Diawali masa penjajahan Belanda, ketika pemerintahan belanda di Indonesia yang dipimpin oleh Johannes Van Den Bosch mengalami defisit anggaran yang digunakan untuk pembiayaan militer serta untuk pembayaran hutang akibat perang Diponegoro (1825-1830). Setelah pengangkatan dirinya sebagai Gubernur jendral di Indonesia, Van Den Bosch mengemban tugas berat untuk mengisi kembali kas pemerintahan yang kosong.Â
Maka dari itu, beliau memaksimalkan usaha nya untuk mengumpulkan dana dengan memfokuskan kebijaksanaannya dalam peningkatan produksi tanaman ekspor. Penduduk diwajibkan minimal 20% atau seperlima tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor yang laku di pasar eropa seperti tebu, nila, dan kopi.Â
Sedangkan untuk penduduk yang tidak memiliki tanah diwajibkan menyisihkan sebagian hari kerja nya selama 75 hari dalam setahun untuk bekerja bagi pemerintah. Hampir 10 tahun berjalan tanam paksa memberikan dampak positif bagi pemerintahan Belanda.Â
Uang kas yang tadinya kosong menjadi terpenuhi bahkan surplus, hutang terlunasi, bahkan Amsterdam sukses menjadi kota pusat perdagangan dunia. Namun hal tersebut menjadi ironis yang sangat memilukan bagi pribumi kita. Di mana para buruh tani yang pada masa itu bekerja bagi pemerintah hanya diberi upah kecil bahkan sampai tidak dibayar, tingkat kemiskinan yang kritis, serta wabah penyakit dan kelaparan dimana-mana. Bahkan tercatat total sekitar 100.000 nyawa menjadi bayaran atas diberlakukannya sistem tanam paksa.Â
Setelah tanam paksa banyak menuai protes dari berbagai kalangan di belanda, pada tahun 1860 tanam paksa tidak diberlakukan lagi. Alih-alih rakyat pribumi diperlakukan manusiawi, Kaum imperialisme mengganti Cultuurstelsel dengan perbudakan cara baru dengan mengadakan peraturan (Poenale Sanctie), untuk menjamin tersedianya tenaga murah bagi perkebunan-perkebunan.Â
Berjuta-juta buruh tani diikat kontrak yang berdasarkan pada "Ordonansi Kuli" dimana jika bekerja kurang keras sedikit saja buruh tani sudah dapat dihukum cambuk dengan rotan dalam arti ikatan tersebut adalah ketentuan hukunan bagi mereka yang menyalahi kontrak.Â
Di sinilah awal penderitaan buruh tani di tanah jawa. Para kuli kerap menjalani penyiksaan tak terperi kemanusiaan. Mereka disiksa di tempat terbuka supaya menimbulkan dampak jera kepada kuli-kuli lainnya. Tidak jarang kuli disekap tanpa makan minum, dicambuk, sampai diseret kuda dengan tangan terikat.Â
Banyak juga yang disiksa dan dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air sehingga seluruh tubuh membengkak, hingga ditusuk bagian bawah kukunya dengan pecahan bambu. Itu semua belum cukup memuaskan tuan kebun. Bahkan, kuli perempuan digosok kemaluannya dengan merica halus.Â
Namun dengan perlawanan rakyat, ditahun 1931 peraturan ini di hapuskan secara berangsur-angsur. Kaum kapitalis monopoli yang menguasai seluruh kehidupan ekonomi dan politik, berusaha mendapat untung sebesar-besarnya dengan jalan melakukan penghisapan yang kejam, membayar kaum buruh serendah-rendahnya, dan menguras kekayaan alam Indonesia. Keadaan ini membangkitkan kaum buruh untuk terus-menerus mengadakan perjuangan melawan kapitalis monopoli.
Setelah belanda mengalami kekalahan melawan jepang di Kalijati. Maka masa penjajahan Belanda telah berakhir. Pada perjanjian Kalijati Belanda menyerahkan Indonesia kepada kekaisaran Jepang. Di bawah penjajahan Jepang, segeralah kaum fasis Jepang mendirikan organisasi yang bermaksud mengerahkan tenaga manusia indonesia sebanyak-banyak untuk dikerja paksakan guna keperluan perang yang biasa kita sebut dengan (Romusha).Â
Perjuangan kaum buruh terus berlanjut, akibat sistem penindasan fasis yang diterima para kaum buruh. Hak berapat, mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan semua hak demokrasi ditiadakan. Kaum buruh harus bekerja keras dibawah ancaman bayonet dan pedang samurai tentara Jepang yang menjaga di pabrik-pabrik, kantor-kantor, perkebunan-perkebunan, dll.Â