Mohon tunggu...
Airani Listia
Airani Listia Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga dan Freelance Content Writer

Mantan pekerja yang sedang sibuk menjadi emak-emak masa kini. Hobi menyebarkan kebaikan dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ini Alasan Langgengnya Kekerasan di Sekolah, Darurat Pendidikan Karakter!

1 Oktober 2023   05:17 Diperbarui: 2 Oktober 2023   05:30 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Darurat pendidikan karakter! Dunia pendidikan Indonesia kini makin marak dengan kekerasan di sekolah. Banyak video kekerasan oleh siswa yang viral di media sosial dilakukan pada teman atau gurunya sendiri. Hal ini sangat memprihatinkan bagi masyarakat Indonesia.

Tiga kasus kekerasan yang paling menyita sorotan publik yaitu kasus siswi SD Gresik, Jawa Timur yang dicolok tusuk bakso pada bagian mata oleh kakak kelasnya hingga buta, guru yang dibacok siswa di Demak saat membagikan soal UTS di kelas. Lalu, kasus penganiayaan dan kekerasan oleh siswa SMP di Cilacap. Semua kasus tersebut dilakukan oleh seorang anak atau siswa di sekolah.

Berbicara mengenai data, CNN Indonesia (29/05/2023) menguak fakta bahwa sebanyak 251 anak berusia 6-12 tahun menjadi korban kekerasan di sekolah pada Januari-April 2023. Kasus tersebut terjadi di Sekolah Dasar (SD), terdiri dari 142 anak perempuan dan 109 anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan.

Pada usia 13-17 tahun, total 208 anak menjadi korban kekerasan, yaitu 106 korban anak perempuan dan 102 korban anak laki-laki. Korban berasal dari jenis kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, penelantaran, dan kekerasan lainnya. Data tersebut merupakan informasi dari Biro Data dan Informasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Membaca fakta, berita, menonton video viral yang terus mengalir deras mengenai kekerasan oleh siswa selama beberapa pekan terakhir, bagaimana hati tidak bergetar dan ikut menangis?

Anak yang seharusnya masih lucu dengan segala aktivitasnya, sekarang mampu melakukan tindak kekerasan yang merugikan diri sendiri dan banyak pihak. Anak yang seharusnya bisa menikmati belajar dengan tenang di sekolah, justru menjadi korban kekerasan di sekolah.

Tentu, kekerasan tetap langgeng terjadi di sekolah, bukan tanpa alasan. Ada beberapa alasan, yang membuat kekerasan terus berulang terjadi di sekolah. Apa saja alasan tersebut? Simak yuk!

Senioritas yang menindas

Selalu ada kata senior dan junior di sekolah. Dimana senior merupakan siswa angkatan atas atau kakak kelas, sedangkan junior adalah adik kelas. Seharusnya, seorang senior wajib menjadi panutan junior. Namun, nyatanya banyak siswa yang salah kaprah dengan konsep senioritas.

Senior merasa memiliki kekuasaan lebih dibandingkan junior, sehingga bisa melakukan segala hal yang dianggap benar olehnya. Walaupun tindakan yang dilakukan oleh siswa senior, merugikan siswa junior di sekolah.

Senioritas, membuat kakak kelas merasa tidak masalah melakukan kekerasan pada adik kelas. Senioritas justru menjadi ajang untuk menindas adik kelas.

Premanisme selalu ada di sekolah

Palak memalak, premanisme, menjadi hal biasa yang selalu ada di sekolah. Seperti kasus siswi kelas 2 SD di Gresik yang mengalami kebutaan karena ditusuk mata kanannya oleh kakak kelas.

Dalam berita BBC News Indonesia (21/09/2023), sang ayah memberikan kesaksian bahwa anaknya mengaku dipalak oleh kakak kelas. Korban yang menolak memberikan uang jajannya, membuat kakak kelas marah dan melakukan tindakan berbahaya. Oh ternyata, sudah lama siswi SD itu sering dipalak oleh kakak kelasnya, sehingga sering kehabisan uang jajan tanpa digunakan.

Sejak zaman saya sekolah, saya sendiri sering menyaksikan premanisme di sekolah. Anak yang merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan lebih, sengaja memalak uang jajan temannya. Dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa terjadi di sekolah oleh para siswa. Jadi, mereka membiarkan uangnya diambil demi keamanan walau tidak bisa jajan.

Ruang BK dianggap keramat

Apakah kalian tahu? Banyak siswa yang menganggap ruang BK adalah ruang keramat. Siswa menganggap ruang BK itu khusus untuk anak bermasalah, sehingga jika dipanggil ke ruang Guru BK, mereka sudah takut dulu. Padahal, tidak melulu yang dipanggil ke ruang BK itu bermasalah, lho!

Anak-anak yang sering masuk ruang BK, dianggap anak lain sebagai anak bermasalah di sekolah. Ini hal yang membuat mereka di cap jelek, dan merasa sudah terlanjur dianggap jelek, ya sekalian saja melakukan kenakalan. Sehingga sebagian siswa merasa takut dengan siswa yang masuk ruang BK, dan melanggengkan kekerasan terjadi di sekolah.

Menganggap hukuman fisik solusi tepat di sekolah

Saya sering diceritakan oleh orangtua bahwa pada zaman dulu, jika siswa tidak bisa mengerjakan soal atau melakukan kesalahan dan kenakalan, guru akan memberikan hukuman dengan memukul tangan siswa menggunakan penggaris. Zaman dulu, hukuman fisik dianggap sebagai solusi yang tepat untuk mendidik anak.

Namun, sekarang sudah terjadi transformasi pendidikan, beda zaman, beda karakter muridnya, juga beda cara mendidiknya. Hukuman fisik sudah tidak bisa digunakan sebagai solusi agar siswa jera. Makin sering dihukum fisik, siswa akan menyimpan dendam pada guru.

Sebenarnya, hak guru untuk memberikan reward dan hukuman pada siswa di sekolah. Sayangnya, tidak semua hukuman efektif memperbaiki kesalahan yang dilakukan siswa. Cobalah memberikan hukuman yang mendidik, seperti memberikan hukuman untuk membuat karya, membaca aturan sekolah, menghapal materi pelajaran jika tidak menyimak dengan baik.

Apabila siswa melakukan kekerasan, bisa juga memberikan hukuman dengan menyuruh datang ke ruang BK, memanggil orangtua untuk sama-sama membahas, memberi pengarahan dan teguran pada siswa yang bersalah. Gen Z makin kritis, guru juga harus memikirkan cara unik untuk memberikan hukuman yang mendidik siswa agar tidak mengulangi lagi kekerasan di sekolah.

Rasa takut untuk berbicara yang dialami korban kekerasan

Yang paling sulit dilakukan oleh seorang siswa setelah menjadi korban kekerasan adalah berbicara jujur mengenai yang dialami atau dirasakan. Ketakutan itu terus membuat korban kekerasan makin terpuruk, sehingga sekolah dan orangtua tidak pernah mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Ada trauma yang harus benar-benar diobati pada korban kekerasan.

Dari sepuluh kasus kekerasan, mungkin hanya satu sampai tiga kasus yang diketahui oleh guru dan sekolah. Apalagi, kondisi tindak kekerasan verbal yang sudah dianggap biasa-biasa saja oleh siswa.

Target korban kekerasan selalu yang dianggap lemah, kutu buku, siswa cupu, atau yang terlihat sangat berbeda. Mereka tidak punya kuasa untuk melawan, bisa jadi sudah takut dahulu sebelum menolak.

Anak tak paham cara mengendalikan emosi

Dalam beberapa tulisan saya menegaskan pentingnya mengajarkan anak tentang pengendalian emosi sejak dini. Ya, salah satu alasannya karena tindak kekerasan oleh siswa di sekolah yang tidak pernah usai.

Setiap anak memiliki sifat dan karakter berbeda. Ada yang memang sangat sabar, pendiam, ceria, tetapi juga ada yang punya sifat keras kepala, cepat marah, dan sulit menerima masukan. Anak yang tak paham cara mengendalikan emosi, akan sangat mudah terprovokasi. Akhirnya, mereka secara tidak sadar mulai terbiasa melakukan kekerasan pada orang lain.

Penting bagi anak mengetahui apa itu emosi, bagaimana cara mengendalikan emosi, tempat untuk menyalurkan emosi yang tepat. Yuk, kenalkan pengendalian emosi sejak dini pada anak!

Kurangnya kedekatan anak dengan orangtua

Ketika anak mulai bersekolah, orangtua memberikan kepercayaan penuh pada guru dan sekolah. Mulai sibuk dengan pekerjaan, dan jarang berbincang dengan anak. Pada saat anak di rumah, waktu luang sangat terbatas untuk bermain dengan anak.

Bagaimana orangtua memahami anak sepenuhnya, apabila jarang mengobrol di rumah? Kurangnya kedekatan anak dengan orangtua, membuat siswa korban kekerasaan jarang menceritakan masalah di sekolah pada orangtua.

Sebaliknya, anak yang sering melakukan kekerasan di sekolah salah satu penyebabnya bisa jadi ingin mendapatkan perhatian orangtua. Mereka sengaja membuat keributan di sekolah, agar orangtua mulai memperhatikan dan mendekati mereka lagi.

Itulah alasan-alasan yang menyebabkan langgengnya kekerasan di sekolah. Untuk mencegah kekerasan oleh siswa terus langgeng, butuh kerjasama guru, sekolah, orangtua, dan pemerintah.

Pentingnya pendidikan karakter diajarkan pada siswa di sekolah lebih intensif, pentingnya orangtua mendidik dan memberikan contoh baik pada anak. Bukan hanya sekolah yang bertanggungjawab untuk mewujudkan anak berkarakter baik. Dekatlah dengan anak agar ia tak enggan bercerita padamu.

Jangan kenalkan anak pada senioritas yang menindas, atau premanisme yang akan berakhir tak manis. Tegaskan anak untuk bertindak jika melihat, mendengar, atau menjadi korban kekerasan. Dukung anak menjadi siswa berkarakter baik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun