada uang untuk transportasi kami berikan,” ujarnya. Ajax, lanjutnya, mendapat sponsor dari perusahan telekomunikasi cukup besar. Dana itu yang digunakan mengembangkan sepak bola junior bukan untuk tim senior. Hasilnya, Ajax banyak menyumbang pemain untuk timnas Afrika Selatan di level U-21, U-23 dan senior. “Kami juga memberikan guru les buat mereka. Yang ingin belajar matematika, bahasa inggris. Kalau tidak mau belajar, mereka kami keluarkan. Pendidikan itu penting buat mereka setelah pension,” jelasnya. Sekarang bagaimana dengan di Indonesia. Sumber pemain sebenarnya tak beda jauh. Tidak semua pemain berasal dari kalangan berada. Yang membedakan adalah bagaimana para pemain itu dilatih, di didik dalam kultur sepak bola. Mereka besar di lapangan seperti kubangan saat hujan, dan berdebu ketika musim panas. Pengajaranya, tak semua memiliki lisensi kepelatihan sehingga kualifikasi dan kemampuannya agak meragukan. Metode pelatihan yang digunakan sebagian masih berdasar pengalaman mereka ketika menjadi pemain, termasuk hanya pemain amatir sekelas tarkam. Pendidikan? Mereka mungkin hanya lepas SMA atau bahkan SMP. Sementara klub yang memiliki fasilitas lebih dengan embel-embel kurikulum sepak bola Eropa pasti akan memungut biaya mencapai jutaan rupiah. Ada SSB yang memberi tarif Rp 1,5 juta sebagai biaya pendaftaran. Biaya pendidikannya beragam mulai dari Rp2,2 juta latihan satu minggu sekali dan Rp3,3 juta untuk dua minggu sekali per termin. Kalau sudah begini, bisa dikira-kira sendiri bagaimana masa depan sepak bola kita. *tulisan pernah dimuat di kORAN SINDO dengan sedikit tambahan. ** tulisan lain di airsemangat.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun