Mohon tunggu...
Airin Salsa Ramadhana
Airin Salsa Ramadhana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Aktif Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga 2024

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengaruh FOMO (Fear Of Missing Out) terhadap Generasi Millenial dan Z di Era Digital

26 Desember 2024   20:10 Diperbarui: 26 Desember 2024   20:09 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh di era digital yang serba cepat dan terhubung. Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan mereka, memengaruhi cara mereka berkomunikasi, berinteraksi, dan bahkan memandang diri sendiri. Di tengah konektivitas yang tinggi ini, muncul sebuah fenomena psikologis yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO). FOMO didefinisikan sebagai perasaan khawatir dan takut ketinggalan informasi, pengalaman, atau tren terbaru yang sedang populer di kalangan teman sebaya atau di media sosial (Przybylski et al., 2013). Artikel ini akan membahas bagaimana budaya FOMO memengaruhi cara Generasi Z bersosialisasi dan berinteraksi di era digital.

Media sosial menyediakan platform bagi individu untuk berbagi momen-momen penting dalam hidup mereka, mulai dari liburan, pencapaian, hingga kegiatan sehari-hari. Bagi Generasi Z, media sosial bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga representasi diri dan validasi sosial. Ketika seseorang melihat unggahan teman-temannya yang tampak bahagia dan sukses, mereka mungkin merasa cemas dan khawatir bahwa mereka melewatkan sesuatu yang penting. Perasaan ini memicu FOMO, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk terus-menerus memeriksa media sosial, menciptakan sebuah lingkaran yang sulit diputus (Beyens et al., 2016).

FOMO dapat memengaruhi interaksi sosial Generasi Z dalam berbagai cara:
-Perbandingan Sosial:
FOMO mendorong individu untuk terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial. Hal ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri, tidak puas dengan diri sendiri, dan bahkan depresi (Primack et al., 2017).
-Interaksi Superficial:
Karena terlalu fokus pada penampilan di media sosial, Generasi Z mungkin cenderung mengutamakan kuantitas daripada kualitas dalam interaksi sosial mereka. Hubungan yang terjalin bisa menjadi dangkal dan kurang bermakna (Turkle, 2011).
-Kecemasan Sosial:
FOMO dapat memicu kecemasan sosial, di mana individu merasa takut dinilai negatif oleh orang lain. Hal ini dapat membuat mereka enggan untuk 

berinteraksi secara langsung dan lebih memilih interaksi daring yang dianggap lebih aman.
-Ketergantungan pada Validasi Daring:
Generasi Z yang mengalami FOMO cenderung mencari validasi dari orang lain melalui likes, komentar, dan shares di media sosial. Hal ini dapat menciptakan ketergantungan pada pengakuan eksternal dan mengurangi kepercayaan diri.

Meskipun FOMO dapat memiliki dampak negatif, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menguranginya:

-Membatasi Penggunaan Media Sosial:
Mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial dapat membantu mengurangi paparan terhadap konten yang memicu FOMO.
-Fokus pada Pengalaman Nyata:
Alih-alih terpaku pada apa yang orang lain lakukan di media sosial, cobalah untuk lebih fokus pada pengalaman dan interaksi di dunia nyata.
-Membangun Kesadaran Diri:
Meningkatkan kesadaran diri dan menerima diri sendiri apa adanya dapat membantu mengurangi kebutuhan akan validasi eksternal.
-Berinteraksi Secara Langsung:
Meluangkan waktu untuk berinteraksi secara langsung dengan teman dan keluarga dapat memperkuat hubungan dan mengurangi perasaan terisolasi.

FOMO merupakan fenomena psikologis yang signifikan di era digital dan memiliki dampak yang cukup besar terhadap cara Generasi Z bersosialisasi. Penting bagi individu, keluarga, dan masyarakat untuk memahami dampak negatif FOMO dan mengambil langkah-langkah untuk menguranginya. Dengan memprioritaskan interaksi yang bermakna, membangun kesadaran diri, dan membatasi penggunaan media sosial, Generasi Z dapat membangun hubungan sosial yang lebih sehat dan memuaskan.

Daftar Pustaka

*   Beyens, I., Pouwels, J. L., van Driel, I. I., Keijsers, L., & Valkenburg, P. M. (2016). The effect of social media on well-being differs from adolescent to adolescent. *Journal of Youth and Adolescence*, *45*(11), 2313-2331.
*   Primack, B. A., Shensa, A., Sidani, J. E., Whaite, E. O., Lin, L. Y., Rosen, D., ... & Miller, E. (2017). Social media use and perceived social isolation among young adults in the US. *American journal of preventive medicine*, *53*(1), 1-8.
*   Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. *Computers in human behavior*, *29*(4), 1841-1848.
*   Turkle, S. (2011). *Alone together: Why we expect more from technology and less from each other*. Basic books.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun