Mohon tunggu...
Ai NurulFahmi
Ai NurulFahmi Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Pendidikan Indonesia

Saya adalah seorang yang menyukai banyak hal. Saya senang membaca, menulis, bercerita, nonton film, videografi, dan lain-lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islamophobia: Sisi Kelam Kehidupan Beragama di Negara Demokrasi

20 Juli 2022   19:29 Diperbarui: 20 Juli 2022   19:31 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara demokrasi adalah negara yang kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat. Melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih sesuai kesepakatan, rakyat diberi kebebasan untuk menentukan kebijakan dan mengontrol pelaksanaan kebijakan yang dilaksanakan oleh lembaga pemerintah. Karena itu, di negara demokrasi kebijakan diselenggarakan berdasarkan pilihan rakyat mayoritas dengan tidak mengesampingkan rakyat minoritas.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi dengan diwarnai oleh beragam agama dan kepercayaan tentu mengalami banyak sisi kelam dalam kehidupan beragama. Perselisihan antara umat mayoritas dengan umat minoritas terus berlanjut layaknya benang kusut yang semakin hari justru semakin kompleks. Umat mayoritas di Indonesia adalah kaum muslim atau yang beragama Islam. Populasi muslim di Indonesia merupakan populasi terbanyak di dunia yaitu sekitar 231 juta atau setara dengan 86,7 persen dari total populasi di Indonesia. Namun, siapa sangka bahwa hidup di negara yang mayoritas muslim juga mengalami Islamophobia atau bentuk ketakutan dan sikap yang negatif terhadap Islam dan kaum muslim.

Islamophobia sebenarnya sudah ada sejak Islam lahir. Banyak kelompok yang menentang kehadiran Islam karena dapat menjadi ancaman bagi stabilitas umat agama lain. Istilah Islamophobia populer sejak tragedi runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Peristiwa ini mengundang banyak kebencian, dendam, kekhawatiran, dan ketakutan dari masyarakat dunia atas stigma yang mengatakan bahwa Islam merupakan agama teroris. Agama yang identik dengan kekerasan. Begitulah Islam digambarkan oleh media-media sekuler yang sangat berpengaruh terhadap perspektif non muslim kepada umat muslim di Indonesia.

Islamophobia yang terjadi di Indonesia juga semakin didiskreditkan oleh wacana media yang bertebaran di internet. Sehari-hari masyarakat mengonsumsi informasi yang terkadang isinya menggulirkan wacana islamophobia di Indonesia. Meskipun tidak secara terang-terangan, melainkan melalui simbol-simbol yang condong ke arah pelabelan.

Salah satu contohnya adalah berita yang dilansir dari laman tribunnews.com yang berjudul "Polri: Kelompok Teroris Kumpulkan Dana Lewat Lembaga Berkedok Kepentingan Masyarakat" (8 Agustus 2019). Pernyataan narasumber dalam berita tersebut tidak menyebutkan lembaga apa yang melakukan modus meminta sumbangan. Selain itu, narasumber juga tidak memiliki bukti yang kuat atas pernyataan tentang kemungkinan kelompok teroris ini menggunakan uang sumbangan untuk membeli bahan-bahan alat peledak. Di sini terlihat bahwa penggunaan bahasa oleh tim redaksi tidak dapat mencerminkan realitas yang terjadi sebenarnya.

Contoh lainnya yang juga ramai diperbincangkan adalah kebijakan terkait volume suara adzan. Karena satu atau dua orang yang merasa keberatan dengan suara adzan yang mengganggu, lantas pemerintah membuat kebijakan untuk mengumandangkan adzan dengan volume kecil. Hal ini perlu dikaji ulang sebab adzan sendiri bagi umat Islam adalah bagian dari syi'ar. Adzan merupakan vibes-nya Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim. Adzan juga membuat seseorang yang berada di luar negeri mengingat kampung halamannya Indonesia, negara yang setiap lima kali sehari mengingatkan umat muslimnya untuk mendirikan shalat.

Dengan melihat kondisi saat ini, umat muslim semakin kehilangan identitasnya. Dari segi kuantitas bisa saja bertambah penganutnya, namun dari segi kualitas semakin berkurang. Banyak orang yang beragama tetapi tidak mengenal baik ajaran agamanya. Alhasil islamophobia di zaman modern tidak hanya dilakukan oleh non muslim, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah umat muslim sendiri yang mengalami islamophobia terhadap agamanya. Saat ini umat muslim perlahan meninggalkan ajaran agamanya dan menunjukkan sikap yang tidak mencerminkan dirinya sebagai muslim. Bahkan ada yang secara terang-terangan menjelekkan agamanya sendiri. Karena itu, referensi yang diterima dan berkembang di kalangan non muslim tentang citra Islam yang buruk menjadi semakin dibenarkan oleh mereka.

Islamophobia jika ditinjau dari perspektif hukum normatif, terkandung dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu". Dimensi kemerdekaan beragama dalam undang-undang ini memiliki makna yang luas termasuk di dalamnya memuat tentang pembebasan dari fenomena islamophobia. Negara harus memastikan warganya merasa aman dan tidak terganggu dalam menjalankan ibadah.

Apabila berkaca dari isu-isu yang terjadi belakangan ini, fungsi negara dalam menjamin kemerdekaan beragama dinilai kurang efektif. Sebaliknya, dalam negara demokrasi yang mengutamakan kebebasan berpendapat justru membangun sebuah sistem yang menyingkirkan agama sebagai pondasi nilai kehidupan. Saat ini agama hanya boleh bergerak di ruang privasi dan tidak perlu dibicarakan di ranah publik. Banyak yang mengatakan bahwa agama cukup dengan shalat atau berdo'a saja, tidak perlu membawanya ke dunia kerja, dunia politik, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Padahal dalam Pancasila sendiri dimensi ketuhanan merupakan sila pertama yang memiliki makna bahwa segala aspek kehidupan tidak bisa dilepaskan dari yang namanya agama.

Dengan demikian, fenomena islamophobia di negara demokrasi seperti Indonesia perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dan masyarakat. Islamophobia jika dibiarkan terus menerus dapat memicu ketidakharmonisan dan kebencian yang pada akhirnya menimbulkan disintegrasi bangsa. Bagi umat muslim, sekalipun banyak sekali tantangan yang dapat merusak identitas keislamannya tetap harus berpegang teguh terhadap aqidah yang dimilikinya. Dengan menjadi agen muslim yang baik perlahan dapat mengubah persepsi orang-orang yang membenci Islam sehingga membuka pikiran mereka akan Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun