Ilmu negara mempelajari berbagai sistem pemerintahan, termasuk negara demokrasi, dan menganalisis struktur, fungsi, dan perbedaan sistem tersebutyang kemudian mengembangkan beberapa teori-teori terkait demokrasi, seperti partisipasi politik, pemilu, pembagian kekuasaan, dan perlindungan hak asasi manusia. Hal tersebut berguna sebagai cara tentang bagaimana kita memahami bagaimana prinsip demokrasi diterapkan dalam praktik politik seperti keterwakilan masyarakat, kebebasan berekspresi, perlindungan kelompok minoritas, dan supremasi hukum.
Selain itu hubungan ilmu negara dengan demokrasi juga mempelajari proses politik yang terjadi dalam konteks demokrasi, termasuk pengambilan kebijakan, dinamika parlemen, konflik politik, dan peran lembaga negara disisi lain juga mencakup analisis kelebihan dan kelemahan lembaga demokrasi, serta kritik dan saran untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas demokrasi  suatu negara.
Sebagai bagian dari komponen bangsa, kaum intlektual (baca: mahasiswa) tidak dapat melepaskan diri dan menghindar dari politik. Sebab hakekat manusia termasuk mahasiswa adalah zoon politicon atau mahluk politik. Pilkada sebagai pengajawantahan sistem demokrasi langsung memberikan ruang yang luas bagi rakyat khususnya mahasiswa untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya secara langsung.
Menurut Coser (1965), kaum intelektual adalah orang-orang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu berpikir soal alternatif terbaik dari segala hal yang oleh masyarakat sudah dianggap baik. Hal Ini dipertegas oleh Shils (1972) yang memandang kaum intelektual selalu mencari kebenaran yang batasannya tidak berujung.
Dari pendapat tersebut, kaum Intelektual adalah pemikir-pemikir yang tidak saja harus menghasilkan "sebuah" pemikiran tapi juga dapat merumuskan dan mengarahkan serta memberikan contoh pelaksanaan dari sosialisasinya di tengah masyarakat agar segala persoalan-persoalan kehidupan baik pribadi, masyarakat, bangsa dan negara dapat terpecahkan, serta dapat menjawab tantangan-tantangan kehidupan kehidupan di masa yang akan datang.
Paling tidak, ada tiga hal penting yang mendasari kenapa kaum intlektual atau mahasiswa harus berperan. Pertama, Mahasiswa sebagai "Agent of Change", Peran "merubah" inilah yang menjadi fungsi "change maker" seorang intelektual dapat berjalan dengan baik yang dimulai dari dirinya kemudian dimanfaatkan dan disebarkan kepada masyarakat.
Kemudian yang kedua, Mahasiswa merupakan "Iron Stock", dimana mahasiswa itu merupakan aset, cadangan, serta harapan bangsa untuk masa depan. Sehingga, mahasiswa ini diharapkan mampu menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya akan  menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Mahasiswa sebagai insan akademis yang selalu berpikir ilmiah dalam mencari kebenaran haruslah mampu menjadi "role model" dalam berpolitik dan kepemimpinan.
Ketiga, Mahasiswa merupakan "Guardian of Value", artinya mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Nilai yang harus dijaga tersebut adalah suatu kebenaran yang bersifat mutlak, dan tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Nilai itu bukanlah hasil dari pragmatisme politik, kerakusan hati yang kotor maupun siasat jahat, nilai itu haruslah bersumber dari suatu dzat yang Maha Benar dan Maha Mengetahui.
Sehubungan dengan ini, Soe Hok Gie pernah mengingatkan, "hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. tetapi aku memilih untuk mardeka". Begitulah seharusnya mahasiswa, mampu berdiri sendiri dalam posisi tawar, tidak mempunyai kepentingan dan menguntungkan diri sendiri, tetapi tetap jeli dan kritis pada politik.
Dengan demikian, Kaum Intelektual senantiasa dituntut untuk mampu tanggap dalam menyikapi situasi kebangsaan, terutama atas situasi akhir-akhir ini yang rawan potensi konflik dan disintegrasi. Intelektual sejatinya senantiasa memiliki visi untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik, dan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan kelompoknya sendiri, apalagi sekadar material reward (keuntungan materi). Karenanya, komitmen kebangsaan adalah sikap yang harus dipegang teguh secara konsisten oleh para kaum intlektual saat ini.
Ungkapan kaum intelektual sebagai "agen of change" yang mampu membawa bangsa Indonesia ke budaya politik beradab bukanlah sebuah hal yang utopis. Sejarah peradaban dunia ini telah membuktikan bahwa, di tangan kaum intlektual lah perubahan-perubahan besar terjadi. Dari zaman Nabi, zaman sahabat, zaman kerajaan, zaman kemerdekaan hingga reformasi, pemudalah yang selalu menjadi garda terdepan dalam setiap perubahan kondisi bangsa ini.
Kaum intelektual memiliki peran penting dalam perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini. Mereka dapat membentuk opini, memberikan kritik konstruktif, mengawasi kebijakan pemerintah, dan mendukung proses demokratisasi. Selain itu, mereka juga dapat memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, meningkatkan pemahaman tentang prinsip-prinsip demokrasi, hak-hak dan kewajiban warga negara, serta pentingnya partisipasi aktif dalam proses politik. Kaum intelektual juga dapat berperan dalam pengembangan kebijakan dan advokasi hak asasi manusia. Sejarah pergerakan nasional Indonesia menunjukkan bahwa kaum intelektual memainkan peran penting dalam membangun demokrasi di Indonesia. Dalam era reformasi, Pengurus Besar HMI Periode 1997-1999 melakukan upaya dalam membangun iklim demokratis di Indonesia. Komitmen kebangsaan adalah sikap yang harus dipegang teguh secara konsisten oleh para kaum intelektual saat ini
kelompok intelektual bisa berada di lingkaran kekuasaan, misalnya saja dalam pemikiran Karl Marx, mereka berada di tatanan superstruktur dalam konteks masyarakat kapitalis yang berdekatan langsung dengan kelompok penguasa (pemilik modal) dan berperan aktif membentuk kesadaran kolektif sosial, bahkan melakukan kontrol sosial jika terjadi konflik.
Tidak hanya itu, dalam suatu organisasi tertentu, kelompok intelektual juga merupakan kelompok elite penguasa. Hal ini senada dengan argumen Michel Foucault yang mengatakan bahwa pengetahuan (knowledge) berdampingan dengan kekuasaan (power).
Dengan bentuk pemerintahan demokrasi, rakyat memegang peranan penting dalam menentukan arah pembangunan bangsa sebagaiamana menurut Abraham Lincoln "Demokrasi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat". Hal ini akan terwujud apabila masyarakat menyadarinya dan memahaminya politik dengan baik dan benar. Namun pada kenyataanya masih banyak masyarakat termasuk kaum intelektual yang merupakan tonggak kemajuan suatu bangsa tidak menyadari bahkan cenderung mengabaikannya.